NU-Muhammadiyah sebagai Jangkar Etika
Yudi Latif ;
Anggota Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
04 Agustus 2015
Muktamar Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah berlangsung di tengah kemarau etika-spiritual yang melanda
kehidupan bernegara. Kebebasan demokratis selama 15 tahun terakhir
mempercanggih politik sebagai teknik, tetapi memundurkan politik sebagai
etik. Politik dan etika terpisah seperti terpisahnya air dengan minyak.
Akibatnya, kebajikan dasar kehidupan bangsa, seperti keadaban,
responsibilitas, keadilan, dan integritas, runtuh.
Semua mata menunggu dengan
harap-harap cemas bagaimana muktamar kedua ormas keagamaan terbesar itu
berjalan. Masih adakah sumur keteladanan yang tersisa di tengah dahaga jutaan
rakyat yang menanti tetes-tetes air harapan?
Tidak berlebihan jika kita
berharap banyak dari NU-Muhammadiyah. Keduanya dapat dikatakan sebagai
reservoir etika republik. Keduanya berinvestasi banyak dalam menyemai benih
kehidupan etis sebelum republik berdiri. Keduanya juga menempatkan wakilnya
dalam perumusan dasar negara dan konstitusi negara pertama.
Wakil dari kedua ormas dalam Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia dengan gigih memperjuangkan prinsip ketuhanan sebagai
salah satu sila yang harus diutamakan dalam dasar negara. Tentu jadi
pertanyaan, mengapa untuk urusan negara modern, prinsip ketuhanan yang
bersifat meta-rasional perlu dilibatkan dalam urusan publik yang semestinya
bersifat rasional?
Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, kita bisa menoleh ke buku A
Study of History karya sejarawan Inggris, Arnold Toynbee. Lewat buku ini,
ia melacak faktor kebangkitan dan kejatuhan sekitar 20 peradaban. Pada setiap
kasus, Toynbee mengaitkan disintegrasi peradaban dengan proses melemahnya
visi spiritual peradaban tersebut. Singkat kata, bangunan negara (dan
peradaban) tanpa landasan etika-spiritual ibarat bangunan istana pasir.
Studi Toynbee itu mengisyaratkan
ada hubungan erat nilai-nilai spiritual keagamaan dengan kemajuan bangsa dan
peradaban. Samuel Huntington dalam Who
Are We? menunjukkan hal menarik mengenai keberlangsungan Amerika Serikat
(AS) sebagai negara adikuasa dibandingkan Uni Soviet. Di AS, urainya, ”Agama
telah dan masih menjadi sesuatu yang sentral dan barangkali identitas yang
paling sentral bagi bangsa Amerika” (Huntington,
2004:20). Huntington juga menunjukkan (2006), geografi peradaban yang
mampu bertahan adalah yang berbasis keyakinan/ketuhanan. Dalam kaitan antara
corak keagamaan dan politik, Alexis de Tocqueville (1835/1998) dan Robert
Putnam (2006) mewakili ahli yang menunjukkan peran nilai-nilai keagamaan
dalam memengaruhi demokrasi.
Ada faktor budaya yang dipengaruhi
agama yang jadi rintangan bagi kemajuan. Namun, beberapa penelitian juga menunjukkan,
faktor keyakinan memberi kontribusi penting dalam proses demokrasi. Banyak
faktor yang ikut memengaruhi sehingga dalam konteks mana agama menjadi
rintangan dan dalam konteks mana menjadi pendorong kemajuan jadi hal yang
harus dipertimbangkan.
Dalam kaitan itu, hendaklah
disadari bahwa agama sebagai pedoman hidup yang berkaitan dengan yang suci (sacred) sedari awal memang mengandung
kekuatan yang ambivalen: menakjubkan dan menghancurkan. Kata sacred (Latin, sacer) itu bisa berarti karunia atau kutukan, suci atau cercaan.
Modus beragama yang berhenti
sebagai pemujaan eksterioritas formalisme peribadatan, tanpa kesanggupan
menggali interioritas nilai spiritualitas dan moralitas, hanyalah berselancar
di permukaan gelombang bahaya. Tanpa menyelam di kedalaman pengalaman
spiritual dan moralitas, keberagamaan jadi mandul, kering, dan keras; tak
memiliki sensitivitas-kontemplatif. Tanpa penghayatan etika-spiritual yang
dalam, orang akan kehilangan apa yang disebut penyair John Keats sebagai negative capability, yakni kesanggupan
untuk berdamai dengan ketidakpastian, misteri, dan keraguan dalam hidup.
Tanpa menghikmati misteri, manusia memaksakan absolutisme sebagai respons
ketakutan atas kompleksitas kehidupan dunia yang menimbulkan penghancuran ke
dalam dan ancaman ke luar.
Pemulihan krisis kehilangan basis
kepercayaan saat agama yang seharusnya membantu manusia untuk menyuburkan
rasa kesucian, keluhuran budi pekerti, kasih sayang, dan perawatan justru
sering kali memantulkan rasa keputusasaan, keserakahan, dan kekerasan zaman
dalam bentuk terorisme, pragmatisme, permusuhan, dan intoleransi.
Pada titik ini, Muktamar
NU-Muhammadiyah merupakan pertaruhan besar tentang jangkar kehidupan etis di
negara ini. Kebanggaan tentang wajah Islam Nusantara yang ramah, etis, dan
estetis harus dibuktikan agar tidak berhenti sebagai pepesan kosong dan agar
bangsa ini masih bisa menanti datangnya hujan di tengah krisis kemarau etika
yang berkepanjangan.
Untuk keluar dari krisis, suatu
bangsa tidak hanya memerlukan transformasi institusional, tetapi juga
transformasi etika-spiritual. Dalam proses transformasi ini, seperti
ditekankan Karen Amstrong dalam The
Great Transformation (2006), persoalan agama tidak berhenti pada apa yang
kita percaya, tetapi pada apa yang kita perbuat. Untuk itu, agama tidak perlu
meninggalkan kepercayaan dan ritualnya, tetapi perlu lebih menekankan
pentingnya komitmen etis dengan menempatkan moralitas dan spiritualitas dalam
kehidupan agama dan publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar