Mencipta Ulang Pemerintah
Daoed Joesoef ;
Alumnus Universite Pluridisciplinaires
Pantheon-Sorbonne
|
KOMPAS,
19 Agustus 2015
Dengan keluasan dan
kemajemukannya, Indonesia is not an
easy country to govern, apalagi kalau "to
govern" diartikan sebagai "memerintah"
yang berakar kata "pemerintah". Kreasi politik yang dibanggakan
oleh Era Reformasi ternyata tidak mampu mengintegrasikan kelompok-kelompok
dan aneka pandangan divergen ke suatu pencarian kebenaran bersama-sama.
Parpol yang menjamur malah menjadi ajang pertarungan antarkelompok, atas nama
demokrasi dan Pancasila, masing-masing berjuang demi kemenangan absolut dan
tidak puas terhadap apa pun kecuali penyerahan total lawannya.
Sementara itu, masalah kehidupan
bersama yang menantang respons pemerintah terus menumpuk. Respons yang
relevan dan tepat waktu tak akan bisa selama kita tidak berani membentuk
sejenis baru "government",
dalam arti "pelaksana pemerintah", jadi berupa kabinet yang
mumpuni. Caranya dengan menciptakan ulang pemerintah, reinventing government.
Ide ini mungkin dianggap
mengada-ada oleh orang-orang yang berpendirian bahwa perombakan (reshuffle) kabinet, pergantian
menteri, sudah cukup. Padahal, mengubah menteri-menteri di kabinet selama ini
hanya mengindikasikan bahwa politikus parpol yang bersangkutan sudah punya
"jabatan" di pemerintah, bukan "berkarya" untuk negeri.
Loyalitas mereka bukan pada negeri, tetapi pada parpol masing-masing sebab
mereka, walaupun sudah di pemerintahan kabinet, tetap berfungsi sebagai
"petugas partai". Tak seperti yang pernah diucapkan Bung Karno,
dengan mengutip kata-kata bijak dari Nehru, "when my loyalty to my country begins, my loyalty to my party
ends".
Efektivitas
kinerja pemerintahan
Pada 70 tahun usia kemerdekaan ini
mari kita berupaya mencipta ulang pemerintah demi efektivitas kinerja
pemerintahan. Pertama, hentikan praktik kabinet parlementer dengan
mengukuhkan kembali sistem kabinet presidensial, sesuai amanat konstitusional
UUD 1945 bahwa Presiden RI adalah sekaligus Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan.
Kedua, tunjukkan bahwa kehadiran
seorang wapres bukanlah sebagai "ban serep" belaka. Dia punya
fungsi pemerintahan khas yang mendukung kelancaran tugas presiden. Walaupun
natur politik kabinet adalah presidensial, bukan berarti presiden boleh
mengabaikan ide politik parpol-parpol yang ada. Berarti, presiden
melaksanakan "ideokrasi". Maka demi keberhasilan kerja
pemerintahan, wapres memusatkan perhatiannya pada "teknokrasi",
yaitu penanganan fakta. Dengan kata lain, ideokrasi dan teknokrasi perlu
bersinergi, sebab penanganan fakta sering tidak memuaskan warga, termasuk
pemuasan nalarnya. Mereka, adakalanya, mendambakan "kebenaran"
setelah merasa memahami fakta.
Ketiga, kabinet bekerja selaku
satu tim. Kinerja kabinet adalah hasil "team
work", bukan produk perorangan dengan bimbingan satu visi.
Seseorang, apalagi sekelompok orang, bisa mencipta sesuatu hanya bila dia
atau mereka punya visi tentang sesuatu tersebut. Keempat, pemerintah yang
digerakkan oleh misi, a mission-driven
government. Jenderal George Patton pernah berujar, "never tell people how to do things. Tell them what you want
them to achieve and they will surprise you with their ingenuity".
Kelima, pemerintah yang
katalistik. Istilah "government"
berasal dari kata Yunani "cratein", yaitu mengemudi/mengarahkan.
Tugas pemerintah mengemudi, bukan sekadar mendayung perahu.
Keenam, terkait erat dengan diktum
kelima tadi, pemerintah yang antisipatif. Pemerintah diniscayakan melihat ke
depan, to govern is to foresee. Berarti
pemerintah harus mampu mengatakan kepada rakyat apa-apa yang menjadi
kebutuhan mereka sebelum mereka menyadarinya sendiri. Jadi terhadap
masalah/fakta, pemerintah bertindak proaktif, bukan reaktif. Keputusan
diambil bukan hasil judgement dari
kebingungan, tetapi produk dari prakiraan yang ada.
Ketujuh, pemerintah yang
bersemangat wirausaha, enterprising
government. Karakteristik pokok dari pemerintah ini adalah
"berperspektif investasi", yaitu kebiasaan menanggapi hasil (return) dari pengeluarannya sebagai
suatu investasi. Ini bukan soal mendapatkan uang, tetapi menghemat uang.
Dengan menimbang hasil investasi seperti ini, pemerintah akan memahami betapa
pengeluaran uang berujung pada penghematan uang.
"Zaken
kabinet"
Bukankah sering terjadi, pemerintah
menolak mengadakan "investasi" yang akan membuahkan hasil
signifikan semata-mata atas perhitungan biaya sesaat. Ia terus menunda
perbaikan jalan, misalnya, sampai jalan begitu rusak parah, bertabur
lubang-lubang besar bagai kubangan kerbau, hingga perlu dibangun ulang dengan
biaya tiga kali lipat daripada biaya penambalan lubang-lubang selagi masih
kecil dan sedikit. Pemerintah menunda penggantian genteng yang retak di atap
sekolah sampai saat seluruh atap itu ambruk hingga rekonstruksinya memerlukan
biaya yang jauh lebih besar.
Bersamaan dengan desas-desus
perombakan kabinet bermunculan harapan akan pembentukan suatu zaken kabinet,
kabinet berkomposisi tenaga ahli. Tenaga ini, perdefinisi, adalah
"spesialis". Sistem pendidikan kita memang cenderung terus
membanjiri pasaran kerja dengan spesialis di bidang-bidang tertentu.
Pemerintah semakin lama mungkin semakin perlu dikelola oleh para spesialis.
Kemajuan (progress) memang menuntut adanya para spesialisasi. Namun,
spesialis bisa mengabaikan banyak hal yang diniscayakan. Keadaan ini
membahayakan kemajuan dan, akhirnya, peradaban. Bila demikian presiden,
selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, harus pula berupa spesialis,
tetapi seorang spesialis dalam keseluruhan konstruksi, desainer, dan seluruh
kebijakan. Peradaban tidak tercipta oleh kekuatan-kekuatan yang cerai-berai,
saling terpisah, dan tidak berkaitan satu sama lain.
Mencipta ulang pemerintah adalah
suatu usaha kolektif, berupa perlakuan terhadap aksi-aksi pemerintahan di
setiap kategori dan jenjang pemerintah selaku "tugas prioriter?".
Sebab hanya bila aksi-aksi itu dilakukan sesempurna mungkin pada waktunya,
baru diperoleh kohesi sosial, kekuatan ekonomi, dan kapasitas pemerintahan
yang diperlukan untuk menangani tantangan-tantangan baru yang bermunculan.
Kita perlu bersama-sama mencipta
ulang pemerintah karena kita tidak menanggapi pemerintah sebagai "a necessary evil". Kita
sadar bahwa masyarakat yang manusiawi, adil dan beradab, tidak dapat
berfungsi efektif tanpa suatu pemerintahan yang fungsional-efektif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar