Darurat Manusia Perahu
Ahmad Sahidah ; Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara
Malaysia
|
JAWA
POS, 05 September 2015
KABAR buruk datang pada Kamis lalu (3/9).
Kapal kayu pengangkut sekitar 100 warga negara Indonesia (WNI) karam. Menurut
Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia, kecelakaan tersebut kali pertama
diketahui seorang nelayan yang melintasi perairan Sabak Bernam, Selangor.
Kapal tersebut diindikasikan berangkat dari
Port Kelang menuju Tanjungbalai, Sumatera Utara. Peristiwa itu baru diketahui
saat nelayan menemukan jenazah dan bangkai kapal pukul 05.30 ( Jawa Pos, 4/9)
Laluan itu memang acap digunakan tekong untuk
menyelundupkan penumpang ilegal yang akan kembali ke Indonesia. Sebenarnya,
pihak berkuasa sering menyisir rute rawan tersebut serta menangkap tekong dan
buruh migran yang berani bertaruh nyawa menggunakan angkutan yang berisiko
tinggi.
Sejatinya, Polisi Laut (Polis Marin) Malaysia
sering melakukan operasi di kawasan itu. Mereka acap menangkap tekong dan
pekerja kita, lalu membawa mereka ke kantor pihak keamanan tersebut untuk
diselidiki sesuai dengan Akta Anti Pemerdagangan (trafficking) Orang dan Anti Penyelundupan Migran 2007.
Kalau bencana itu terjadi menjelang Ramadan
atau Idul Fitri, bisa jadi korbannya bakal lebih banyak. Sebab, seperti
hampir semua pekerja migran kita, banyak buruh migran yang bekerja di
Malaysia pulang ke kampung halaman. Kekerapan semakin tinggi memasuki
hari-hari menjelang Idul Fitri.
Kekhawatiran terjadinya bencana serupa
terulang pada waktu-waktu yang akan datang tidak berlebihan. Sebab, banyak
tenaga kerja yang masih memilih mudik melalui jalan tikus.
Belum lagi, moda angkutan itu tidak dipantau
oleh pihak berwenang terkait keselamatan. Tidak hanya itu, tekong sering
membawa penumpang melebihi kapasitas angkut perahu.
Namun, betapapun operasi dan penangkapan
sering dilakukan, banyak buruh ilegal asal tanah air yang masih berdegil
untuk masuk atau keluar dari Malaysia, termasuk dari negara-negara tetangga,
misalnya Myanmar dan Thailand, dari pelbagai titik secara ’’haram’’.
Meski demikian, kendati yang masuk adalah
pekerja ilegal, pihak Malaysia tetap mengerahkan SAR (search and rescue) untuk melakukan penyelamatan.
Tugas Bersama
Mengingat peristiwa seperti itu terjadi
berulang-ulang, tentu kedua negara ini telah mengantongi informasi yang
lengkap terkait dengan tindak kejahatan kemanusiaan tersebut. Bagaimanapun,
buruh migran yang memilih jalur ilegal akah lebih mudah terpapar pada
tindakan kekerasan dan perdagangan manusia.
Tidak jarang, mereka harus menempuh jalan maut
karena perahu yang mengantar pahlawan devisa itu berhenti agak jauh dari
pantai untuk menghindari patroli keamanan setempat. Lalu, mereka berenang
untuk sampai ke bibir laut dan menyusuri hutan bakau sebelum akhirnya bekerja
secara tidak sah. Lebih malang, jika mereka membawa anak-anak, tentu
peristiwa itu akan menjadi pengalaman traumatik bagi buah hati.
Kalau beruntung, mereka bisa mendapat majikan
yang baik. Kalau buntung, mereka hanya membanting tulang dan mendapat hasil
yang tidak seberapa karena diupah sebagai buruh tanpa dokumen resmi.
Belum lagi, sebagian mereka tidak mendapat
informasi yang lengkap tentang pekerjaan yang bakal dilakukan di negara
tetangga. Tidak pelak, pengalaman tetangga saya layak dicermati.
Dia menelan pil pahit karena harus bekerja di
perkebunan sawit. Sebagai sopir, lelaki itu tidak terbiasa bekerja berat.
Sementara itu, di sana dia harus memanggul tandan pohon penghasil minyak
goreng di jalan yang terjal. Bekas hitam di bahu dan terkencing-kencing akibat
beban berat menunjukkan betapa tidak mudah mengais rezeki di tanah rantau.
Sebenarnya, banyak juga TKI yang mempunyai
kisah manis. Dengan mengantongi surat resmi, mereka bisa bekerja lebih tenang
dan mendapat upah yang lumayan.
Tentu, mereka harus berkorban untuk bisa
menyimpan uang lebih banyak. Misalnya, tiga pasang keluarga menyewa satu
rumah bersama-sama untuk menghemat uang sewa.
Bukan hanya itu, banyak pekerja bangunan yang
sering menambah waktu bekerja karena uang lemburnya menambah pundi-pundi duit.
Malah, ada seorang TKI asal Madura menjadi penjual roti canai sukses, sebuah
pekerjaan yang tidak biasa bagi buruh asal Pulau Garam.
Sikap Tegas
Nahas, untuk kali kesekian, buruh migran kita
meregang nyawa di lautan ketika mereka ingin pulang ke rumah asal. Mereka
layaknya manusia perahu asal Vietnam dahulu yang pernah mengarungi lautan
untuk menemukan kehidupan baru yang jauh lebih aman bila dibandingkan dengan
di negara asalnya akibat perang saudara.
Cerita pilu tentang mereka direkam dengan baik
oleh Mary Terrell Cargill dan Jade Ngác Quang Huánh dalam Voices of Vietnamese Boat People: Nineteen
Narratives of Escape and Survival. Hari ini manusia perahu itu adalah
warga Indonesia yang sedang mencari rezeki untuk menafkahi keluarga. Begitu
tragis!
Mengingat banyak jalur tikus masih sering
digunakan dan menjadi alur mematikan, tentu badan intelijen kedua pihak telah
mengetahui hal tersebut dengan saksama. Apalagi, penangkapan yang sering
dilakukan pihak keamanan Malaysia berdasar atas laporan intelijen atau hasil
risikan dalam bahasa tetangga.
Selanjutnya, pihak terkait kedua negara segera
mengambil langkahlangkah yang diperlukan untuk menutup pintu masuk dan keluar
tanpa kompromi. Tentu, pada waktu yang sama, Badan Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) semakin gencar berkampanye
tentang bahaya jalur tikus yang dilalui buruh migran ilegal. Akhirnya, sudah
saatnya presiden turun tangan dengan menyatakan bahwa republik ini menghadapi
darurat manusia perahu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar