Soeharto dan Muhammadiyah
Muhidin M. Dahlan ;
Kerani @warungarsip
|
KORAN
TEMPO, 05 Agustus 2015
Muhammadiyah tak pernah lupa akan
pengakuan Soeharto sebagai warga Muhammadiyah. Karena itulah di edisi khusus
Suara Muhammadiyah (SM) untuk Muktamar ke-47 Makassar diperlukan satu artikel
spesial yang mengingatkan hubungan manis itu.
Soeharto pada pembukaan muktamar
di Banda Aceh, pada 1995, membuat pengakuan yang isinya: "Tanpa tedheng
aling-aling, saya ini bibit Muhammadiyah yang ditanam di bumi Indonesia; dan
alhamdulillah memperoleh kepercayaan masyarakat Indonesia untuk memimpin
pembangunan nasional. Semoga apa yang saya lakukan ini tidak mengecewakan
warga Muhammadiyah" (SM No. 15, Th 100).
Pengakuan itu tak hanya memiliki
sayap tafsiran yang banyak, tapi juga bisa menyiratkan bagaimana
tarik-menarik politik praktis dalam tubuh Muhammadiyah. Bagi Muhammadiyah,
pengakuan Soeharto itu menjadi tonggak bahwa Muhammadiyah berada dalam
perhatian khusus kekuasaan. Sementara bagi Soeharto, merangkul
Muhammadiyah-termasuk kelompok intelektual dan tokoh utama kelas menengah
muslim yang tergabung di ICMI-menjadi modal besar untuk pembangunan
"tinggal landas".
Proyek penjinakan Muhammadiyah
merupakan langkah besar untuk menghalau radikalisme kanan. Sekaligus untuk
"menggembosi" suara sengak "muazin" Amien Rais, yang juga
Ketua PP Muhammadiyah, yang berseru-seru tentang pergantian pimpinan nasional
(suksesi).
Untuk meyakinkan Muhammadiyah,
Soeharto bahkan "tanpa tedheng aling-aling" mengatakan bahwa usaha
sosialnya membuat musala di ruang-ruang publik, semata karena Muhammadiyah.
Soeharto memang punya urgensi
menarik kembali Muhammadiyah dalam pusaran kekuasaan setelah trauma dengan
Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Piagam pembentukan Parmusi ini
ditandatangani PP Muhammadiyah yang diwakili H Djarnawi Hadikusumo dan M.
Daris Tamim pada 8 September 1967.
Bagi Muhammadiyah, pendirian
Parmusi adalah "hadiah" dari kekuasaan yang sukses menumbangkan
rezim Sukarno dan mengubur PKI. Parmusi, bagi Muhammadiyah, adalah:
"Keputusan Sidang Tanwir th 1966 di Bandung jg setjara tegas menekankan
perlunja partai politik Masjumi direhabilitir dan djika belum mungkin sedang
keperluan telah mendesak maka dapat dibentuk Partai Islam baru, jang akhir2
ini ternjata dapat direalisir dengan telah selesainja semua persiapan tentang
pendirian Partai Muslimin Indonesia…" (SM No 21-22, Nov 1967).
Seperti halnya di masa Sukarno
yang mendaku diri sebagai warga sah Muhammadiyah, persyarikatan yang ikut
membidani lahirnya Masyumi ini juga mengalami bad mood yang parah. Ketika
pada 1960-an Sukarno pada akhirnya "menyakiti" Muhammadiyah saat
membubarkan Masyumi, begitu pula Soeharto yang hanya butuh lima tahun untuk
melumat Parmusi dengan memaksanya masuk dalam proyek fusi partai 1973 yang
melahirkan orpol PPP.
Dua kali disakiti politik oleh
presiden yang mendaku diri sebagai warga sah Muhammdiyah itu yang membuat
persyarikatan yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini kembali ke langgar mengaji
Surat Al-Maun, dan menghabiskan energi yang terluka untuk kerja sosial dan
pendidikan.
Seakan belum cukup luka itu,
Muhammadiyah kembali lagi membidani lahirnya partai baru pada era baru
politik nasional. Dan Anda semua tahu bagaimana kutukan partai itu terus
memayungi nasib Muhammadiyah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar