Senin, 10 Agustus 2015

Korban Salah Tangkap

Korban Salah Tangkap

Bagong Suyanto  ;   Dosen Program S2 Ilmu Kepolisian Universitas Airlangga
                                                 KORAN TEMPO, 03 Agustus 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kasus salah tangkap dan salah vonis bukan hanya sekali-dua kali terjadi di Tanah Air. Berita yang terbaru, Dedi, 33 tahun, seorang tukang ojek di Jakarta yang sempat divonis bersalah dan ditahan hingga 10 bulan, ternyata adalah korban salah tangkap aparat kepolisian.

Kisah Dedi ini terasa mengoyak rasa keadilan, bukan sekadar karena ia harus menjalani hukuman yang sebetulnya tidak berkaitan dengan perbuatannya, tapi yang memprihatinkan adalah penderitaan yang harus ditanggung keluarga korban. Istri korban harus hidup banting tulang sebagai tukang ojek, dan anak tunggal korban yang masih berusia 3 tahun meninggal dunia gara-gara kekurangan gizi.

Meski kematian putranya ini tidak berkaitan langsung dengan kasus salah tangkap yang dialami korban, nasib tentunya bisa berkata lain jika, sebagai ayah, korban masih bisa bertanggung jawab dan bekerja sebagai ayah untuk menghidupi istri dan anaknya.

Selain Dedi, orang-orang yang menjadi korban salah tangkap dan kemudian divonis bersalah boleh jadi masih banyak yang belum memperoleh keadilan dan pembelaan yang semestinya.

Dalam sejumlah kasus salah tangkap yang selama ini terjadi, ketika diperiksa kembali biasanya baru ketahuan bahwa korban selama proses pemeriksaan ternyata terpaksa mengakui perbuatannya karena dipaksa dan takut ancaman aparat yang memeriksanya. Di tengah banyaknya kasus tindak kejahatan yang ditangani kepolisian, memang terkadang tidak tertutup kemungkinan aparat kemudian bersikap pragmatis.

Seorang aparat yang sehari-hari menghadapi para pelaku tindak kejahatan biasanya sudah hafal dengan taktik penjahat yang selalu tidak mengakui perbuatannya. Untuk memperoleh pengakuan pelaku tindak kejahatan, salah satu cara yang efektif biasanya memang dengan ancaman dan tindak kekerasan.

Tapi, masalahnya, ketika yang dihadapi aparat kepolisian bukanlah penjahat yang sebenarnya, sementara di benak aparat sudah ada syak-wasangka yang kuat, maka apa pun pembelaan pihak terdakwa niscaya tidak akan banyak digubris, karena hanya dianggap sebagai upaya membangun alibi.

Dalam menjalankan tugas sebagai penyidik, selama ini memang sering terjadi aparat kepolisian dihadapkan pada sejumlah dilema. Di satu sisi, polisi dituntut untuk menerapkan asas praduga tak bersalah terhadap siapa pun pihak yang dicurigai sebagai pelaku tindak kejahatan. Sedangkan di sisi lain, ketika jumlah aparat kepolisian makin tidak sebanding dengan besaran masalah kejahatan yang harus ditangani, sering kali desakan untuk menyelesaikan setiap kasus dengan cepat membuat polisi terkadang tidak cermat dalam memeriksa terdakwa.

Alih-alih bersikap obyektif dan menelusuri serta mengurai bukti demi bukti hingga diambil kesimpulan yang benar-benar obyektif, dalam kenyataan tidak sekali-dua kali ada aparat kepolisian tergelincir karena dikendalikan syak-wasangkanya sendiri.

Untuk mencegah dan mengurangi kasus-kasus salah tangkap di masa depan, yang dibutuhkan bukan sekadar sikap polisi yang simpatik dan profesional. Yang tak kalah penting adalah keberanian, kemampuan, dan keberdayaan masyarakat untuk memahami hak dan memiliki akses untuk memperoleh perlakuan hukum yang seadil-adilnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar