Senin, 10 Agustus 2015

Soeharto dan Muhammadiyah

Soeharto dan Muhammadiyah

Muhidin M. Dahlan  ;   Kerani @warungarsip
                                                 KORAN TEMPO, 05 Agustus 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Muhammadiyah tak pernah lupa akan pengakuan Soeharto sebagai warga Muhammadiyah. Karena itulah di edisi khusus Suara Muhammadiyah (SM) untuk Muktamar ke-47 Makassar diperlukan satu artikel spesial yang mengingatkan hubungan manis itu.

Soeharto pada pembukaan muktamar di Banda Aceh, pada 1995, membuat pengakuan yang isinya: "Tanpa tedheng aling-aling, saya ini bibit Muhammadiyah yang ditanam di bumi Indonesia; dan alhamdulillah memperoleh kepercayaan masyarakat Indonesia untuk memimpin pembangunan nasional. Semoga apa yang saya lakukan ini tidak mengecewakan warga Muhammadiyah" (SM No. 15, Th 100).

Pengakuan itu tak hanya memiliki sayap tafsiran yang banyak, tapi juga bisa menyiratkan bagaimana tarik-menarik politik praktis dalam tubuh Muhammadiyah. Bagi Muhammadiyah, pengakuan Soeharto itu menjadi tonggak bahwa Muhammadiyah berada dalam perhatian khusus kekuasaan. Sementara bagi Soeharto, merangkul Muhammadiyah-termasuk kelompok intelektual dan tokoh utama kelas menengah muslim yang tergabung di ICMI-menjadi modal besar untuk pembangunan "tinggal landas".

Proyek penjinakan Muhammadiyah merupakan langkah besar untuk menghalau radikalisme kanan. Sekaligus untuk "menggembosi" suara sengak "muazin" Amien Rais, yang juga Ketua PP Muhammadiyah, yang berseru-seru tentang pergantian pimpinan nasional (suksesi).

Untuk meyakinkan Muhammadiyah, Soeharto bahkan "tanpa tedheng aling-aling" mengatakan bahwa usaha sosialnya membuat musala di ruang-ruang publik, semata karena Muhammadiyah.

Soeharto memang punya urgensi menarik kembali Muhammadiyah dalam pusaran kekuasaan setelah trauma dengan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Piagam pembentukan Parmusi ini ditandatangani PP Muhammadiyah yang diwakili H Djarnawi Hadikusumo dan M. Daris Tamim pada 8 September 1967.

Bagi Muhammadiyah, pendirian Parmusi adalah "hadiah" dari kekuasaan yang sukses menumbangkan rezim Sukarno dan mengubur PKI. Parmusi, bagi Muhammadiyah, adalah: "Keputusan Sidang Tanwir th 1966 di Bandung jg setjara tegas menekankan perlunja partai politik Masjumi direhabilitir dan djika belum mungkin sedang keperluan telah mendesak maka dapat dibentuk Partai Islam baru, jang akhir2 ini ternjata dapat direalisir dengan telah selesainja semua persiapan tentang pendirian Partai Muslimin Indonesia…" (SM No 21-22, Nov 1967).

Seperti halnya di masa Sukarno yang mendaku diri sebagai warga sah Muhammadiyah, persyarikatan yang ikut membidani lahirnya Masyumi ini juga mengalami bad mood yang parah. Ketika pada 1960-an Sukarno pada akhirnya "menyakiti" Muhammadiyah saat membubarkan Masyumi, begitu pula Soeharto yang hanya butuh lima tahun untuk melumat Parmusi dengan memaksanya masuk dalam proyek fusi partai 1973 yang melahirkan orpol PPP.

Dua kali disakiti politik oleh presiden yang mendaku diri sebagai warga sah Muhammdiyah itu yang membuat persyarikatan yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini kembali ke langgar mengaji Surat Al-Maun, dan menghabiskan energi yang terluka untuk kerja sosial dan pendidikan.

Seakan belum cukup luka itu, Muhammadiyah kembali lagi membidani lahirnya partai baru pada era baru politik nasional. Dan Anda semua tahu bagaimana kutukan partai itu terus memayungi nasib Muhammadiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar