Kamis, 06 Agustus 2015

Program Aksi Addis Ababa

Program Aksi Addis Ababa

Emil Salim  ;  Dosen Pascasarjana UI
                                                       KOMPAS, 06 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Perserikatan Bangsa-Bangsa punya tiga acara besar tahun 2015. Bulan Juli ada ”Konferensi Internasional Ketiga Pembiayaan Pembangunan” di Addis Ababa; pada September, di New York, Sidang Umum PBB tentang ”Sasaran Pembangunan Berkelanjutan 2015-2030”, dan Desember, di Paris, Konferensi tentang Perubahan Iklim menggantikan ”Protokol Kyoto”.

Rangkaian pertemuan untuk mengubah pola pembangunan konvensional 1950-2015 untuk beralih ke pola pembangunan berkelanjutan 2015-2030 mencakup tiga dimensi sekaligus, yakni pembangunan ekonomi, sosial, dan penyelamatan lingkungan.

Diharapkan, pada 2030 tercapai cita-cita pembangunan inklusif yang melibatkan dan menyejahterakan masyarakat menuju ”kemiskinan nol” pada 2030 dengan penyelamatan lingkungan dari ancaman perubahan iklim dan kerusakan alam.

Salah satu segi strategis mengejar cita-cita agung ini adalahmendorong proses pembangunan ekonomi ke tiga jalur pembangunan ekonomi-sosial-lingkungan melalui pengembangan kerangka finansial nasional yang integratif. Dalam kaitan inilah menonjol usaha menggalakkan sumber dana publik domestik.

Serentak dengan ini, ada urgensi menurunkan arus dana ”illicit (baca korupsi)”, yang diuraikan dalam laporan High-level Panel on Illicit Financial Flows from Africa. Berbagai pengalaman ”pencucian uang” dan praktik korupsi sudah tertanggapi dalam UN Convention against Corruption, yang dianjurkan diratifikasi negara anggota PBB.

Negara berkembang semula memperjuangkan terbentuknya ”Badan Kerja Sama Internasional di Bidang Perpajakan” agar bisa menanggulangi larinya modal secara ilegal dari negara berkembang ke negara maju. Namun, ini ditolak negara maju, yang merasa tugas cukup ditampung di Committee of Experts on International Cooperation.

Praktis semua negara berkembang menderita infrastructure gap, termasuk infrastruktur angkutan, energi, air, sanitasi, kesehatan, yang mencapai 1-1,5 triliun dollar AS per tahun. Suatu ”Global Infrastructure Forum” dibentuk untuk menutup kesenjangan infrastruktur dan mencakup berbagai lembaga pembiayaannya, seperti Asian Infrastructure Investment Bank, Global Infrastructure Hub, New DevelopmentBank, the Asia Pacific Project Preparation Facility, dan the World Bank Group.

Konferensi Addis Ababa dalam kerangka pembangunan pasca 2015 mengangkat kembali gagasan Perdana Menteri Kanada Lesley Pearson (1950) agar negara maju menyisihkan 0,7 persen pendapatan nasionalnya untuk ikut membiayai pembangunan negara berkembang.

Program mitigasi

Disepakati pula mendukung the Green Climate Fund dan negara maju berkomitmen memobilisasi 100 miliar dollar AS setahun sejak tahun 2020 untuk program mitigasi dan adaptasi mengantisipasi perubahan iklim.

Di bidang perdagangan internasional Bali Package 2013 diharapkan bisa menjadi landasan pelaksanaan kerja, khususnya terkait public stock holding program sekuritas pangan.

Namun, ada kecemasan terhadap volatilitas harga pangan dan pertanian. Untuk itu, perlu akses informasitransparan agar terbentuk ”penawaran dan permintaan” riil. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB akan mengembangkan Agriculture Market Information System.

Perkembangan keuangan dunia sejak tahun 2002 hingga kini menderita krisis finansial, yang besar pengaruhnya pada perkembangan ekonomi global. Perlu upaya memperkokoh stabilitas pasar finansial dan membangun global financial safety net melalui reformasi sistem finansial dan moneter global. Untuk itu, ”reformasi 2010 IMF” jadi penting dan governance reform IMF dan Bank Dunia harus dilaksanakan.

Usaha Financial Stability Board di bidang financial market reform perlu untuk memperkuat kerangka pengaturan macroprudential dan countercyclical buffers.Harus dipercepat agenda reformasi tentang regulasi pasar-finansial, termasuk menurunkan risiko sistemik berkaitan dengan ”shadow banking”,pasar derivatif, pinjaman sekuritas dan persetujuan re-purchase. Konferensi juga berkomitmen menanggapi risiko too-big-to-fail lembaga keuangan.

Addis Ababa Action Agenda memuat 134 artikel. Namun, yang menonjol adalah tuntutan pembaruan dalam arsitektur bidang perdagangan dan keuangan, yang secara bertahap menaikkan bobot negara berkembang.

Indonesia sebagai anggota G-20 diharapkan dapat memperdalam perjuangan kelompok negara berkembang, terutama dalam mereformasi perdagangan dan keuangan global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar