Kamis, 10 September 2015

Genderuwo Menari

Genderuwo Menari

Indra Tranggono  ;  Pemerhati Kebudayaan
                                                     KOMPAS, 08 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tanpa harus menjadi pengamat ekonomi pun rakyat tahu negeri ini dikuasai kekuatan kapital raksasa global. Kekuatan serba raksasa selalu berpotensi mendominasi dan menghegemoni kekuatan kecil. Dalam berbagai mitologi, raksasa selalu identik dengan keburukan dan kegelapan. Layaknya genderuwo dalam mitologi Jawa, ia selalu menebarkan ketakutan.

Genderuwo kapital itu kini sedang menari, menggerakkan kaki dan lengan-lengannya. Hanya dengan gerakan satu jari saja, kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat langsung terpuruk. Bayangkan jika sang genderuwo itu menggerakkan seluruh badannya? Gempa dahsyat ekonomi pun akan terjadi!

Ingat genderuwo kapital global, ingat Reformasi 1998. Gerakan reformasi sering dilihat hanya dengan satu sudut pandang: demokrasi yang menjanjikan surga kebebasan, kemakmuran, dan kesejahteraan seiring dengan menguatnya civil society (masyarakat sipil/masyarakat berperadaban). Inilah impian besar yang menjadi dambaan rakyat, mengakhiri era rezim otoriter berlanggam militeristik dan kapitalistik negara (kuasa kapital asing dikontrol negara).

Cek kosong

Para penjaga dan penegak civil society, yakni parpol, kalangan akademisi, pers, lembaga swadaya masyarakat (LSM), institusi agama, institusi budaya, dan penegak hukum, penuh sukacita menyongsong perubahan politik yang menandai lahirnya masyarakat sipil. Sebuah masyarakat mandiri berkesejahteraan yang berbasis pada etika, etos (kreativitas, inovasi), keadilan, kesetaraan, dan kemajemukan.

Namun, rakyat kecelik. Semua harapan ideal itu tidak terjadi. Penguatan masyarakat sipil hanya jadi cek kosong karena kemudian yang dominan adalah komunitas elite politik dan ekonomi. Kelompok elite inilah kemudian yang menguasai lembaga-lembaga negara. Mereka melakukan amendemen atas UUD 1945 demi membuka jalan bagi kekuatan kapital global dan neoliberalisme. Pancasila pun semakin dijauhkan dari kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Tanpa aktualisasi nilai-nilai Pancasila, negeri ini pun tak beda dengan rumah tanpa pintu. Nilai-nilai neoliberalisme membanjir dan menggasak sendi ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya bangsa hingga luluh lantak. Kebersamaan/ gotong royong diganti individualisme dan persaingan destruktif. Kemajemukan budaya diganti penyeragaman atas nama konsumerisme dan gaya hidup ”berkemajuan”.

Patriotisme diganti profesionalisme ala tukang. Nasionalisme ditukar dengan globalisme, eksistensi negara berubah menjadi sekadar ceruk kecil pasar bebas. Spiritualisme ditukar materialisme. Integritas, komitmen, dan dedikasi ditendang kerja penuh pamrih dan korupsi. Idealisme digusur pragmatisme. Rakyat pun sadar, reformasi hanya jadi penataan ulang sistem sosial, ekonomi, politik, dan budaya berbasis neoliberalisme.

Satu per satu kekuatan masyarakat sipil pun ”rontok” di tengah jalan.Parpol menjelma menjadi sekadar ”gerai” politik. Parpol, yang semestinya menjadi institusi politik yang melahirkan calon dan para pemimpin bangsa berkelas negarawan, tereduksi menjadi pemasok ”tukang-tukang politik” demi meraup kepentingan kekuasaan dan keuntungan material. Negeri ini pun dikuasai tak lebih dari sepuluh ”juragan politik”, penguasa partai besar dan menengah.

Sebagai kekuatan kontrol, pers terjebak pada mabuk kebebasan dan bermetamorfosis sebagai institusi ekonomi yang menjual sensasi (terutama televisi) atau menjadi underbouw kekuatan politik tertentu meskipun sebagian pers tetap menjunjung etika jurnalisme. Adapun kalangan akademisi, LSM, institusi agama, institusi budaya, dan penegak hukum seperti ”tak berdaya” menghadapi perubahan akibat praktik neoliberalisme ekonomi dan politik yang menjungkirbalikkan nilai-nilai. Gegap gempita pasar bebas, biaya hidup tinggi dan iming-iming kemewahan/kenyamanan/hedonisme menjadi orkestrasi barbar yang tidak gampang diinterupsi.

Kehilangan negara

Rakyat kehilangan negara. Rakyat hanya menjadi penghuni pasar bebas ketika dipaksa neoliberalisme untuk bermetamorfosis menjadi konsumen. Rakyat dipaksa menjalankan ritus-ritus konsumtif seirama dengan irama musik dan tarian genderuwo, sang kapital raksasa.

Kedaulatan ekonomi tak lagi dimiliki bangsa ini karena semua telah didikte oleh sang genderuwo kapital global. Para penyelenggara negara tak berdaya membangun kedaulatan negara kecuali memanggil para genderuwo untuk menanamkan modalnya di sini. Tanah Air hanya menjadi lahan sewa bagi kekuatan ekonomi asing di tengah hiruk-pikuk slogan ”kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian dalam kebudayaan”.

Ketika ekonomi neoliberal terbukti gagal menyejahterakan rakyat melalui ”keajaiban pasar” yang dijanjikan kaum pemodal raksasa, pertanggungjawaban apakah yang diberikan oleh kelompok elite ekonomi dan politik yang dulu membuka pintu lebar-lebar bagi menguatnya neoliberalisme? Menyesalkah mereka karena telah mengamendemen UUD 1945 dan meminggirkan Pancasila dari kehidupan bernegara dan berbangsa?

Demokrasi liberal merupakan ”pembelian” sangat mahal bangsa ini. Ia telah menelan ongkos besar yang antara lain ditandai dengan meningkatnya kemiskinan dan terlucutinya identitas/jati diri bangsa. Apa artinya perubahan tanpa kebudayaan?

Apa artinya kebebasan tanpa kesejahteraan? Kebebasan hanya dimaknai sebagai cara berpikir dan cara bertindak untuk melakukan apa saja, tanpa basis etik, moral, ilmu pengetahuan, dan kompetensi. Maka, yang muncul hanya naluri genderuwo, menggasak dan menelan apa saja demi kerakusan. Genderuwo itu kini menari-nari di atas jutaan kepala orang miskin, sulit dihentikan oleh elite politik dan elite ekonomi yang kini berkuasa dan dulu turut membuka jalan kehadiran sang genderuwo untuk menguasai negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar