Sabtu, 12 September 2015

HAM Tenggelam, Demokrasi pun Kelam

HAM Tenggelam, Demokrasi pun Kelam

Mohammad Afifuddin  ;  Peneliti Pusat Studi Pembangunan, Ekonomi, dan Kebijakan (PuSPEK)
                                                    JAWA POS, 10 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SEPTEMBER, tampaknya, masih menjadi bulan suram bagi supremasi HAM. Sebab, pada bulan ini, ada dua peristiwa kelam yang terus menjadi ”hantu” bagi pemerintah namun tak kunjung dituntaskan. Yang pertama adalah pembunuhan aktivis penegakan HAM Munir Said Thalib 7 September 2004 dan kasus pembantaian warga Tanjung Priok pada 12 September 1984.

Meski banyak contoh lain kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, dua kasus di atas bisa dimaknai sebagai ”uji kasus” atas keseriusan pemerintah dalam menghargai HAM di negeri ini. Sebab, dalam dua kasus itu, terkandung tingkat konspirasi kelas wahid dan ”dampak sistemik” bagi eksistensi elite-elite politik (dan militer) di negeri ini.

Karena itu, jika rezim kali ini berani membongkar tuntas dua kasus tersebut, niscaya akan jadi preseden baik untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM lainnya. Namun, harapan para korban HAM itu, sepertinya, masih akan menggantung. Pasalnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum menunjukkan sikap yang jelas dalam memandang kasus-kasus HAM pada masa lalu.

Ketidakpedulian SBY

Keberanian Jokowi sedang diuji dalam konteks ini. Apakah dia lebih progresif dari pada SBY atau malah mengulangi lagu lama SBY. Kita tahu, saat kampanye Pemilu 2009, SBY berjanji menuntaskan kasus pembunuhan Munir.

Tiga tahun kemudian (25 Juli 2012), SBY kembali membuat pernyataan yang meminta jaksa agung mempelajari berkas hasil penyelidikan Komnas HAM atas kasus 1965 dan penembakan misterius 1982–1985.

Meski banyak menebar janji, SBY justru bertindak kontra produktif. Jangankan menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat pada masa lampau dan menuntaskan kasus pembunuhan Munir, untuk hal kecil saja, SBY sering lalai. Misalnya, dia telat merespons berakhirnya masa tugas sebelas komisioner Komnas HAM periode 2007–2012 pada 30 September 2012.

HAM dan Demokrasi Beku

Sejak puluhan tahun silam, dua ilmuwan politik ternama, George Sorensen dan Samuel Huntington, memperingatkan bahwa laju demokrasi tidak selalu linier. Level kualitas demokrasi itu juga fluktuatif. Jika Huntington memberikan sinyalemen adanya arus balik demokratisasi, Sorensen mewanti-wanti munculnya gejala demokrasi beku (froozen democracy).

Dalam buku Democracy and Democratization: Process and Prospect in a Changing World (1993), Sorensen menggambarkan kondisi masyarakat saat sistem politik demokrasi yang sedang bersemi berubah menjadi layu karena ber bagai kendala. Sorensen mengembangkan empat indikator demokrasi beku; 1) belum kukuhnya perekonomian, baik di level lokal maupun nasional; 2) macetnya proses pembentukan civil society; 3) konsolidasi sosial-politik yang tidak pernah solid dan cenderung semu; 4) penyelesaian masalah-masalah sosial-politik-hukum dan HAM warisan rezim-rezim terdahulu yang tidak pernah tuntas.

Secara faktual, demokrasi di Indonesia nyaris beku. Selain demokrasi berjalan hanya mengikuti prosedur (demokrasi prosedural), empat indikasi yang disampaikan Sorensen terjadi di negeri ini.

Pertama, di sektor ekonomi, kita melihat akhir-akhir ini indikator makro ekonomi kita sedang goyah. Kondisi diperparah pertumbuhan ekonomi tanpa disertai pemerataan kesejahteraan.

Bung Hatta pernah berujar, demokrasi politik itu harus seiring sejalan dengan demokrasi ekonomi. Dibukanya akses pemerataan hakhak kebebasan berpendapat dan bersuara (politik) kudu dibarengi dengan pembukaan akses pemerataan kesejahteraan ekonomi. Bagi Hatta, negara itu ”panitia kesejahteraan”. Kita menggelar pemilu tak ubahnya memilih ”ketua panitia” yang bertugas menyusun program-program yang bisa menyejahterakan kita.

Kedua, pembentukan karakter kewargaan (citizenship) yang kukuh juga belum berhasil. Pemerintah belum punya master plan untuk membangun karakter kelas menangah Indonesia –yang menjadi prasyarat terbentuknya civil society yang kuat– agar punya kualitas dan tak hanya menang secara kuantitas.

Ketiga, konsolidasi demokrasi selama ini justru mengarah pada penguatan oligarki dan kartelisasi politik dari konsorsium elite ekonomi-politik. Dampaknya, laju politik-demokrasi di Indonesia berjalan nyaris tanpa sosok negarawan.

Keempat, bukannya tuntas menyelesaikan kasus-kasus hukum dan HAM pada masa lalu, rezim Yudhoyono malah ”memproduksi” banyak kasus pelanggaran HAM baru. Contoh, kerusuhan Bima dan Mesuji.

Dari penjelasan tersebut, muncul pertanyaan: apa relevansi penegakan supremasi HAM dan demokrasi? Saya akan menjawabnya dengan perumpamaan. Salah satu perbedaan mendasar antara agama dan demokrasi adalah, jika agama hadir menjanjikan surga, demokrasi justru demi menghindarkan penganutnya dari ”neraka”.

Maksudnya, jika kita meyakini dan menaati asas-asas demokrasi, semestinya kita tidak akan mengalami penyiksaan fisik, kekerasan, tirani, dan praktik-praktik dehumanisasi lainnya. Sebab, demokrasi mengajarkan penyelesaian sengketa dan perbedaan melalui jalan dialog, musyawarah, dan pengambilan keputusan yang dibingkai dalam prinsip-prinsip konstitusional.

Begitulah analoginya. Demokrasi adalah sistem yang bisa mendukung tegaknya HAM, sementara HAM adalah basis kita mendapatkan hak-hak demokratis. Karena itu, jika ada presiden yang terkesan ”mengebiri” HAM dan beretorika atas nama demokrasi dan HAM, sesungguhnya dia mengingkari esensi demokrasi.

Karena itu, ketegasan dan kehadiran pemimpin untuk serius menegakkan HAM akan jadi preseden baik dan membuka jalan terang menuju demokrasi substantif. Tanpa tegaknya substansi demokrasi, niscaya kita akan terpelanting pada arus balik demokrasi sebagaimana dipostulatkan Huntington maupun membekunya demokrasi seperti dijelaskan Sorensen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar