Fraud Rongrong Mutu Layanan Kesehatan
Eva Tirtabayu Hasri ; Periset Fakultas Kedokteran-Universitas
Gadjah Mada
|
KORAN
TEMPO, 15 September 2015
Kesehatan Indonesia
digemparkan lagi dengan usul naiknya premi untuk penerima bantuan iuran (PBI),
dari sebelumnya Rp 19.250 menjadi Rp 23 ribu. Direktur Keuangan dan Investasi
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Riduan, mengatakan
kenaikan premi diharapkan dapat menutupi defisit anggaran BPJS pada 2014,
yang mencapai Rp 6 triliun. Defisit anggaran terjadi akibat banyaknya orang
yang berobat di rumah sakit.
Program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) berkembang amat pesat sejak diluncurkan awal tahun
lalu. Saat ini, peserta program itu sudah mencapai 150 juta jiwa dari sekitar
256 juta penduduk Indonesia. Diharapkan pada 2019, seluruh penduduk Indonesia
akan tercakup oleh skema ini.
JKN merupakan ikhtiar
pemerintah untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan masyarakat.
Melalui program ini, pemerintah berniat memberi kepastian jaminan kesehatan
yang menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia agar hidup sehat, produktif,
dan sejahtera. JKN sejauh ini berhasil meningkatkan mutu dan kualitas
pelayanan pada dimensi aksesibilitas, meski menghadapi persoalan pada dimensi
efektif dan efisien.
Belajar dari
pengalaman di berbagai negara, memenuhi standar mutu dimensi efektif dan
efisien memang merupakan bagian tersulit dari asuransi universal. Soalnya,
tingkat efektivitas dan efisiensi sangat erat berkaitan dengan pembiayaan dan standardisasi prosedur
layanan kesehatan, dua aspek dalam pelayanan kesehatan ini yang paling sering
dimanipulasi oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab yang terlibat dalam
sistem pelayanan, dari petugas administrasi hingga dokter. Demi mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya, mereka mengabaikan mutu dan memberikan layanan
yang tidak sesuai dengan standar pelayanan medis yang baik.
Ulah tak bertanggung
jawab yang dikenal luas sebagai fraud ini di Indonesia bisa terjadi dalam
bentuk pemberian obat-obatan atas indikasi yang tidak jelas manfaatnya,
pemeriksaan laboratorium, diagnosis atas indikasi yang tidak tepat, hingga
pembengkakan biaya pengobatan akibat diagnosis palsu.
Akibatnya, selain
tidak dilayani sesuai dengan standar mutu yang ada, pasien sering menderita
kerugian fisik. Misalnya, karena ingin mendapat pembayaran lebih, rumah sakit
atau kalangan profesional di bidang kesehatan memberikan prosedur pelayanan
yang tidak diperlukan atau melakukan tindakan medis terpisah yang sebenarnya
bisa dilakukan secara bersamaan. Ada banyak contoh ketika fraud dalam
pelayanan masyarakat berakibat buruk bagi pasien. Di Chicago, ada dokter
spesialis yang melakukan 750 katerisasi jantung yang tidak diperlukan.
Dalam program JKN,
biaya dan standar pelayanan dikendalikan melalui sistem pembayaran kapitasi
dan INA CBG's. Kapitasi diberlakukan pada fasilitas kesehatan tingkat
pertama, sedangkan INA CBG's untuk fasilitas kesehatan tingkat lanjut. INA
CBG's memudahkan pengguna layanan kesehatan karena mereka hanya membayar sesuai
dengan kode diagnosis penyakit, bukan layanan yang diberikan. Adapun
pembayaran sistem kapitasi dibayar dimuka oleh BPJS kepada puskesmas per
bulan tanpa menghitung jenis dan jumlah pelayanan yang diberikan. Jadi setiap
masyarakat yang telah menjadi peserta BPJS kesehatan mempunyai hak berobat ke
puskesmas dan rumah sakit tanpa harus membayar.
Masalahnya, kedua
sistem ini belum sempurna benar. Di sana-sini masih ada celah yang bisa
dipakai untuk berbuat curang (fraud)
dalam pembiayaan dan prosedur layanan, dari Dinas Kesehatan yang memotong
besaran kapitasi puskesmas sampai dokter yang melayani pasien tanpa mengikuti
indikasi medis. Jika kita asumsikan potensi fraud sekitar 5 persen, tahun
lalu saja ada uang sekitar Rp 1,8 triliun dari prediksi premi BPJS pada 2014
(sekitar Rp 38,5 triliun) yang masuk kantong oknum tak bertanggung jawab.
Amerika Serikat, yang
setiap tahun tercatat 3-10 persen anggaran kesehatannya hilang digerogoti
fraud, menggunakan pendekatan retrospektif untuk mengatasi ulah kriminal ini.
Pendekatan retrospektif merupakan metode deteksi dini percobaan fraud.
Caranya adalah menelusuri electronic
health record (EHR) atau rekam medis pasien. Dengan cara ini, mereka
berhasil mencegah hingga 80 persen upaya penipuan dan penyalahgunaan skema
jaminan.
Di Indonesia, Pusat
Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kesehatan Universitas
Gadjah Mada juga melakukan pendekatan retrospektif untuk mendeteksi fraud.
PKMK melakukan audit klinis menggunakan rekam medis. Rekam medis yang diaudit
adalah penyakit dan tindakan yang high
cost, high volume, ataupun problem
prone yang terjadi di rumah sakit.
Hasil self assessment pada tujuh rumah sakit pemerintah di pulau Jawa
menunjukkan memang ada potensi fraud dalam layanan kesehatan di Indonesia.
Modus yang potensi penggunaannya hingga 100 persen adalah upcoding, yakni
diagnosis atau prosedur pelayanan yang diklaim dibuat lebih kompleks dan
lebih mahal daripada yang sebenarnya, sehingga nilai klaim menjadi lebih
tinggi ketimbang yang seharusnya. Laporan self assessment ini seharusnya
menjadi alarm bagi pemerintah untuk mengembangkan sistem anti-fraud yang
lebih baik.
Baru-baru ini, telah
keluar Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2015 tentang pencegahan
kecurangan alias fraud dalam pelaksanaan program jaminan kesehatan pada
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Peraturan ini telah memuat unsur
pelaku fraud dan jenis-jenis potensi fraud yang terjadi pada layanan
kesehatan primer serta kesehatan rujukan. Namun masih diperlukan peraturan yang
dapat memberi efek jera bagi pelaku fraud, misalnya dengan mencabut izin
profesi.
Setelah aturan yang
komprehensif dan sanksi tegas diterapkan, pada sisi pelaksana, para petugas
BPJS dan penyelenggara fasiltas layanan kesehatan seharusnya memahami secara
baik modus-modus fraud dan cara pencegahannya. Dengan demikian, mereka secara
aktif bisa mencegah upaya manipulasi jaminan kesehatan.
Di luar itu,
pemerintah perlu mengembangkan dan terus mengkampanyekan budaya anti fraud. Kemudian, demi mendukung
upaya-upaya penindakan, sebaiknya Kementerian Kesehatan membuat saluran untuk
melaporkan fraud, memanfaatkan electronic
medical record rumah sakit untuk mendeteksi fraud yang terjadi pada
fasilitas layanan kesehatan, serta menjalin kemitraan dengan penegak hukum
untuk menindak pelaku fraud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar