Senin, 10 Agustus 2015

Politik Pengorbanan

Politik Pengorbanan

Seno Gumira Ajidarma  ;   Wartawan
                                                 KORAN TEMPO, 03 Agustus 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Jika kata "korban" terasalkan dari Idul Qurban, tentunya akan terdapat makna sakral di sana, setidaknya terandaikan demi mencapai sesuatu yang lebih baik dan lebih tinggi. Namun dalam bahasa Indonesia, selain "korban", terdapat "kurban". Ternyata yang belakangan itulah yang mendapat makna sakral. Maka, sementara "korban" juga mendapat arti "orang yang mati akibat perbuatan jahat", selain "pemberian untuk menyatakan kebaktian, kesetiaan, dan lain-lain", arti "kurban" hanyalah "persembahan kepada Allah" dan "pujaan atau persembahan kepada dewa-dewa". Dalam terminologi geometris, "kurban" itu vertikal, sedangkan "korban" itu horizontal. Meski terbedakan, keduanya bertemu di persimpangan.

Dengan begitu, sacrifices dalam taktik catur yang dilakukan demi kemenangan, dan tiada hubungannya dengan persembahan apa pun, adalah "pengorbanan". Lagi pula memang tiada kata "pengorbanan" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa, 2008: 733, 762). Demi kemenangan, pengorbanan adalah suatu gerak tipu. Jadi, memang jauh dari sakral, meskipun itu pengorbanan yang paling brilian, bahkan juga ketika yang dikorbankan adalah yang tersakti di antara buah catur, yakni Ratu. Sebagai satu-satunya buah catur yang mampu menjelajah wilayah dengan kemampuan bergerak secara vertikal, horizontal, maupun diagonal, pemain catur paling berpengalaman dan paling canggih sekalipun disebutkan akan selalu tergetar oleh pengorbanan Ratu (Reinfeld, 1973: 141).

Pengorbanan Ratu adalah demi kemenangan dan, karena itu, setiap langkahnya akan selalu diperhatikan dengan cermat, sehingga langkah-langkah pengorbanan harus tampak seperti kebersalahan tipografis alias tidak sengaja. Namun, setelah itu, bisa saja berlangsung lima langkah menuju checkmate (sekakmat), meski hanya menggunakan Benteng dan bahkan Pion! Tentulah taktik ini hanya bisa dibaca secara imajinatif, oleh pihak pelaku maupun lawannya. Dalam sebuah diagram, Ratu Putih (KR5) membiarkan dirinya dimakan oleh Pion Hitam (KN3), tapi setelah itu pertahanan terbuka, Raja (KN1) akan diburu dari segala penjuru setelah telanjur berlindung di balik Benteng (castling) pada KBI (Ibid., 182).

Jadi, pengorbanan tersahihkan bukan sebagai kebaktian dan kesetiaan, melainkan tersahihkan karena membawa kemenangan. Dalam papan percaturan politik, pengorbanan pun bukan barang baru. Namun buah catur harus dibedakan dari manusia, meskipun manusia itu hanya berperan sebagai pion. Pada permainan catur, hubungan antara pemain catur dan buah catur, betapapun menantang ketabahan ketika mengorbankan Ratu, misalnya, tidaklah setara dengan mengorbankan manusia dalam percaturan politik. Taktik mungkin saja sebangun, tapi mengorbankan manusia-jika tidak merupakan pelanggaran etis-tentu menuntut pembenaran tersendiri.

Kasus pengorbanan taktis yang terkenal dalam Mahabharata adalah gugurnya Gatotkaca oleh senjata Konta milik Karna. Disebut taktis karena, sebagai ahli strategi, adalah Kresna yang memasang Gatotkaca menghadapi Karna. Di antara semua panglima, Karna paling diwaspadai Kresna, bukan sekadar karena kepandaian memanahnya sama belaka dengan Arjuna, tapi juga lantaran senjata Konta tidak bisa dilawan, sekalipun oleh dewa. Meskipun begitu, karena senjata Konta hanya bisa digunakan satu kali saja, Karna mencadangkannya untuk menghadapi Arjuna. Jalan pikiran ini terbaca oleh Kresna. Ia harus memutar otak agar senjata itu terpancing lepas dari tangan Karna sebelum berhadapan dengan Arjuna. Namun siapa yang mampu memancing-dan menjadi korban-Konta?

Kepada Gatotkaca, Kresna berterus-terang ihwal siasatnya, dan Gatotkaca mengerti betapa tugasnya kali ini, dalam penjudulan R.A. Kosasih, merupakan "Tugas Perlaya". Bagi Gatotkaca, inilah kesempatan berkorban dalam pengabdian. Tapi, bagi Kresna, ini hanyalah taktik agar pihak Pandawa mendapat kemenangan dalam peperangan. Hanya karena mengenal sikap kesatria Gatotkaca, maka Kresna bersikap terbuka. Jika tidak, tentulah akan diakalinya, seperti cara Kresna membuat Baladewa tidak terlibat perang Bharatayuda. Jika pengorbanan Gatotkaca sungguh heroik, bagi Kresna itu adalah perhitungan taktis yang cermat dan dingin.

Dalam politik dengan pengertian sempit, ketika terdapat usaha mencapai kemenangan sepihak, bahkan meski berada dalam satu partai, garis pengorbanan yang vertikal ini sering bertemu dengan garis pengorbanan horizontal. Di satu pihak berfungsi menampung heroisme garis vertikal. Tapi di pihak lain, keimanan sakral dalam pengorbanan itu hanyalah sebuah rencana para perancang dan pengguna taktik dalam garis horizontal. Itulah yang disebut politik pengorbanan: bagaimana pengorbanan tulus (dan naïf) sengaja didorong dan dimanfaatkan demi keuntungan sepihak. Kurban adalah juga korban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar