Politik Pengorbanan
Seno Gumira Ajidarma ;
Wartawan
|
KORAN
TEMPO, 03 Agustus 2015
Jika kata "korban"
terasalkan dari Idul Qurban, tentunya akan terdapat makna sakral di sana,
setidaknya terandaikan demi mencapai sesuatu yang lebih baik dan lebih
tinggi. Namun dalam bahasa Indonesia, selain "korban", terdapat
"kurban". Ternyata yang belakangan itulah yang mendapat makna
sakral. Maka, sementara "korban" juga mendapat arti "orang
yang mati akibat perbuatan jahat", selain "pemberian untuk menyatakan
kebaktian, kesetiaan, dan lain-lain", arti "kurban" hanyalah
"persembahan kepada Allah" dan "pujaan atau persembahan kepada
dewa-dewa". Dalam terminologi geometris, "kurban" itu
vertikal, sedangkan "korban" itu horizontal. Meski terbedakan,
keduanya bertemu di persimpangan.
Dengan begitu, sacrifices dalam taktik catur yang
dilakukan demi kemenangan, dan tiada hubungannya dengan persembahan apa pun,
adalah "pengorbanan". Lagi pula memang tiada kata
"pengorbanan" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa, 2008: 733, 762). Demi
kemenangan, pengorbanan adalah suatu gerak tipu. Jadi, memang jauh dari
sakral, meskipun itu pengorbanan yang paling brilian, bahkan juga ketika yang
dikorbankan adalah yang tersakti di antara buah catur, yakni Ratu. Sebagai
satu-satunya buah catur yang mampu menjelajah wilayah dengan kemampuan
bergerak secara vertikal, horizontal, maupun diagonal, pemain catur paling
berpengalaman dan paling canggih sekalipun disebutkan akan selalu tergetar
oleh pengorbanan Ratu (Reinfeld, 1973:
141).
Pengorbanan Ratu adalah demi
kemenangan dan, karena itu, setiap langkahnya akan selalu diperhatikan dengan
cermat, sehingga langkah-langkah pengorbanan harus tampak seperti
kebersalahan tipografis alias tidak sengaja. Namun, setelah itu, bisa saja
berlangsung lima langkah menuju checkmate (sekakmat), meski hanya menggunakan
Benteng dan bahkan Pion! Tentulah taktik ini hanya bisa dibaca secara
imajinatif, oleh pihak pelaku maupun lawannya. Dalam sebuah diagram, Ratu
Putih (KR5) membiarkan dirinya dimakan oleh Pion Hitam (KN3), tapi setelah
itu pertahanan terbuka, Raja (KN1) akan diburu dari segala penjuru setelah
telanjur berlindung di balik Benteng (castling)
pada KBI (Ibid., 182).
Jadi, pengorbanan tersahihkan
bukan sebagai kebaktian dan kesetiaan, melainkan tersahihkan karena membawa
kemenangan. Dalam papan percaturan politik, pengorbanan pun bukan barang
baru. Namun buah catur harus dibedakan dari manusia, meskipun manusia itu
hanya berperan sebagai pion. Pada permainan catur, hubungan antara pemain
catur dan buah catur, betapapun menantang ketabahan ketika mengorbankan Ratu,
misalnya, tidaklah setara dengan mengorbankan manusia dalam percaturan
politik. Taktik mungkin saja sebangun, tapi mengorbankan manusia-jika tidak
merupakan pelanggaran etis-tentu menuntut pembenaran tersendiri.
Kasus pengorbanan taktis yang
terkenal dalam Mahabharata adalah gugurnya Gatotkaca oleh senjata Konta milik
Karna. Disebut taktis karena, sebagai ahli strategi, adalah Kresna yang
memasang Gatotkaca menghadapi Karna. Di antara semua panglima, Karna paling
diwaspadai Kresna, bukan sekadar karena kepandaian memanahnya sama belaka
dengan Arjuna, tapi juga lantaran senjata Konta tidak bisa dilawan, sekalipun
oleh dewa. Meskipun begitu, karena senjata Konta hanya bisa digunakan satu
kali saja, Karna mencadangkannya untuk menghadapi Arjuna. Jalan pikiran ini
terbaca oleh Kresna. Ia harus memutar otak agar senjata itu terpancing lepas
dari tangan Karna sebelum berhadapan dengan Arjuna. Namun siapa yang mampu
memancing-dan menjadi korban-Konta?
Kepada Gatotkaca, Kresna
berterus-terang ihwal siasatnya, dan Gatotkaca mengerti betapa tugasnya kali
ini, dalam penjudulan R.A. Kosasih, merupakan "Tugas Perlaya". Bagi
Gatotkaca, inilah kesempatan berkorban dalam pengabdian. Tapi, bagi Kresna,
ini hanyalah taktik agar pihak Pandawa mendapat kemenangan dalam peperangan.
Hanya karena mengenal sikap kesatria Gatotkaca, maka Kresna bersikap terbuka.
Jika tidak, tentulah akan diakalinya, seperti cara Kresna membuat Baladewa
tidak terlibat perang Bharatayuda. Jika pengorbanan Gatotkaca sungguh heroik,
bagi Kresna itu adalah perhitungan taktis yang cermat dan dingin.
Dalam politik dengan pengertian
sempit, ketika terdapat usaha mencapai kemenangan sepihak, bahkan meski
berada dalam satu partai, garis pengorbanan yang vertikal ini sering bertemu
dengan garis pengorbanan horizontal. Di satu pihak berfungsi menampung
heroisme garis vertikal. Tapi di pihak lain, keimanan sakral dalam
pengorbanan itu hanyalah sebuah rencana para perancang dan pengguna taktik
dalam garis horizontal. Itulah yang disebut politik pengorbanan: bagaimana
pengorbanan tulus (dan naïf) sengaja didorong dan dimanfaatkan demi
keuntungan sepihak. Kurban adalah juga korban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar