Pendidikan untuk Merdeka
Ignas Kleden ;
Sosiolog; Ketua Komunitas Indonesia untuk
Demokrasi (KID)
|
KOMPAS,
20 Agustus 2015
Menjelang tiap 17
Agustus, kita teringat lagi akan metafor Bung Karno tentang kemerdekaan, yang
diibaratkannya sebagai sebuah jembatan, bahkan jembatan emas. Indonesia harus
menyeberangi jembatan itu, barulah di seberangnya dapat diselesaikan berbagai
masalah lain yang akan dihadapi sebagai suatu bangsa.
Setelah 70 tahun
merdeka, makin terlihat di antara berbagai masalah menyangkut ekonomi,
politik, sosial-budaya, dan hubungan internasional, ada masalah lain, yaitu
seberapa jauh kemerdekaan politik yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945
sudah berhasil mengubah perilaku sebuah bangsa terjajah jadi bangsa yang merdeka
dalam sikap, perilaku, dan alam pikirannya. Apakah kemerdekaan politik
menghasilkan sikap merdeka dalam kebudayaan? Apakah terlepasnya Indonesia
dari penjajahan asing menghasilkan kebebasan yang lebih leluasa dalam jiwa
dan pikiran yang lebih terbuka dalam berhadapan dengan kesulitan sehari-hari?
Bung Hatta sudah
mengatakan bahwa kemerdekaan perlu disertai pendidikan yang bertujuan memberi
pengertian, keinsafan dan keyakinan. Orang-orang yang punya pengertian dan
keyakinan sudah merdeka dalam semangatnya, meski negerinya masih diperintah
oleh kekuasaan asing. Pernyataan itu dapat mengandung implikasi: orang-orang
yang tidak punya pengertian dan keyakinan tetap jadi orang yang tidak merdeka
dalam semangatnya, sekalipun bangsanya sudah terlepas dari kungkungan suatu
pemerintahan asing.
"Pemindahan
kekuasaan" yang dinyatakan dalam proklamasi hendak diselesaikan
"dalam tempo sesingkat-singkatnya", tetapi kemudian kita berurusan
dengan "pemindahan budaya" yang mungkin belum selesai juga setelah
lewat 70 tahun. Penjajahan asing sudah lama berakhir, tetapi akibat-akibat
penjajahan dapat lebih lama mengendap dalam perilaku orang- orang di suatu
bekas koloni.
Nalar dan kepribadian
Akibat-akibat
penjajahan itu tak selalu merupakan peninggalan yang buruk. Tradisi
menghormati hukum negara yang diwariskan oleh Inggris di berbagai bekas
jajahannya bertahan hingga sekarang. Kehidupan dalam negara bukanlah
kehidupan liar yang didasarkan pada improvisasi dari waktu ke waktu, tetapi
suatu kehidupan berdasarkan aturan hukum, sehingga perilaku orang dapat
diramalkan karena mengikuti pola yang mengikuti peraturan yang berlaku.
Dalam satu konferensi
internasional di Penang, Malaysia, saya datang terlambat sehari. Turun dari
pesawat saya segera naik taksi menuju tempat konferensi. Setelah duduk dalam
taksi beberapa saat lamanya, sopirnya tidak menghidupkan mesin sehingga saya
menegurnya untuk segera berangkat karena saya sudah terlambat. Dengan sopan
dalam sikap formal dia menjawab, "Please
fasten your seat belt, Sir, according to Malaysian law" (Silakan ikat sabuk pengaman Tuan, menurut
hukum Malaysia). Saya agak kaget karena diperingatkan oleh seorang sopir
taksi untuk taat pada hukum negaranya.
Penjajahan Belanda
dengan segala penindasan yang dilakukannya meninggalkan satu hal baik yang
patut dicatat, yakni pendidikan modern yang diberikannya di Hindia Belanda
sebagai implementasi Politik Etis pada awal abad ke-20. Sekalipun tujuan
akhir pendidikan itu untuk mendapatkan tenaga-tenaga berpengetahuan dan bisa
menjadi pegawai yang diandalkan untuk melestarikan penjajahannya atas Hindia
Belanda, pendidikan yang diberikan ternyata bermutu tinggi. Hasil
pendidikannya sudah kita ketahui, yaitu generasi pendiri republik ini, yang
memiliki pengetahuan dan kecakapan yang dapat dibandingkan dengan lulusan
sekolah mana pun di negara maju lainnya, baik sekolah menengah maupun
universitas.
Standar pendidikan di
HBS Batavia atau Surabaya pada masa itu dipastikan sama kualitasnya dengan
HBS di Amsterdam. Inilah suatu bukti bahwa pendidikan yang mengembangkan
nalar dengan benar, dan membentuk kepribadian yang etis, pada akhirnya tidak
bisa membenarkan tujuan yang tidak benar, yang hendak dilayani oleh
pendidikan itu. Tidak semua lulusan mau bekerja sebagai pegawai di
perusahaan, kantor, atau birokrasi Belanda. Banyak yang memilih menjadi
manusia bebas yang memimpin bangsanya melepaskan diri dari penjajahan.
Makna pendidikan ini
diungkapkan Sukarno dalam epigram sebuah artikelnya. Dia menulis "men kan niet onderwijzen wat men
wil, men kan niet onderwijzen wat men weet, men kan alleen onderwijzen wat
men is" (orang tidak dapat
mengajar apa yang dia mau, orang tidak dapat mengajar apa yang dia tahu,
orang hanya dapat mengajarkan apa yang ada dalam dirinya).
Konon,
Mussolini-pemimpin fasisme Italia dalam Perang Dunia II-pernah berkata bahwa
demokrasi sudah passé, sudah tamat riwayatnya, karena orang sudah letih
dengan kebebasan. Mengomentari pernyataan ini, John Dewey-filosof dan
penganjur serta pembela demokrasi yang gigih dalam pendidikan di
AS-mengatakan mungkin ada benarnya apa yang dikatakan Mussolini. Kebebasan
dan kemerdekaan politik bukanlah suatu keadaan kosong, tapi mengandung tugas
dan tanggung jawab yang harus dipenuhi. Keadaan tak bebas membuat kehidupan
ditentukan pihak lain, dan kita hanya perlu melaksanakannya tanpa perlu
berpikir mengenai alasan dan konsekuensinya. Suatu ketergantungan seperti itu
diubah oleh kemerdekaan menjadi kehidupan yang ditentukan sendiri oleh
seseorang yang harus berdiri tegak di atas kakinya dan memutuskan setiap saat
apa yang harus dilakukan, sebaiknya dilakukan, atau tidak boleh dilakukan,
agar tidak meniadakan hormatnya pada kebebasan sebagai martabat dirinya
sebagai orang merdeka.
Ada relasi ganda dalam
tiap kebebasan, yaitu hubungan keluar, khususnya dengan pembatasan-pembatasan
eksternal, dan hubungan ke dalam antara tiap orang dengan dirinya sendiri.
Dalam kasus pertama, para ahli psikologi dan filsafat menamakannya keadaan
"bebas dari" atau freedom from, sedangkan dalam kasus kedua ditunjuk
keadaan "bebas untuk" atau freedom for. Situasi "bebas
dari" merujuk ke halangan atau pembatasan-pembatasan yang ditetapkan
dari luar untuk seseorang. Kalau hambatan-hambatan itu hilang dan
pembatasan-pembatasan disingkirkan, seorang menjadi "bebas dari".
Dalam kasus kedua, kebebasan ibarat modal yang harus diputar seseorang untuk
menghasilkan keuntungan dan kemajuan yang berguna bagi dirinya dan orang
lain. Ada kewajiban dan tuntutan yang harus dipenuhi dalam kebebasan.
Psikolog Erich Fromm mengingatkan dalam bukunya Escape From Freedom (Lari
dari Kebebasan): kebebasan mengandung tanggung jawab dalam melakukan
pilihan-pilihan yang tersedia. Orang yang enggan memanfaatkan kebebasan
sebagai fasilitas dan tugasnya, atau orang yang memilih tidak melakukan
pilihan apa pun, cenderung jatuh kembali pada jebakan sikap tidak merdeka,
khususnya jebakan otoritarianisme.
Filosof Inggris,
Francis Bacon, menamakan sikap tidak merdeka ini sebagai insting menyembah
beberapa jenis berhala atau idols.
Orang yang tidak membuka dirinya untuk mengonfrontasikan prasangka dan
kepentingan-kepentingan diri dengan pemikiran orang lain seakan mengubah
dirinya jadi sebuah gua tempat dia menyembunyikan diri dan merasa aman di
dalamnya. Dia menyembah idol of the
cave. Pun demikian orang yang terkungkung dalam kelompok suku atau
kelompok etnik dan memandang orang dari kelompok lain sebagai ancaman dan
bahaya, mencari perlindungan dalam idol
of the tribe. Sebaliknya, orang yang tak berani mempertahankan pendirian
dan pikirannya, dalam berhadapan dengan keyakinan umum dalam suatu
lingkungan, dan percaya saja kepada segala apa yang dikatakan oleh
orang-orang sekitarnya, seakan menemukan dalam komunitasnya idol of the market-place yang
mendiktekan bagaimana dia harus berlaku dan bertindak. Ibaratnya di tengah
pasar dia hanya bisa membeli apa yang ditawarkan. Sementara itu, mereka yang
percaya secara mutlak kepada apa yang diterimanya dalam tradisi, tanpa
keberanian untuk memikirkannya kembali, memperlakukan ajaran dan nilai-nilai
yang diterimanya sebagai idol of the
theatre. Mereka bertindak sebagai para aktor yang harus menghafal naskah
dialog dan kemudian mementaskannya dalam pertunjukan teater untuk ditonton.
Lepaskan dari ketergantungan
Kemerdekaan suatu
bangsa berarti dia menyatakan bebas dari ketergantungan kepada suatu
kekuasaan dari luar. Dia di- anggap sanggup mengatur diri sendiri dan
menentukan nasibnya sendiri. Kemerdekaan yang dirayakan pada tiap 17 Agustus
adalah suatu konsep kolektif. Pernyataan diri untuk bebas dari ketergantungan
asing adalah pernyataan diri berbagai kelompok orang yang kemudian menyatakan
bersatu dalam suatu kesatuan bangsa.
Namun demikian,
kemerdekaan kolektif ini selanjutnya direalisasikan secara individual pada
diri tiap orang yang jadi anggota bangsa tersebut. Terlepasnya suatu bangsa
dari ketergantungan pada suatu kekuatan dan penguasaan asing menjadi
prasyarat bahwa tiap individu anggota bangsa itu juga dapat membebaskan
dirinya dari ketergantungan pada kekuatan- kekuatan domestik yang dapat
menghambat perkembangan dan kemajuan dirinya.
Perjuangan kemerdekaan
suatu bangsa untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada kekuasaan asing
kini diganti perjuangan dalam pendidikan guna membantu tiap individu
melepaskan diri dari kekuatan-kekuatan yang ada dalam negeri sendiri, yang
dapat menghambat perkembangan seseorang menjadi individu yang berdiri
sendiri, tidak bergantung, dan tidak mengandalkan pihak-pihak di luar dirinya
untuk bisa berkembang dan mencapai kematangan dan kemandirian untuk maju. Ini
artinya, keberhasilan pendidikan diukur berdasarkan berhasil atau gagalnya
pendidikan itu membuat peserta didik menjadi orang yang tidak hidup dari
ketergantungan, tetapi dapat berdiri di atas kaki sendiri untuk membangun
nasibnya berkat kemajuan yang dicapai melalui usaha yang dijalankannya dengan
memanfaatkan kesempatan yang ada.
Pada usia kemerdekaan
nasional ke-70, kita sepatutnya bertanya: apakah pendidikan nasional kita
membuat peserta didiknya semakin bebas dan mandiri sebagai seorang pribadi
yang merdeka, atau makin menjebak mereka dalam ketergantungan kepada
kekuatan-kekuatan yang ada di luar diri mereka? Kita mencatat bahwa
pendidikan selama Orde Baru telah memperluas kesempatan pendidikan secara
ekstensif, menambah jumlah sekolah, memberi beasiswa untuk sekolah menengah
dan pendidikan tinggi; dan dalam masa Reformasi sekarang, menambah anggaran
pendidikan hingga 20%. Semua ini merupakan kemudahan untuk pendidikan, tetapi
baru menyangkut fasilitas secara fisik. Kita tahu pendidikan selama Orde Baru
amat berhasil mendidik ketaatan kepada kekuasaan dan kontrol, tetapi relatif
menciptakan banyak pembatasan untuk kebebasan dan kreativitas. Sistem ujian
pilihan ganda cenderung membuat orang tidak sanggup berpikir out of the box
karena pertanyaan dan jawaban sudah dibatasi dalam suatu kerangka yang tidak
boleh diterobos. Peserta didik tidak mencari jawaban menurut nalar mereka,
tetapi hanya memilih di antara kemungkinan jawaban yang sudah disediakan.
Tiap kekuasaan amat
berkepentingan dengan pendidikan, apakah kekuasaan kolonial atau kekuasaan
nasional. Reformasi 1998 melakukan pembaruan dalam banyak sektor, tetapi tak
sanggup menerobos perangkap pendidikan untuk ketaatan pada kekuasaan, dan
menggantinya dengan pendidikan untuk ketaatan kepada nalar yang bebas dan
hati nurani yang etis.
Kini kita menanggung
akibatnya. Korupsi yang semakin meluas, permainan hukum untuk kepentingan
pragmatis dan bukan untuk keadilan, sikap mementingkan diri dan bukan
mengutamakan institusi dalam berorganisasi, ketergantungan berlebihan kepada
modal asing dan bukannya memperkuat potensi ekonomi nasional, hilangnya rasa
salah dan rasa malu melakukan kecurangan dalam ujian nasional, hilangnya
semangat bertarung dalam olahraga, sikap yang demikian lemah menghadapi
godaan uang, hingga merosotnya hormat kepada manusia hanya berdasarkan
jabatan dan kekayaan dan bukan berdasarkan martabatnya. Semua ini dicoba
dipahami dengan berbagai alasan teknis, tetapi jarang membawa kita kepada
refleksi tentang pendidikan yang tidak membuat orang merdeka, tetapi membuat
mereka semakin tergantung.
Kita bisa diingatkan
oleh ucapan filosof Friedrich Nietzsche: manusia adalah makhluk yang harus
mengatasi dirinya sendiri. Dalam hal Indonesia, manusia adalah makhluk yang
harus mengatasi ketergantungan dan kesukaan untuk terus-menerus tergantung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar