Bukan Zaman Normal
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
05 September 2015
Ketika perekonomian megap-megap dan rakyat menjerit-jerit, wakil
rakyat malah tak malu meminta megaproyek gedung baru yang nilainya bisa Rp
2,7 triliun. Ketika agenda pemberantasan korupsi belum tuntas, te- tapi
banyak pihak tiarap karena takut dikriminalisasi. Ketika sepak terjangnya
dinilai kontroversi dan gaduh, sejumlah pejabat tetap saja grusah-grusuh. Mau
minta empati kepada rakyat yang tengah kesusahan, jangan berharap banyak. Di
manakah sense of crisis para pemimpin?
Masalah selalu saja tak teratasi, datang silih berganti. Misal,
pilkada serentak yang untuk pertama kali digelar pada Desember mendatang, di
sejumlah daerah menjadi tanda tanya. Di beberapa daerah hanya ada satu
pasangan calon alias calon tunggal. Mengacu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015,
pilkada tak bisa digelar apabila cuma calon tunggal. Jalan keluarnya, pilkada
pun ditunda. Kota Surabaya mungkin paling dramatis. Kekuatan petahana Tri
Rismaharini-Wisnu Sakti Buana yang dicalonkan PDI-P tak tertandingi. Pasangan
calon ini dinilai terlalu kuat. Tidak ada lawan tanding yang sepantar!
Fenomena calon tunggal bisa dibaca sebagai bukti pragmatisme
partai politik. Bisa jadi parpol berpikir: buat apa bertanding menghadapi
lawan tangguh jika tetap kalah, terlebih lagi melawan petahana. Atau, bisa
jadi semacam balas dendam. Sebab, di daerah yang basis massanya lemah,
misalnya, parpol A memilih berkoalisi dengan parpol B. Namun, di daerah yang basis
massanya kuat, parpol A pede saja mengusung calon sendirian. Tak mau
berkoalisi. Parpol B (dan koalisi lainnya) tentu bereaksi: tidak mengajukan
pasangan calon. Jika hanya calon tunggal, pilkada ditunda, sebagaimana UU No
8/2015. Ini namanya strategi penjegalan.
Jika ditunda, pertahana harus "turun takhta". Petahana
kerap diuntungkan apabila nyalon lagi karena petahana punya akses untuk
pengerahan birokrasi dan pemanfaatan fasilitas negara. Begitu mundur,
ketangguhan petahana kemungkinan tergerus. Popularitasnya mungkin juga
menurun, yang bisa berpengaruh pada tingkat elektabilitas. Ini namanya
strategi mempreteli petahana. Sebaliknya, para penantang (parpol) punya waktu
bersiap-siap. Setidaknya titik startnya tidak terpaut jauh dengan petahana.
Itulah potret politik kita. Penguatan demokrasi rasanya begitu
lama. Masih normalkah situasi saat ini? Pada waktu kecil, saya sering
mendengar kakek-nenek bercerita tentang "zaman normal". Generasi
kelahiran sampai 1970-an rasanya masih mendengar kisah nostalgia zaman
normal. Zaman normal mengacu pada "suatu era yang tenang dan
tertib" pada zaman Belanda. Tampaknya setiap generasi punya memori
masing-masing. Misalnya, ada yang bilang zaman normal terjadi pas awal abad
ke-20 saat pergerakan nasional, pasca politik etis (balas budi) pada pribumi.
Putra-putra Ibu Pertiwi pun bergerak. Pada awal abad itu, Hindia Belanda
tampak makmur.
Memori lain mencatat, zaman normal terjadi setelah dunia
diguncang depresi ekonomi (malaise) awal 1930-an sampai menjelang Perang Dunia
II. Situasi pasca resesi ekonomi itu dilukiskan zaman begitu tertib.
Indonesianis MC Ricklefs (A History of
Modern Indonesia Since 1200, 2008), menyebutkan, antara 1927 dan 1942,
kebangkitan nasional Indonesia mulai bergaya kurang semarak. Rakyat pedesaan
tidak lagi aktif di gerakan-gerakan radikal, tetapi disibukkan dengan usaha
menghadapi resesi ekonomi. Ada juga pendapat bahwa zaman normal terjadi
setelah Belanda menumpas perlawanan Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830).
Pasca Perang Jawa, situasi tertib kembali. Akhir pergerakan, perlawanan,
pemberontakan, kekacauan, dan tentu saja penumpasan adalah batas imajiner
mulainya zaman normal. Zaman normal berarti ada orde yang stabil dan teratur.
Namun, tesis Takashi Shiraishi (Hantu Digoel, Politik Pengamanan Politik Zaman Kolonial, 2001),
menggelitik juga. Profesor sejarah dari Universitas Kyoto, Jepang, yang
menekuni sejarah gerakan radikal Indonesia itu menyatakan, kalau ada orde
tentu harus ada disorder atau
ancaman terhadap orde. Orang yang mementingkan orde selalu memikirkan
ancaman. Supaya ada orde, harus ada ancaman. Supaya orang-orang yang tinggal
di masyarakat Hindia Belanda merasa aman dan memahami mereka hidup normal,
maka didesainlah locus abnormal.
Antara lain diciptakanlah Digoel di Papua sebagai tempat (pembuangan)
orang-orang abnormal. Jadi ada batas. Hindia sebagai tempat normal dan Digoel
sebagai tempat tak normal. Tokoh-tokoh seperti Marco Kartodikromo, Moh Hatta,
Sutan Sjahrir, dan pejuang pemberontakan tahun 1926-1927 semuanya di-Digoel-kan.
Analogi lain mungkin zaman Orde Baru. Zaman Orde Baru ditandai
dengan pembangunan setiap lima tahun (Pelita). Orde Baru mewujudkan trilogi
pembangunan: stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan
pembangunan. Pancasila menjadi asas tunggal (1985) yang dogmatis. Mengikuti
logika Shiraishi, perlunya pembatas antara normal dan abnormal, maka
konstruksi berpikirnya adalah harus ada ancaman. Ideologi kiri (Komunisme)
menjadi ranah abnormal, sebagai negasi dari Orde Baru yang normal. Bisa jadi
karena romantika masa lalu, sekarang banyak stiker dan bak truk bergambar
Soeharto yang menyapa: Isih penak
zamanku to? (Lebih enak di zamanku,
kan?)
Zaman normal memang kerap digambarkan kehidupan ekonomi rakyat
adem-ayem. Apalagi kondisi alamnya mendukung. Thomas Stamford Raffles (The History of Java, 1817) melukiskan,
tanah Pulau Jawa sangat subur, setiap hari petani dapat memperoleh beras 4-5
kati (satu seperempat liter), dan di bawah sinar matahari tropis, di sini
tumbuh semua buah-buahan tropis.
Pada era Orde Baru, kata orang, duit gampang dicari. Tahun
1980-an, uang Rp 100 bisa untuk beli sarapan nasi uduk plus tahu-tempe.
Tetapi, pada era Reformasi, orang kerepotan cari nasi. Sekarang, tahun 2015,
uang Rp 1.000 untuk ke toilet umum saja kurang. Ibu-ibu ke pasar mengeluh
karena uang Rp 100.000 tidak cukup lagi untuk belanja harian. Harga daging
saja berkisar Rp 120.000-Rp 130.000 per kilogram. Jadi, ingat zaman malaise.
Pendapatan penduduk yang sebelumnya 8 sen (hampir sepicis/10 sen) per hari turun
4 sen (hampir sekelip/5 sen) sehari dan terus turun sampai 2,5 sen
(sebenggol). Di Fikiran Ra'jat, 1934, Bung Karno menggugat, "Orang Indonesia Cukup Nafkahnya
Sebenggol Sehari?" (Dibawah Bendera Revolusi, jilid I, 1965).
Tetapi, zaman normal ditandai dengan kontrol penguasa yang
sangat ketat. Menurut Ricklefs, masa separuh awal abad ke-20 menggambarkan
rezim Belanda yang paling menindas dan paling konservatif dalam sejarah abad
ke-20. Era Orde Baru, masih terlalu segar dalam ingatan, suara rakyat begitu
lama dibungkam. Orde Baru adalah kisah penaklukan negara atas rakyatnya.
Sekarang mungkin bukan zaman normal karena situasi belum tenang,
harga kebutuhan pokok tinggi, penuh kecemasan, politik-hukum gaduh, lalu
bencana kekeringan dan kabut asap. Tetapi, barangkali sebabak lagi zaman ini
berubah karena kabinet sudah dirombak, PAN sudah bergabung ke pemerintah,
pejabat Polri sudah dirotasi, dan sebentar lagi komisioner KPK dan Komisi
Yudisial diganti. Mereka yang tidak punya malu dan pongah bukanlah pemilik
zaman baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar