Daya Serap APBD
Robert Endi Jaweng ; Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta
|
KOMPAS,
06 Agustus 2015
Terus berulangnya serapan minimal
belanja negara/daerah dalam APBN/APBD saat ini menunjukkan sesuatu yang salah
pada level sistem. Skala kejadiannya bukan lagi kasuistik dan temporer,
melainkan sudah jadi wabah nasional dan nyaris permanen.
Dalam jenis belanja modal,
misalnya, hingga akhir semester pertama 2015, baru 9,4 persen dari pagu Rp
290 triliun dalam APBN-P yang terpakai. Kinerja realisasi anggaran tak kalah
buruknya terjadi di daerah, bahkan dengan persentase amat rendah, seperti
Kabupaten Kediri (0,9 persen), Kabupaten Berau (5 persen), dan Kabupaten Siak
(6 persen). Tidak heran, pada semester pertama kemarin, Rp 255 triliun dana pembangunan
mengendap di daerah (Kompas, 6/7).
Fakta keras itu selalu berulang
sepanjang era desentralisasi. APBD sebagai instrumen fiskal bagi pembiayaan
layanan publik dan stimulan ekonomi tidak bergerak dalam kekuatan penuh,
bahkan mandul. Kalaupun grafik serapan pada akhir tahun dapat meningkat,
sejatinya itu jauh dari standar ideal suatu belanja berkualitas; malah lebih
banyak diungkit belanja operasional birokrasi, inefisiensi, dan korupsi.
Ini artinya, hak dasar rakyat
untuk menikmati jalan bagus atau irigasi bagi pengairan sawah mereka terpaksa
tertunda. Bahkan, hilang lantaran pemerintahan yang tak bekerja (idle),
memilih memarkir dana publik ke berbagai lembaga/instrumen keuangan yang tak
produktif.
Reformasi
menyeluruh
Dalam kasus spesifik APBD, sosok
masalahnya tampak berlapis-lapis. Entah bernuansa politik atau berdimensi
teknokratik, bersumber dari internal tata kelola fiskal ataupun berkelindan
dengan lingkungan eksternal, merentang dari Jakarta hingga daerah beserta
konteks lokal-spesifik nan rumit. Semua itu membentuk struktur persoalan yang
tak boleh dianggap enteng.
Pertama, jika melihat siklus
realisasi pada triwulan hingga semester pertama yang kerap amat minim,
masalah manajemen waktu anggaran terlihat kasatmata sehingga ikhtiar bagi
pembenahannya bisa mendatangkan quick win awal. Kalender tahun fiskal APBN
ataupun APBD adalah Januari-Desember, sementara sistem anggaran tahun jamak
(multi-years) hanya berlaku pada megaproyek. Maka, entah uang habis atau
tersisa berlimpah, buku kas ditutup 15 Desember.
Ke depan, hitungan argo nol APBD
mesti diubah: dimulai setelah triwulan pertama, misalnya April, dan berakhir
Maret tahun berikutnya. Selama ini, triwulan awal itu sebenarnya menjadi
”masa tunggu” daerah bagi datangnya dana transfer pusat, tapi jarum tahun
fiskal sudah dihitung sejak 1 Januari sehingga pada akhir tahun banyak proyek
digenjot, uang dihamburkan atau tak terserap.
Kedua, proses normal di fase
perencanaan (RKPD) biasanya mulai terganggu saat memasuki fase penganggaran
(RAPBD). Banyak daerah menuntaskan pembahasan APBD melampaui tenggat, antara
lain, lantaran substansi perencanaan tak gampang diterjemahkan dalam kerangka
anggaran. Titik ini sungguh menyerupai battlefield: prioritas Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) vs Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
serta lebih buruk lagi sebagai pintu masuk kepentingan kepala daerah ataupun
determinasi DPRD yang memaksa kehendaknya atas nama aspirasi daerah pemilihan
(dapil).
Kalau ranah perencanaan
memunculkan dominasi proses teknokratik (pemda) atas proses partisipatif
(publik/musrenbang), kontestasi dalam penganggaran acap dimenangi aksi
berburu rente oleh kepala daerah/DPRD. Usaha mendasar guna memutus rantai
permainan ini adalah mewajibkan DPRD terlibat penuh dalam perencanaan,
sementara di tahap penganggaran tak lagi terlibat pada pembahasan satuan tiga
(proyek, alokasi, dan lokasi) serta memberi persetujuan akhir di paripurna.
Ketiga, kelanjutan dari butir di
atas adalah berupa politik pembiaran birokrasi. Pencermatan di lapangan
menunjukkan ada banyak bukti birokrasi memboikot implementasi anggaran.
Mereka menyadari bahwa ranah perencanaan dan penganggaran adalah arena
kontestasi politik, sementara realisasi adalah ranah mereka sebagai
administrator program. Ketakutan menjadi pemimpin proyek (pimpro) adalah
wujud nyata penolakan menjadi tumbal sekaligus ketidakrelaan para birokrat
senior untuk mengimplementasikan anggaran yang mereka tahu betul bahwa semua
itu hanya untuk melayani aksi perburuan rente para politisi.
Dalam konteks itu, langkah
perbaikan jelas tak cukup memindahkan kriminalisasi (pidana) ke ranah
administrasi. Sebagian kasus memang berkategori administrasi dan kebijakan,
tetapi tak boleh korupsi ikut diselamatkan. Dalam modus operandi yang canggih,
korupsi sangat gampang direkayasa agar memperoleh proteksi hukum. Para
pimpinan birokrasi mengetahui modus tersebut dan mereka yang berintegritas
kuat akan tetap memboikot di tahap implementasi anggaran. Di sini, instrumen
pengawasan, pengendalian, dan pemeriksaan keuangan justru harus bekerja
efektif, bukan malah mengalihkan secara serampangan korupsi ke dalam perkara
kebijakan/administrasi.
Keempat, tak jarang suatu proyek
yang telah dianggarkan, bahkan memasuki kontrak kerja dengan pihak ketiga, gagal
dieksekusi karena hambatan yang datang dari dimensi persoalan lain. Studi
Komite Pengawasan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD, 2015) menemukan masalah
akses dan proses pembebasan lahan jadi biang utama gagalnya pekerjaan suatu
proyek dan serapan anggaran.
Ini jelas bukan lagi domain rezim
fiskal, bahkan bukan semata urusan satu level pemerintahan. Pada kasus lain,
perizinan usaha bagi rekanan swasta berlarut-larut diproses oleh instansi
lain di pemda yang sama. Operasionalisasi kerja yang tertunda atau digarap
tergesa dan asal-asalan menjadi konsekuensi praktis berikutnya.
Kebutuhan bergerak sinergis
multipihak dan antar-pemerintahan jelas urgen. Proses tender proyek besar
mesti mensyaratkan koordinasi, bahkan kepanitiaan bersama lintas bidang.
Hingga revisi keempat (2015) Perpres Pengadaan Barang dan Jasa, business process tender hanya dilihat
secara sektoral.
Reformasi tuntas yang menempatkan
pengadaan (e-procurement) dalam
kesatuan integral dengan perencanaan (e-planning),
penganggaran (e-budgeting),
perizinan (e-licensing), dan
pembayaran (e-purchasing), bahkan
redesain keterhubungan sistemik multilayer
governance mesti jadi model baru. Ini memang bukan perkara gampang dalam
postur birokrasi kita yang kadung fragmentatif. Namun, hanya dengan upaya menyeluruh
semacam itu, kita memastikan setiap elemen bergerak sinergis.
Catatan
akhir
Daya serap APBD jelas tak
sesederhana membangun pranata unit layanan pengadaan (ULP) dan layanan
pengadaan secara elektronik (LPSE) mengoperasikan sistem e-proc yang memang
terbilang baru dalam sektor publik kita. Tidak pula semata soal jaminan
perlindungan hukum bagi panitia/pimpro, yang malah memberi proteksi bagi
korupsi politik dan aksi berburu rente elite lokal. Kita memerlukan manajemen
politik dan kepemimpinan presiden hingga gubernur/bupati/wali kota untuk
menghela reformasi menyeluruh tata kelola anggaran dan segenap dimensi
relasionalnya.
Politik anggaran Presiden Jokowi
yang berintikan desentralisasi fiskal kuat ke daerah/desa menemui kesia-siaan
jika takdidukung kapasitas manajemen fiskal mumpuni di level implementasi.
Bahkan, uang yang mengalir kian deras dan berjumlah banyak itu jadi sumber
bahaya berlipat berupa inefisiensi dan korupsi masif. Rakyat tak mendapatkan
manfaat bersih lewat layanan publik berkualitas sebagai bentuk nyata
kehadiran negara. Investasi pun sulit bergerak lantaran instrumen fiskal
pemda tak banyak ”menstimulasi” mesin pertumbuhan swasta. Membiarkan ini
terus berlarut pada usia 15 tahun kita berotonomi jelas menjadi sebentuk
kejahatan anggaran dalam varian lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar