Kamis, 06 Agustus 2015

Bangun ”ASEAN Code of Conduct”

Bangun ”ASEAN Code of Conduct”

Rene L Pattiradjawane  ;   Wartawan Senior Kompas
                                                       KOMPAS, 05 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Keunggulan posisi hegemoni dunia, seperti kejayaan Inggris pada abad ke-18 dan sekarang didominasi Amerika Serikat sejak abad ke-20, sebagai kekuatan maritim yang dominan dan pemimpin dalam sistem globalisasi setidaknya ditopang dua pilar. Pertama, keseimbangan kekuatan di daratan Eropa dan Asia Timur. Kedua, superioritas dalam ekonomi, teknologi, dan militer global.

Perilaku sama juga dilakukan Tiongkok, mengembangkan konsep ”satu sabuk satu jalan” (OBOR), menghadirkan berbagai teknologi disruptif dan pembangunan kekuatan angkatan laut secara masif. Ketika persaingan global kedua kekuatan dunia AS-RRT dalam segala bidang, pertanyaan yang selalu muncul adalah di mana posisi ASEAN?

Setiap kali para menlu ASEAN bersidang tahunan, persoalan Laut Tiongkok Selatan selalu menjadi topik dominan dan selalu mengacu persaingan hegemoni AS-RRT tersebut. Para pejabat RRT, seperti biasa, mulai bersuara menentang dibahasnya persoalan Laut Tiongkok Selatan dan menganggap forum tahunan ASEAN ini bukan tempatnya untuk membahas klaim tumpang tindih kedaulatan di Laut Tiongkok Selatan.

Ada beberapa hal yang perlu dicatat. Pertama, perilaku hegemoni (baquan) dan strategi kepemimpinan (lingdao zhanlue) para penguasa di Beijing dalam dua tahun terakhir ini menjadi menakutkan banyak negara tetangga Asia Tenggara. Khususnya menyangkut pembangunan ”pulau palsu” di Kepulauan Spratly di atas karang-karang yang disebut Mischief Reef, Gaven Reef, Subi Reef, Johnson Reef, Cuarteron Reef, Fiery Cross Reef, dan Hughes Reef.

Persoalannya, walaupun pertemuan pejabat senior ASEAN-RRT ke-9 bagi pengejawantahan Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC, 2002) di Tianjin, RRT, berhasil sepakat membuka ”jalur hotline,” masih dibutuhkan waktu untuk menyusun petunjuk pelaksanaannya. Sekali lagi, pertemuan pejabat senior untuk mencapai tata kelola (code of conduct) di Laut Selatan ini tidak menunjukkan kemajuan konkret penyelesaian persoalan.

Kedua, Indonesia di sisi lain memiliki agenda sendiri ketika Menlu RI Retno LP Marsudi menjelaskan posisi Indonesia terkait isu perdamaian dan stabilitas kawasan, ingin mendesak terbentuknya protokol kesepakatan atas Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (ZOPFAN), isu diplomasi maritim, dan instrumen hukum perlindungan pekerja migran.

Perlu kita ingatkan para pengambil keputusan kebijakan luar negeri RI, walaupun Indonesia bukan termasuk negara yang memiliki klaim tumpang tindih di Laut Tiongkok Selatan, Tiongkok tidak pernah menjelaskan makna garis putus-putus di Laut Tiongkok Selatan dan secara tertutup petinggi militer RRT menyatakan, ”…Indonesia menduduki 50.000 kilometer persegi perairan RRT.” Ini yang menjelaskan kemunculan artikel Panglima TNI Moeldoko April 2014 di The Wall Street Journal (lihat China’s Dismaying New Claims in the South China Sea).

Persoalan senjata nuklir, penting. Persoalan diplomasi maritim, penting. Persoalan pekerja migran, penting. Namun, yang mendesak dan penting adalah munculnya ancaman perdamaian dan stabilitas Asia Tenggara akibat perubahan permainan geopolitik negara besar, AS-RRT.

Dan, ini harus disuarakan Indonesia, termasuk membangun tata kelola maritim kawasan (regional maritime governance), di mana banyak negara ASEAN bergantung pada keamanan pelayaran dan keamanan pangan hasil laut. Perlu dipikirkan ulang, dinamika ASEAN yang terhambat oleh RRT dan menyebabkan terjadinya internasionalisasi Laut Tiongkok Selatan kembali pada jati dirinya menyelesaikan persoalan klaim kedaulatan membangun ASEAN code of conduct menggunakan maritim sebagai pangkal kerja sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar