Bangun ”ASEAN Code of Conduct”
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
05 Agustus 2015
Keunggulan posisi hegemoni dunia,
seperti kejayaan Inggris pada abad ke-18 dan sekarang didominasi Amerika
Serikat sejak abad ke-20, sebagai kekuatan maritim yang dominan dan pemimpin
dalam sistem globalisasi setidaknya ditopang dua pilar. Pertama, keseimbangan
kekuatan di daratan Eropa dan Asia Timur. Kedua, superioritas dalam ekonomi,
teknologi, dan militer global.
Perilaku sama juga dilakukan
Tiongkok, mengembangkan konsep ”satu sabuk satu jalan” (OBOR), menghadirkan
berbagai teknologi disruptif dan pembangunan kekuatan angkatan laut secara
masif. Ketika persaingan global kedua kekuatan dunia AS-RRT dalam segala
bidang, pertanyaan yang selalu muncul adalah di mana posisi ASEAN?
Setiap kali para menlu ASEAN
bersidang tahunan, persoalan Laut Tiongkok Selatan selalu menjadi topik
dominan dan selalu mengacu persaingan hegemoni AS-RRT tersebut. Para pejabat
RRT, seperti biasa, mulai bersuara menentang dibahasnya persoalan Laut
Tiongkok Selatan dan menganggap forum tahunan ASEAN ini bukan tempatnya untuk
membahas klaim tumpang tindih kedaulatan di Laut Tiongkok Selatan.
Ada beberapa hal yang perlu
dicatat. Pertama, perilaku hegemoni (baquan) dan strategi kepemimpinan (lingdao zhanlue) para penguasa di
Beijing dalam dua tahun terakhir ini menjadi menakutkan banyak negara
tetangga Asia Tenggara. Khususnya menyangkut pembangunan ”pulau palsu” di
Kepulauan Spratly di atas karang-karang yang disebut Mischief Reef, Gaven
Reef, Subi Reef, Johnson Reef, Cuarteron Reef, Fiery Cross Reef, dan Hughes
Reef.
Persoalannya, walaupun pertemuan
pejabat senior ASEAN-RRT ke-9 bagi pengejawantahan Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC,
2002) di Tianjin, RRT, berhasil sepakat membuka ”jalur hotline,” masih
dibutuhkan waktu untuk menyusun petunjuk pelaksanaannya. Sekali lagi,
pertemuan pejabat senior untuk mencapai tata kelola (code of conduct) di Laut Selatan ini tidak menunjukkan kemajuan
konkret penyelesaian persoalan.
Kedua, Indonesia di sisi lain
memiliki agenda sendiri ketika Menlu RI Retno LP Marsudi menjelaskan posisi
Indonesia terkait isu perdamaian dan stabilitas kawasan, ingin mendesak
terbentuknya protokol kesepakatan atas Zona Bebas Senjata Nuklir Asia
Tenggara (ZOPFAN), isu diplomasi maritim, dan instrumen hukum perlindungan
pekerja migran.
Perlu kita ingatkan para pengambil
keputusan kebijakan luar negeri RI, walaupun Indonesia bukan termasuk negara
yang memiliki klaim tumpang tindih di Laut Tiongkok Selatan, Tiongkok tidak
pernah menjelaskan makna garis putus-putus di Laut Tiongkok Selatan dan
secara tertutup petinggi militer RRT menyatakan, ”…Indonesia menduduki 50.000
kilometer persegi perairan RRT.” Ini yang menjelaskan kemunculan artikel
Panglima TNI Moeldoko April 2014 di The Wall Street Journal (lihat China’s
Dismaying New Claims in the South China Sea).
Persoalan senjata nuklir, penting.
Persoalan diplomasi maritim, penting. Persoalan pekerja migran, penting. Namun,
yang mendesak dan penting adalah munculnya ancaman perdamaian dan stabilitas
Asia Tenggara akibat perubahan permainan geopolitik negara besar, AS-RRT.
Dan, ini harus disuarakan
Indonesia, termasuk membangun tata kelola maritim kawasan (regional maritime governance), di mana
banyak negara ASEAN bergantung pada keamanan pelayaran dan keamanan pangan
hasil laut. Perlu dipikirkan ulang, dinamika ASEAN yang terhambat oleh RRT
dan menyebabkan terjadinya internasionalisasi Laut Tiongkok Selatan kembali
pada jati dirinya menyelesaikan persoalan klaim kedaulatan membangun ASEAN code of conduct menggunakan
maritim sebagai pangkal kerja sama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar