Genderuwo Menari
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan
|
KOMPAS,
08 September 2015
Tanpa harus menjadi pengamat ekonomi pun rakyat tahu negeri ini dikuasai
kekuatan kapital raksasa global. Kekuatan serba raksasa selalu berpotensi mendominasi
dan menghegemoni kekuatan kecil. Dalam berbagai mitologi, raksasa selalu
identik dengan keburukan dan kegelapan. Layaknya genderuwo dalam mitologi
Jawa, ia selalu menebarkan ketakutan.
Genderuwo kapital itu kini sedang menari, menggerakkan kaki dan
lengan-lengannya. Hanya dengan gerakan satu jari saja, kurs rupiah terhadap
dollar Amerika Serikat langsung terpuruk. Bayangkan jika sang genderuwo itu
menggerakkan seluruh badannya? Gempa dahsyat ekonomi pun akan terjadi!
Ingat genderuwo kapital global, ingat Reformasi 1998. Gerakan
reformasi sering dilihat hanya dengan satu sudut pandang: demokrasi yang
menjanjikan surga kebebasan, kemakmuran, dan kesejahteraan seiring dengan
menguatnya civil society
(masyarakat sipil/masyarakat berperadaban). Inilah impian besar yang menjadi
dambaan rakyat, mengakhiri era rezim otoriter berlanggam militeristik dan
kapitalistik negara (kuasa kapital asing dikontrol negara).
Cek kosong
Para penjaga dan penegak civil
society, yakni parpol, kalangan akademisi, pers, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), institusi agama, institusi budaya, dan penegak hukum, penuh
sukacita menyongsong perubahan politik yang menandai lahirnya masyarakat
sipil. Sebuah masyarakat mandiri berkesejahteraan yang berbasis pada etika,
etos (kreativitas, inovasi), keadilan, kesetaraan, dan kemajemukan.
Namun, rakyat kecelik. Semua harapan ideal itu tidak terjadi.
Penguatan masyarakat sipil hanya jadi cek kosong karena kemudian yang dominan
adalah komunitas elite politik dan ekonomi. Kelompok elite inilah kemudian
yang menguasai lembaga-lembaga negara. Mereka melakukan amendemen atas UUD
1945 demi membuka jalan bagi kekuatan kapital global dan neoliberalisme.
Pancasila pun semakin dijauhkan dari kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Tanpa aktualisasi nilai-nilai Pancasila, negeri ini pun tak beda
dengan rumah tanpa pintu. Nilai-nilai neoliberalisme membanjir dan menggasak
sendi ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya bangsa hingga luluh
lantak. Kebersamaan/ gotong royong diganti individualisme dan persaingan
destruktif. Kemajemukan budaya diganti penyeragaman atas nama konsumerisme
dan gaya hidup ”berkemajuan”.
Patriotisme diganti profesionalisme ala tukang. Nasionalisme
ditukar dengan globalisme, eksistensi negara berubah menjadi sekadar ceruk
kecil pasar bebas. Spiritualisme ditukar materialisme. Integritas, komitmen,
dan dedikasi ditendang kerja penuh pamrih dan korupsi. Idealisme digusur
pragmatisme. Rakyat pun sadar, reformasi hanya jadi penataan ulang sistem
sosial, ekonomi, politik, dan budaya berbasis neoliberalisme.
Satu per satu kekuatan masyarakat sipil pun ”rontok” di tengah
jalan.Parpol menjelma menjadi sekadar ”gerai” politik. Parpol, yang
semestinya menjadi institusi politik yang melahirkan calon dan para pemimpin
bangsa berkelas negarawan, tereduksi menjadi pemasok ”tukang-tukang politik”
demi meraup kepentingan kekuasaan dan keuntungan material. Negeri ini pun
dikuasai tak lebih dari sepuluh ”juragan politik”, penguasa partai besar dan
menengah.
Sebagai kekuatan kontrol, pers terjebak pada mabuk kebebasan dan
bermetamorfosis sebagai institusi ekonomi yang menjual sensasi (terutama
televisi) atau menjadi underbouw kekuatan politik tertentu meskipun sebagian
pers tetap menjunjung etika jurnalisme. Adapun kalangan akademisi, LSM, institusi
agama, institusi budaya, dan penegak hukum seperti ”tak berdaya” menghadapi
perubahan akibat praktik neoliberalisme ekonomi dan politik yang
menjungkirbalikkan nilai-nilai. Gegap gempita pasar bebas, biaya hidup tinggi
dan iming-iming kemewahan/kenyamanan/hedonisme menjadi orkestrasi barbar yang
tidak gampang diinterupsi.
Kehilangan
negara
Rakyat kehilangan negara. Rakyat hanya menjadi penghuni pasar
bebas ketika dipaksa neoliberalisme untuk bermetamorfosis menjadi konsumen.
Rakyat dipaksa menjalankan ritus-ritus konsumtif seirama dengan irama musik
dan tarian genderuwo, sang kapital raksasa.
Kedaulatan ekonomi tak lagi dimiliki bangsa ini karena semua
telah didikte oleh sang genderuwo kapital global. Para penyelenggara negara
tak berdaya membangun kedaulatan negara kecuali memanggil para genderuwo
untuk menanamkan modalnya di sini. Tanah Air hanya menjadi lahan sewa bagi
kekuatan ekonomi asing di tengah hiruk-pikuk slogan ”kedaulatan politik,
kemandirian ekonomi, dan kepribadian dalam kebudayaan”.
Ketika ekonomi neoliberal terbukti gagal menyejahterakan rakyat
melalui ”keajaiban pasar” yang dijanjikan kaum pemodal raksasa,
pertanggungjawaban apakah yang diberikan oleh kelompok elite ekonomi dan
politik yang dulu membuka pintu lebar-lebar bagi menguatnya neoliberalisme?
Menyesalkah mereka karena telah mengamendemen UUD 1945 dan meminggirkan
Pancasila dari kehidupan bernegara dan berbangsa?
Demokrasi liberal merupakan ”pembelian” sangat mahal bangsa ini.
Ia telah menelan ongkos besar yang antara lain ditandai dengan meningkatnya
kemiskinan dan terlucutinya identitas/jati diri bangsa. Apa artinya perubahan
tanpa kebudayaan?
Apa artinya kebebasan tanpa kesejahteraan? Kebebasan hanya
dimaknai sebagai cara berpikir dan cara bertindak untuk melakukan apa saja,
tanpa basis etik, moral, ilmu pengetahuan, dan kompetensi. Maka, yang muncul
hanya naluri genderuwo, menggasak dan menelan apa saja demi kerakusan.
Genderuwo itu kini menari-nari di atas jutaan kepala orang miskin, sulit
dihentikan oleh elite politik dan elite ekonomi yang kini berkuasa dan dulu
turut membuka jalan kehadiran sang genderuwo untuk menguasai negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar