Tantangan Abad Kedua Aisyiyah
Lies Marcoes ;
Peneliti Masalah Jender,
Kemiskinan, Penegakan Hukum
|
KOMPAS,
04 Agustus 2015
Sejumlah tonggak dicatat sebagai
sumbangan Aisyiyah kepada bangsa. Sejumlah catatan patut pula disampaikan
sebagai tanda kecintaan pada Aisyiyah.
Dengan berdirinya Aisyiah saja
telah menjadi bukti langkah ijtihad Muhammadiyah dalam menerjemahkan
nilai-nilai Islam yang berkemajuan.
Melalui teladan yang ditunjukkan Kiai Ahmad Dahlan, Muhammadiyah tegas
memperlihatkan pentingnya perempuan dalam organisasi dan mendidik umat. Dimulai dari berdirinya perkumpulan Sopo
Tresno yang mengajari perempuan baca
tulis dan mengaji, lalu berubah menjadi Aisyiyah, Muhammadiyah menunjukkan
sikapnya dalam melawan politik jajahan yang membatasi akses pendidikan bagi
umat Islam dan kaum perempuan.
Sumbangan
Aisyiyah
Melalui Aisyiyah, dalam Aisyiyah,
dan bersama Aisyiyah, Muhammadiyah
telah menawarkan satu pandangan berkemajuan
yang memungkinkan perempuan Muslim punya pilihan yang dibenarkan
secara syar'i untuk bergerak di ranah
domestik dan publik, menjalankan peran dakwah dan tajdid. Aktualisasi gerakan
Aisyiyah itu diwujudkan dalam penguatan dan pembaruan keagamaan, pendidikan, kesehatan,
pelayanan sosial, dan disiplin berorganisasi.
Semua aktivitas itu digerakkan
anggotanya yang berkehendak beramal dan beribadah di bawah satu komando
organisasi yang berjenjang dari pusat ke anak ranting. Dengan caranya, mereka
berusaha menerjemahkan prinsip dakwah yang dapat menjauhkan manusia dari
kebodohan melalui aksi dakwah nyata menyantuni duafa-mustadh'afin.
Bersama perkembangan negeri ini,
Aisyiyah menunjukkan tonggak-tonggak
capaiannya yang selaras zaman. Di Masa Orde Baru, ketika sejumlah ormas Islam
tumbang tak lolos "litsus",
Muhammadiyah dan Aisyiyah ternyata
kokoh bertahan sebagai organisasi
kelas menengah kota banyak yang meniscayakan sikap akomodatif mereka terhadap
kehendak negara. Pada kenyataannya tak semudah itu sebab bagaimanapun
Muhammadiyah dan Aisyiyah harus menjaga ideologi dan iman anggotanya.
Padahal, ketika itu tak gampang untuk bersikap beda dengan pandangan negara
yang ngotot memaksakan ideologi Pancasila dalam tafsir tunggal Orde Baru.
Demikian halnya dalam isu
perempuan. Kala itu, negara berkeras mengusung ideologi "Ibuisme" yang memosisikan perempuan semata
pendamping suami. Ideologi itu merambah luas hingga dalam bentuk pemaksaan KB
versi negara. Di antara sulitnya untuk beroposisi, Aisyiyah memilih berpijak
pada prinsip gerakan "Amar Makruf Nahi Mungkar" menyeru pada
kebaikan dan menolak kemungkaran. Atas dukungan penuh Pak AR Fachrruddin,
Ketua PP Muhammadiyah ketika itu, Aisyiyah menyodorkan konsep "Keluarga
Sakinah" sebagai cara pandang
beda atas ideologi "Kekonco-wingkingan" ciptaan Orde Baru
itu.
Meski terkesan sederhana, dalam konsep "Keluarga
Sakinah" ide dasarnya adalah soal
tanggung jawab yang harus diemban masing-masing individu terlepas dari apa
pun posisinya dalam keluarga. Peran
itu kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Peran ibu dalam
konsep itu adalah melindungi anggota keluarganya.
Secara kritis gagasan itu dimaknai
sebagai bentuk ketundukan Aisyiyah kepada kehendak Orde Baru. Di lain pihak
gagasan itu dicurigai sebagai upaya Islamisasi keluarga. Harap dicatat ketika itu negara begitu fobia terhadap hal-hal
berbau Islam. Nyatanya gagasan
"Keluarga Sakinah" memberi landasan berbeda dalam soal cara
pengaturan keluarga karena tumpuannya adalah soal tanggung jawab dunia akhirat
masing-masing anggota keluarga. Belakangan ketika negara melunak kepada umat
Islam, gagasan itu diadopsi negara
guna menggenjot program KB.
Kehilangan
hak dasar
Kini, pemberian tempat layak bagi
perempuan dalam organisasi itu telah menunjukkan capaian luar biasa. Aisyiyah telah berhasil membangun modal
sosial yang sangat berharga, yang tersebar di seluruh Tanah Air. Berbagai
jenis atau bentuk amal usaha
Aisyiyah antara lain lembaga
pendidikan (dari tingkat PAUD/Taman Kanak-kanak Aisyiyah Bustanul Atfal
sampai tingkat perguruan tinggi, termasuk pendidikan nonformal).
Jumlahnya kira-kira 24.000 lembaga
pendidikan. Mereka mendirikan ribuan
lembaga kesejahteraan sosial (panti asuhan), panti lansia, dan rumah aman
korban KDRT. Di bidang kesehatan, Aisyiyah bekerja dari sisi hulu-penyediaan
tenaga terampil kesehatan hingga hilir dalam pelayanan
kesehatan, seperti rumah sakit, balai
kesehatan ibu anak, dan poliklinik. Jumlahnya pun ribuan dengan kapasitas
layanan besar, sedang, dan kecil.
Di tengah catatan keberhasilan
itu, Aisyiyah berhadapan dengan persoalan yang membutuhkan sikap tajdid baru menghadapi abad kedua
gerakan mereka. Luasan persoalan yang dihadapi makin besar dan mendasar.
Globalisasi telah memengaruhi rumah tangga, bahkan hingga ke kamar tidur.
Relasi-relasi yang dibayangkan dalam gagasan "Keluarga Sakinah" tak
lagi cocok digunakan dalam melihat
persoalan itu. Ini disebabkan berubahnya ruang hidup akibat hilangnya akses
rakyat/umat, utamanya kaum miskin yang sebagiannya perempuan, atas tanah dan
sumber ekonomi.
Alih kepemilikan dan fungsi lahan
menjadi raksasa-raksasa industri ekstraktif, pembukaan hutan untuk batubara dan sawit, pembongkaran gunung-gunung untuk semen,
serta penangkapan ikan oleh kapal keruk raksasa jelas telah mengubah
ketahanan keluarga dan warga di desa-desa. Perubahan ruang hidup itu
menyebabkan jutaan perempuan bermigrasi sebagai tenaga kerja berketerampilan
rendah di kota, tetapi mereka jarang terhubung dengan organisasi keagamaan.
Jutaan perempuan itu kehilangan hak-hak dasarnya dengan kondisi kesehatan fisik
dan reproduksi yang rentan.
Demikian juga ribuan pekerja
perempuan dengan perlindungan sangat minimal. Mereka perlu disapa dengan
pendekatan yang juga memahami bentuk-bentuk eksploitasi baru dalam era
globalisasi. Ini menunjukkan persoalan kemanusiaan yang disebabkan perubahan
ruang hidup, relasi kuasa ekonomi harus dilihat sebagai persoalan umat dan
bukan perempuan semata.
Mengiringi perubahan sosial
ekologi serupa itu, berubah pula struktur-struktur relasi sosial di wilayah
urban dan perdesaan. Peran pamong, pemuka agama banyak terserap melayani korporasi. Atau
mereka tergilas oleh eksploitasi dan ekspansi industri-industri raksasa itu.
Ketika terjadi "kekosongan" kepemimpinan umat, posisi itu diisi
oleh para pemain baru yang sama sekali tak paham konteks Islam dan
kebangsaan. Mereka melakukan penafsiran baru yang lebih diskriminatif
terhadap perempuan, tetapi menggunakan otoritas agama yang makin keras dan
konservatif. Perkawinan anak tumbuh subur, demikian halnya penyingkiran
perempuan dari ruang publik atas nama syar'i. Inilah agaknya dua isu besar
yang membutuhkan pemikiran yang tak hanya dijawab oleh Aisyiyah, tetapi juga
Muhammadiyah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar