Pers dan Proklamasi Kemerdekaan
Heri Priyatmoko ;
Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma
|
KORAN
TEMPO, 18 Agustus 2015
Tujuh dekade lalu, rakyat
Indonesia bersorak-sorai ketika Sukarno-Hatta membacakan teks proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Pengeras suara yang dipakai ndilalah rusak. Ternyata,
kabelnya rusak gara-gara terinjak oleh massa yang jumlahnya sulit dihitung
dengan jari.
Setelah naskah proklamasi
dibacakan, pipi beberapa orang basah oleh air mata. Rasa gembira bercampur
haru memadati hati mereka. Tokoh Suwirjo terisak-isak, demikian pula
Fatmawati. Sukarno dan Hatta bersalaman. Itulah sepucuk kenangan yang ditatah
Bu Tri dalam artikel berjudul "Tiga Hari Sekitar 17 Agustus 1945"
(Intisari, 1970).
Terdapat sekeping fakta menarik di
sekitar Idul Fitri pertama kemerdekaan, yaitu tamatnya penerbitan surat kabar
Asia Raya, yang beralamat di Yamoto Basi Kita Doori 5, Jakarta. Menurut
sejarawan Bambang Purwanto (2013), media tersebut merupakan secuil simbol
kekuasaan kolonial dan imperialisme Jepang di Tanah Air seiring dengan
meledaknya Perang Dunia II. Uniknya, koran ini keluar dengan edisi
"Nomor Terachir" pada Jumat Paing, 7 September 2605 (1945), alias
sehari sebelum Lebaran. Dalam edisi "Asia Raya Minta Diri", yang
hanya terdiri atas satu halaman, tersembul alasan subyektif dan mendesak
untuk menyudahi penerbitan Asia Raya.
Kata penutup koran yang dikepalai
R. Sukarjo Wiryopranoto itu mengungkapkan, penghentian perang memaksa bala
tentara Dai Nippon untuk tak mencampuri urusan kemerdekaan Indonesia. Asia
Raya, yang mencerminkan suara rakyat Indonesia sekaligus corong pemerintah
balatentara, menghadapi kesulitan dalam menunaikan tugas.
Bambang Purwanto menjelaskan,
semula misi penerbitan Asia Raya bertemali dengan impian bala tentara Dai
Nippon dan bangsa Indonesia untuk saling berangkulan di medan perang Asia
Timur Raya. Mereka mengucapkan sumpah sehidup-semati dalam perjuangan. Tapi
keputusan Jepang angkat tangan kepada pasukan Sekutu, yang kemudian disusul
proklamasi kemerdekaan Indonesia, menyebabkan tali hubungan Indonesia dengan
Jepang turut terpotong. Walhasil, tiada lagi yang perlu diperjuangkan Asia
Raya.
Tampaknya ada ketegaran
menghinggapi perasaan awak media. Mereka tak larut dalam kesedihan dan justru
memanfaatkan suasana menjelang Lebaran untuk berpamitan seraya meminta maaf
kepada para pembaca yang budiman. Sikap mulia redaksi ini kian menambah bobot
suci perayaan Idul Fitri dalam edisi terakhir koran yang mematok harga
langganan f 7,50 per tiga bulan itu. Terlihat semakin bijak ketika redaksi
menyediakan kesempatan bagi pelanggan guna menarik kembali sisa uang
langganan atau menyuruh administrasi Asia Raya untuk menyalurkannya ke badan
amal. Redaksi tak lupa angkat pena memahat secarik doa: "kebahagiaan
pembaca serta kemajuan bangsa Indonesia dalam suasana perdamaian".
Di mata pers, kemerdekaan
merupakan pintu masuk untuk menegakkan negara Indonesia, baik di ranah
ekonomi maupun politik. Majalah Suara Rakjat, misalnya, memuat pernyataan
para pemuda guna merebut kekuasaan dari tangan asing, termasuk perusahaan
perkebunan, kantor, pabrik, dan tambang.
Kini, selepas 70 tahun Indonesia
merdeka, berapa jumlah perusahaan yang kembali ke pangkuan asing dan terjadi
privatisasi? Semakin hari kita semakin menjadi buruh di negeri sendiri, dan
faktanya kita memang belum berdikari secara ekonomi. Dirgahayu Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar