Cerita Tiga Gus hingga Mesin Ketik Tua
Pulangnya KH Muchit Muzadi, Hilangnya
”Buku Pintar” NU
Nurwahid ; Wartawan Jawa Pos
|
JAWA
POS, 07 September 2015
SEKITAR pukul 05.30 kemarin (6/9) saya sangat
terkejut ketika membuka SMS seorang kawan lama. Dia memberitahukan
meninggalnya KH Abdul Muchit Muzadi, mustasyar PB NU dan mantan rais syuriah
PB NU.
Dari Sidoarjo saya menuju ke Ponpes Al Hikam,
Malang, karena dari RS Persada, jenazah memang disalatkan juga di ponpes
milik sang adik, KH Hasyim Muzadi, itu. Sampai di Cengger Ayam, tempat ponpes
Al Hikam, iring-iringan jenazah baru saja berjalan menuju Jember. Saya
kepancal.
Kepergian kiai berusia 89 tahun itu tentu
sebuah kehilangan besar bagi NU dan seluruh warga nahdliyin. Mbah Muchit,
begitu bisa beliau dipanggil, sudah dianggap layaknya buku pintarnya NU. Hal
tersebut tidak mengherankan karena tokoh kelahiran Tuban, 4 Desember 1925,
itu selalu terlibat dalam hampir semua peristiwa besar di NU.
Pada 1983–1984, Mbah Muchit terlibat aktif
sejak perumusan khitah NU dan penerimaan asas tunggal Pancasila, bersama
kiai-kiai besar lain seperti Gus Dur dan KH Achmad Siddiq. Perannya kembali
mengemuka pada awal reformasi, saat PKB dilahirkan. Mbah Muchit adalah salah
seorang deklarator PKB bersama Gus Dur, KH Ilyas Ruchiyat, KH Mustofa Bisri,
dan KH Munasir Ali.
Meski seorang kiai sepuh, Mbah Muchit sangat
dekat dengan anak-anak muda NU. Terutama mereka yang aktif di Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Itu tak lepas dari sikapnya yang mengayomi,
bersahaja, pandai menempatan diri sebagai orang tua maupun guru, serta ciri
khasnya yang humoris.
Mbah Muchit bukanlah kiai pemangku pondok.
Yang dipangku ”hanya” sebuah masjid. Di depan rumahnya, Jalan Kalimantan,
Teglboto, Jember, ada sebuah masjid, namanya masjid Sunan Kalijogo. Di masjid
itulah selalu berkumpul aktivis PMII dari generasi ke generasi. Kebetulan
lokasinya memang di kawasan kampus Universitas Jember (Unej).
Kepada mereka, Mbah Muchit kadang juga
menyempatkan diri menularkan ilmu. Saya ingat antara tahun 1992–1995, setiap
Selasa malam (meski tidak selalu karena kesibukan beliau), beliau
menyampaikan materi tentang Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja). Nah, di sela-sela
memberikan materi itu, humor-humor cerdas terlontar. Salah satu yang selalu
saya ingat adalah humor tentang sebutan Gus.
Rupanya kiai Muchit ketika itu
geli melihat anak-anak PMII yang sedikitsedikit memanggil Gus terhadap sesama
mereka.
Suatu ketika Kiai Muchit menyampaikan, ”Di
Jember ini banyak sekali Gus,” katanya. Tapi, kata beliau, sebenarnya Gus itu
bisa dibagi tiga. Yakni, Gus Nasab (keturunan), Gus Nasib, dan Gus Nusub. Gus
Nasab adalah orang yang memang diakhirkan sebagai putra seorang kiai,
kemudian dipanggil Gus. Ini Gus yang sesungguhnya. Ada lagi Gus Nasib. Dia
bukan anak kiai, tapi secara kebetulan menjadi menantu kiai. Jadi, nasibnya
baik, menjadi Gus karena diambil menantu kiai. Nah, Gus Nusub ini yang tidak
jelas. Anak kiai bukan. Menantu kiai bukan. Tapi, tiba-tiba dipanggil Gus.
Entah apa penyebabnya. Tentu itu hanya sebuah guyonan khas Mbah Muchit.
Kiai Muchit merupakan tokoh yang total
mengabdikan diri di NU. ”Saya ini apa kata NU,” ujarnya di banyak kesempatan.
Tak heran, meski ketika itu posisinya sebagai rais syuriah PB NU, Mbah Muchit
juga masih mau memimpin doa selamatan atau mengisi acara di tingkat kampung.
Bukan hanya itu. Saking totalnya, masalah
kesehatan kadang tidak dipertimbangkan. Pada 1990-an itu, usia Mbah Muchit
sudah lebih 70 tahun. Para aktivis PMII sangat sering mengadakan acara
pengaderan. Mbah Muchit menjadi pemateri wajib bagi setiap acara seperti itu.
Tempatnyabisaberjarak20–30 km dari rumah beliau. Namanya mahasiswa, mereka
tidak memiiki kendaraan yang layak untuk menjemput. Satu-satunya jenis
kendaraan yang tersedia adalah sepeda motor. Itu pun kebanyakan motor tua.
Tak terhitung berapa puluh kali Mbah Muchit diboncengkan sepeda motor olong
70 yang tarikannya saja sudah tidak stabil. Begitu juga dengan suara
knalpotnya. Jaraknya puluhan km lagi. Dan, Mbah Muchhith tidak pernah
mengeluh.
Gus Dur pernah menyebut Kiai Muchit lebih
mirip dosen ketimbang kiai. Itu karena intelktualitas beliau yang mumpuni.
Sebagai murid langsung KH Hasyim Asy’ari, Mbah Muchit memang sering dimintai
masukan oleh para pimpinan Unej. Terutama terkait dengan kultur masyarakat
Jember yang mayoritas NU.
Meski banyak dikelilingi mahasiswa, Mbah
Muchit hampir tidak pernah meminta bantuan mereka. Termasuk mengetik materi
ceramah misalnya. Saat itu, sebagai rais syuriah PB NU, kesibukan beliau luar
biasa. Jarang sekaili waktunya luang. Meski demikian, untuk materi ceramah,
semua dikerjakan sendiri. Dengan mesin ketik tua. Kadang siang, kadang juga
sampai larut malam.
Mudah sekali mengenali Mbah Muchit sedang lembur materi
ceramah. Bunyi cetak..... cetak...... dari mesin ketika manual berukuran
besar terdengar keras dari masjid. Memang, kamar kerja Mbah Muchit hanya
berjarak sekitar 3 meter dari serambi masjid sebelah utara. Sehigga kami yang
memang sering tdur di masjid itu dengan jelas mendengarnya.
Yang lebih mengheranan lagi, Mbah Muchit tidak
sekadar mengetik dalam kertas lembaran berkuruan folio. Tapi, di kertas
manila berkuran besar. Itulah Power Point versi zaman itu. Jadi, huruf-huruf
kecil di tuts mesin ketik itu dibikin bertumpuk-tumpuk hingga ukuran hurufnya
sangat besar. Misalnya, membuat huruf Allah (dalam huruf Arab), disusun dari
huruf-huruf alfabet higga terbentuk kata Allah berhuruf Arab. Alangkah
telatennya. Kalau orang lain mungkin sudah menulisnya dengan spidol.
Ya, Mbah Muchit memang total di NU. Hampir
seluruh hidupnya dicurahkan untuk NU. ”Saya ini di NU, saya niati ndandan
awak (mereparasi diri).” Ucapan rendah hati seperti itu sangat sering kami
dengar.
Selamat jalan Mbah Muchit, kiai yang rendah
hati, ikhlas, dan istiqamah. Semoga Allah memberkan surga-Nya. Amin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar