Kemerdekaan atau Kemerekaan
Yudhistira ANM Massardi ;
Sastrawan;
Pengelola Sekolah Gratis untuk
Duafa, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi
|
KOMPAS,
20 Agustus 2015
Kalimat pertama pada
teks proklamasi yang dibacakan Bung Karno 70 tahun silam berbunyi: "Kami
bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia".
Sebenarnya, apakah
yang kita proklamasikan 70 tahun silam itu? Kemerdekaan atau kemerekaan?
Indonesia merdeka atau Indonesia mereka?
Kelanjutan pertanyaan
retrospektif itu kemudian adalah: setelah itu, lalu apa?
Pertama-tama, mari
kita lihat cermin retak sejarah. Dari sana, kita melihat keterkaitan nasib
Indonesia dengan Jepang dan Korea Selatan. Ketiga negara ini sama-sama rusak
parah pasca Perang Dunia II dan sama-sama harus memulai hidup baru sesudah
Agustus 1945.
Bedanya, Jepang adalah
negara yang mengalami kehancuran akibat perang yang dimulainya sendiri
sebagai penjajah, sedangkan Korea Selatan adalah negara yang dijajah Jepang
jauh lebih lama dibandingkan Indonesia.
Jepang dihancurkan
oleh bom atom yang dijatuhkan Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki pada 15
Agustus 1945. Maka, sebagai negara jajahan, Korea Selatan langsung menyatakan
kemerdekaannya pada hari itu juga. Indonesia baru bisa menyatakan kemerdekaan
dua hari sesudahnya.
Melahirkan 150 juta anak
Sekali lagi,
pertanyaan kita adalah: setelah itu, lalu apa?
Di bawah kontrol
tentara pendudukan Amerika Serikat, Jepang-yang tak memiliki sumber daya alam
apa pun-mampu menggenjot kembali mesin-mesin industrinya. Hanya dalam waktu
lima tahun (awal 1950-an), barang-barang produksinya sudah membanjiri pasar
dunia: radio, tape recorder, arloji, kamera, alat-alat musik, sepeda motor,
dan mobil.
Tahun 1964, mereka
sudah mampu menyelenggarakan Olimpiade Tokyo dan membangun kereta api
tercepat dunia (Shinkansen). Tahun 1970-an, hanya 25 tahun setelah
kehancurannya, pendapatan nasional bruto (PNB) Jepang (populasi 127 juta
jiwa) sudah setara dengan PNB Inggris Raya ditambah PNB Perancis!
Bagaimana dengan Korea
Selatan? Pada dekade kedua abad ke-21, terutama berkat revolusi di bidang
teknologi informasi berbasis internet, kita menyaksikan Korea Selatan, negeri
berpenduduk 49 juta jiwa, tengah mengepakkan sayap untuk menguasai dunia.
PNB-nya 20.870 dollar AS (bandingkan dengan Indonesia dengan PNB 2.963 dollar
AS)!
Dan Indonesia?
Satu hal yang pasti,
setelah pernyataan kemerdekaan itu, kita mampu melahirkan sekitar 150 juta
anak Indonesia baru! Tahun 1945, menurut pidato Bung Karno, populasi kita 70
juta jiwa, dan berdasarkan perkiraan Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional, pada 2013 penduduk Indonesia sudah 250 juta jiwa.
Setelah itu, lalu apa?
Kini, menurut daftar
kekayaan yang dilansir di berbagai media (Forbes, Globe Asia),
sekurang-kurangnya kita punya 125 orang Indonesia yang jumlah kekayaannya di
atas 100 juta dollar AS. Sepuluh orang di antaranya memiliki kekayaan lebih
dari 1 miliar dollar AS (berarti belasan hingga puluhan triliun rupiah).
Jurang kaya-miskin
Menurut Lembaga
Penjamin Simpanan pada 22 Juli 2011,
jumlah rekening simpanan nasabah bank di Indonesia dengan nominal di atas Rp
5 miliar ada 42.120 rekening alias hanya 0,04 persen dari jumlah rekening
keseluruhan (sekitar 100 juta rekening). Total simpanan pada segmen tersebut
Rp 1.005,40 triliun dari total simpanan Rp 2.494,71 triliun.
Artinya, jumlah
kekayaan yang tersimpan di 42.120 rekening itu hampir setara dengan jumlah
kekayaan yang tersimpan di 99.957.880 rekening. Jadi, rerata setiap rekening
kelompok mayoritas ini menyimpan Rp 15 juta, berbanding Rp 5 miliar tabungan
kelompok minoritas (0,04 persen).
Jadi, selama 70 tahun
merdeka, kita berhasil melahirkan sekitar 50.000 miliarder, yang kekayaannya
di atas Rp 5 miliar, yang menikmati nirwana kemerdekaan secara paripurna.
Kemakmuran mereka menjulang di atas 249.950.000 orang lain. Mayoritas
populasi di republik kita tercinta ini masih belum merdeka dari kekurangan
sandang-pangan-papan. Menurut Badan Pusat Statistik, Maret 2014, jumlah
penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,28 juta orang atau 11,25 persen.
Bunyi tanpa makna
Kita tentu harus
menghormati dan menghargai mereka yang berhasil memperoleh kemakmuran berkat
kerja keras, kerja cerdas, ketajaman insting membaca peluang, serta
keberanian mengambil risiko, termasuk mereka yang beruntung mendapat warisan
dari pendahulu yang berkelimpahan. Namun, kita harus mengecam mereka yang
memakmurkan dirinya melalui jalan korupsi dalam berbagai bentuk, perdagangan
narkoba, dan aneka kejahatan lain.
Di sisi lain, kita pun
menyadari, ada kemiskinan yang terpaksa dialami sebagian bangsa kita bukan
karena mereka malas, melainkan karena secara struktural kondisi mereka memang
termiskinkan secara absolut: nelayan, petani gurem, warga desa tertinggal,
dan buruh tanpa alat tanpa keterampilan. Kemiskinan melilit sejak moyang
mereka dan negara gagal menolong mereka melalui program-program pembangunan
kelistrikan, pertanian, pendidikan, kesehatan, transportasi, dan air bersih.
Jadi, kesempatan tak pernah singgah pada mereka.
Jika sebagian besar
dari saudara kita masih belum beranjak dari situasi dasar "merdeka
dari." dan belum memasuki tahap "merdeka untuk.", berarti
secara fundamental kita masih bangsa terjajah. Teks proklamasi "Kami
bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia" masih
merupakan sederet bunyi tanpa makna.
Itu artinya,
kemerdekaan belum terjadi. Hanya ada kemerekaan. Pembedanya hanya satu huruf
(d), tetapi maknanya adalah: 70 tahun Indonesia merdeka, baru bisa menjadi
rumah "mereka", belum bisa menjadi rumah bersama, tempat "mereka"
dan "kami" bisa berkumpul sebagai "kita."
Entahlah nanti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar