Sabtu, 12 September 2015

11 September, Terorisme, dan Peradaban Masa Depan

11 September, Terorisme, dan Peradaban Masa Depan

Muhammadun  ;  Analis Studi Politik di Lembaga Ta’lif wan Nasyr PW NU Jogjakarta
                                                    JAWA POS, 11 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TRAGEDI 11 September 2001 menjadi ingatan yang sangat memilukan: mencekam dan penuh tangisan. Tragedi 11/9 itu menjelma menjadi ’’kuburan’’ yang membuat manusia saling mencaci, meneror, bahkan menumpahkan darah saudara sendiri.

Sudah 14 tahun berlangsung. Tetapi, pertumpahan darah atas nama teror masih berlangsung kolosal di berbagai belahan dunia. Indonesia yang sudah mempunyai BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) tetap saja diliputi bara yang mencekam ketika ancaman terus datang silih berganti.

Masa depan peradaban umat manusia sejak tragedi 11/9 mengalami perubahan yang mencolok. Dialektika antar peradaban mandek. Isu terorisme yang mencekam membuat curiga berlebihan yang sangat tidak produktif.

Untung saja, manusia bergerak dinamis sehingga terjadi pergeseran paradigma terkait dengan terorisme. Yang sebelumnya menjadi penyulut angkara murka menjadi perekat antar sesama. Tidak sedikit gelombang manusia yang mengkaji agama dengan sesungguhnya untuk mencari makna substansial ajaran agama yang dibajak kaum teroris-radikalis.

Salah satu gerak perekat itu dilakukan Nahdlatul Ulama dengan gagasan Islam Nusantara. Gagasan tersebut berusaha menghadirkan tafsir Islam di Nusantara untuk berdialektika dalam peradaban dunia.

Karakteristik Nusantara bisa menjadi alternatif dalam dialektika peradaban global. Sebab, tumbuhnya peradaban tidak bisa dilepaskan dari karakteristik lokal dan regional. Islam Nusantara hadir menjadi ’’oase’’ peradaban masa depan di tengah derasnya ’’arus air bah’’ bernama terorisme yang membanjiri dunia.

Menurut Rais Am PB NU KH Ma’ruf Amin (2015), ada pilar utama Islam di Nusantara dalam berdialektika dengan peradaban global. Pertama, pemikiran, meliputi cara berpikir yang moderat ( tawassuth).

Artinya, Islam Nusantara berada dalam posisi yang tidak tekstualis, tetapi juga tidak liberal. Tekstualis adalah berpikir secara kaku pada nash ( al-jumûd al-manqûlãt) sebagaimana yang terjadi pada kaum Wahabi dalam memahami teksteks Alquran.

Salah satu pernyataan Imam alQarafi, ulama ahli ushul fiqh, berbunyi: ’’ al-jumûd ‘alã al-manqûlãt abadan dalãl fi al-din wa jahl bi maqasidihi’’, pembacaan yang statis (tanpa tafsir) pada dalil-dalil adalah kesesatan di dalam agama dan kebodohan tentang maksud-maksud agama. Yang dimaksud liberal adalah cara berpikir yang bebas tanpa mengabaikan metodologi yang disepakati di kalangan ulama.

Kedua adalah gerakan. Artinya, semangat Islam Nusantara ditujukan pada perbaikan-perbaikan. Tugas Islam Nusantara adalah melakukan perbaikan-perbaikan (reformasi) untuk jam’iyah (perkumpulan) dan jama’ah (warga) yang tak hanya didasarkan pada tradisi, tetapi juga inovasi. Inovasi pun tak cukup, namun juga harus dibarengi sikap aktif dan kritis.

Ketiga adalah amaliah. Islam Nusantara menekankan bahwa segala hal yang dilakukan harus lahir dari dasar pemikiran yang berlandasan fikih dan ushul fiqh; disiplin yang menjadi dasar kita untuk menyambungkan amaliah yang diperintah Alquran dan sunah Nabi.

Peradaban Masa Depan

Masa depan peradaban harus ditegakkan bersama. Tragedi 11/9 menjadi pelajaran penting bagi umat manusia bahwa peradaban yang damai merupakan impian bersama. Kajian, diskusi, seminar, dan lainnya yang terkait dengan masa depan peradaban memang sangat dibutuhkan. Tetapi, aksi nyata justru menjadi agenda yang paling ditunggu dunia.

Menurut Prof Said Aqil Siradj (2015), ada tiga agenda bersama yang bisa digerakkan untuk membangun peradaban masa depan. Pertama, menyerukan komitmen warga muslim untuk bersama-sama mengentas kemiskinan. Harakah islamiyyah (gerakan keislaman) perlu difokuskan untuk menghadirkan kesejahteraan.

Kemiskinan akan mendorong umat menjadi lemah, dekat dengan kekufuran. Indonesia sebenarnya kaya raya, dikenal sebagai negeri zamrud khatulistiwa. Di dalamnya terdapat pelbagai kekayaan alam: ragam fauna, tumbuhan, mutiaramutiara, hingga material tambang di perut bumi. Itulah yang harus dikelola sebagai kekayaan bangsa.

Kedua, kebaikan-kebaikan yang menghadirkan harapan. Islam menegaskan pentingnya pengetahuan untuk membangun peradaban.

Revolusi mental bangsa hanya dapat digapai dengan moral dan keteladanan. Gerakan mencerdaskan otak, menyegarkan mental, dan menjernihkan hati akan mendorong lahirnya individu yang saleh sekaligus masyarakat yang saleh. Bangsa yang paling mulia di hadapan Allah adalah bangsa yang bertakwa. Gerakan intelektual dan strategi kedaulatan haruslah diiringi dengan kejernihan hati, kecerdasan moral, dan keteguhan mental.

Ketiga, menjadi jembatan islah, rekonsiliasi antarmasyarakat. Islam mengajarkan pentingnya maslahah ‘ammah, kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Islam tanpa pretensi politik praktis harus selalu berperan menjadi perekat bangsa dan mengawal keutuhan NKRI.

Ingat, perdamaian adalah hak semua bangsa. Jadi, terorisme tidak layak bersemayam dalam kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar