Tema Fantasi Muhammadiyah-NU
Dirga Maulana ;
Peneliti Junior
Pusat Pengkajian Islam dan
Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta
|
KORAN
TEMPO, 05 Agustus 2015
Dua organisasi Islam menggelar
muktamar hampir bersamaan: Muhammadiyah di Makassar dan Nadlatul Ulama (NU)
di Jombang. Muhammadiyah mengambil tema "Islam Berkemajuan", dan NU
mengusung "Islam Nusantara". Keduanya memiliki persamaan, yakni
membumikan Islam di Indonesia dan keinginan untuk menjawab tantangan zaman.
Keduanya memiliki pesan bahwa Islam tidak melulu identik dengan Arab, tapi
Islam memiliki wajahnya sendiri di Indonesia. Muhammadiyah-NU telah
menasbihkan bahwa mereka berperan cukup lama sebelum Indonesia merdeka.
Kita bisa menelisik dalam kajian
komunikasi. "Islam Berkemajuan" dan "Islam Nusantara"
merupakan tema fantasi yang dimainkan oleh kedua organisasi Islam tersebut.
Tema fantasi adalah bagian dari teori konvergensi simbolik yang dicetuskan
oleh Ernest Bornmann dalam tulisan "Fantasies
and Rhetorical Vision: The Rhetorical Criticism of Social Reality",
yang diterbitkan dalam Quarterly
Journal of Speech pada 1972. Bagi Bornmann, tema fantasi merupakan
cerita-cerita, kisah, ritual, perumpamaan, atau permainan kata-kata yang
memiliki fungsi penting dalam mengurangi ketegangan kelompok (tension release), bahkan mampu
meningkatkan kesolidan kelompok.
Artinya, "Islam
Berkemajuan" ala Muhammadiyah seharusnya bisa memutus mata rantai
kemiskinan, buta huruf, dan pendidikan. Bukan hanya mencari pemimpin yang go international (Koran Tempo, 31 Juli
2015), tapi juga lebih memberikan solusi bagi negara-bangsa yang
tercabik-cabik oleh gurita korupsi. Angka kemiskinan kita masih tinggi, buta
huruf juga masih banyak, dan belum semua anak bangsa merasakan pendidikan
berkualitas.
NU tidak kalah menariknya.
Perdebatan Islam Nusantara mendapat porsi yang cukup baik di kalangan
intelektual muslim Indonesia. Sayanganya, Islam Nusantara belum mendapatkan
bentuk ideal dalam menerjemahkan konsepnya. Isu radikalisme agama,
kepemimpinan perempuan, LGBT, teknologi baru (Internet), dan isu-isu nasional
maupun internasioal belum mendapat tempat yang cukup serius di kalangan
nadliyin. Malah orang-orang NU yang progresif kerap diasingkan, bahkan
disingkirkan.
Banyak isu sensitif di atas belum
mendapatkan perhatian yang cukup serius oleh Muhammadiyah dan NU. Padahal,
tercatat dalam sejarah, pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan (1912)
menekankan tidak semata kesalehan individual, melainkan juga kesalehan
sosial. Pun demikian, KH Hasyim Asy'ari mendirikan NU (1926) merupakan salah
satu wajah Islam toleran yang tidak pernah absen dalam menyampaikan pesan
dakwahnya yang damai.
Jika demikian, Muhammadiyah dan NU
adalah garda depan "Islam Tengah" yang memperjuangkan Islam rahmatan lil alamin. Tentu
Muhammadiyah dan NU harus memainkan isu-isu sensitif dan merumuskan masalah
bangsa yang sudah sangat kronis. Pertama, Muhammadiyah dan NU berperan
mencitrakan Islam toleran di mata dunia dan kedua, serius pada isu-isu
radikalisasi agama dan bagaimana mencegahnya. Agar "tema fantasi"
yang diusung keduanya tidak hanya menjadi "visi retoris" belaka.
Melainkan, kedua tema itu harus mendorong pada solidaritas dan kekohesivan
kelompok yang membentuk realitas bersama (shared
reality). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar