Kepemimpinan Muhammadiyah
Fajar Riza Ul Haq ; Direktur
Eksekutif MAARIF Institute
|
KOMPAS,
04 Agustus 2015
Din Syamsuddin akan mengakhiri
periode kedua kepemimpinannya di Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar
Ke-47 Muhammadiyah yang diselenggarakan 3-7 Agustus di Makassar. Din kali
pertama terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah pada muktamar ke-45 di
Malang tahun 2005 dengan perolehan suara terbanyak di formatur 13.
Organisasi ini tidak mengenal
pemilihan ketua umum, tetapi pemilihan 13 formatur dan pimpinan puncaknya
ditentukan berdasarkan musyawarah para formatur terpilih. Muktamar Ke-46
Muhammadiyah tahun 2010 di Yogyakarta menjadi saksi tokoh kelahiran Sumbawa
ini terpilih untuk kedua kalinya menakhodai organisasi Muslim modernis ini.
Kosmopolitan
Pasca Reformasi, Din merupakan
satu-satunya ketua umum yang memimpin Muhammadiyah selama 10 tahun. Sebagai
perbandingan, almarhum AR Fachruddin tercatat sebagai sosok yang paling lama
memimpin Muhammadiyah selama 22 tahun sejak 1968 hingga 1990. Amien Rais yang
terpilih pada 1995 di muktamar Aceh tidak sempat menyelesaikan masa baktinya
mengingat pilihan ijtihad politiknya mendirikan Partai Amanat Nasional pada
1998.
Teman karibnya, Ahmad Syafii
Maarif, melanjutkan periode yang tersisa hingga pelaksanaan Muktamar
Muhammadiyah tahun 2000 di Jakarta. Syafii Maarif pun terpilih menjadi ketua
umum di tengah transisi demokratisasi dan gejolak sosial-politik yang menguji
konsistensi peran kebangsaan dan netralitas Muhammadiyah. Masa-masa sulit itu
berhasil dilalui tanpa terperosok pada godaan pragmatisme politik.
Organisasi Muhammadiyah akan
sangat beruntung karena perjalanannya pasca muktamar Makassar akan disaksikan
oleh tiga mantan ketua umumnya. Amien Rais, Syafii Maarif, dan Din Syamsuddin
merupakan aset persyarikatan yang sangat berharga dengan kekhasan
masing-masing personalnya yang membuatnya dicintai, dihormati, dibanggakan
oleh semua warga Muhammadiyah.
Ketiga tokoh tersebut akan
berbicara bersama pada satu sesi khusus dalam agenda muktamar. Ini akan
menjadi momen penting, semua warga Muhammadiyah bahkan masyarakat umum akan
mendengar lontaran pemikiran dari ketiga tokoh bangsa tersebut untuk kemajuan
Muhammadiyah dan bangsa. Ini karena Islam berkemajuan yang menjadi proposal Muhammadiyah
memperlakukan Islam dalam kerangka nilai-nilai keadaban publik, bertaut erat
dengan kepentingan masyarakat. Gagasan Islam berkemajuan sebagai formula
jawaban organisasi ini atas kompleksitas persoalan kebangsaan dan kemanusiaan
hari ini harus dilembagakan dan dibudayakan sehingga menjadi etos, tidak
berhenti sebatas logos.
Periode kepemimpinan Muhammadiyah
dalam kurun 17 tahun reformasi mencerminkan kepemimpinan dari generasi produk
penyerbukan silang antarbudaya-meminjam istilah yang dipopulerkan Eddie
Lembong-yang sebenarnya menjadi tonggak kesadaran Muhammadiyah pada awal abad
ke-20. Profil dan latar belakang kesarjanaan Amien Rais, Syafii Maarif, dan
Din merepresentasikan generasi Muhammadiyah kosmopolitan di mana
"Timur" dan "Barat" bertemu, bahkan menjadi bagian tak
terpisahkan dari biografi sosio-intelektualnya. Adanya perbedaan karakter dan
langgam kepemimpinan ketiganya merupakan sisi lain dari ketidaktunggalan
ekspresi kosmopolitanisme itu sendiri.
Sejarawan UGM, Bambang Purwanto
(2015), menyebut Muhammadiyah sebagai contoh produk persilangan budaya di
dalam keberagaman yang melibatkan Islam, Jawa, Minangkabau, dan modernitas
Barat. Menurutnya, proses pembentukan kesadaran dan identitas Muhammadiyah
ini berlangsung dalam proses modernisasi masyarakat Indonesia abad ke-20.
Muhammadiyah generasi awal merupakan produk modernisasi Islam dengan denyut
kosmopolitanisme karena tumbuh dalam spektrum keragaman
"bangsa-bangsa" yang menjadi cikal bakal Indonesia yang majemuk di
kemudian hari. Di sinilah kosmopolitanisme, menurut Vertovec dan Cohen,
termanifestasi dalam perilaku yang terbuka dan kompetensi yang unggul dalam
interaksi lintas budaya.
Pasca
Din
Muhammadiyah pasca Din akan
menapaki jalan yang tidak mudah dengan cuaca kebangsaan yang tidak selalu
bersahabat. Meminjam bahasa Syafii Maarif yang dipetiknya dari puisi Muhamad
Iqbal, karakter kepemimpinan Muhammadiyah haruslah seperti rajawali, bukan
burung pipit. Percaya diri, trengginas, dan memiliki pandangan jauh ke depan.
Muhammadiyah dituntut berperan lebih atraktif dan kritis ketika kekuasaan dan
parpol-parpol terus-menerus mencederai nilai-nilai keadaban publik.
Tak diragukan lagi, ketiga figur
di atas telah membesarkan tenda bangsa Muhammadiyah dalam semangat
kosmopolitanisme Islam modernis. Keberhasilan Muhammadiyah menyiasati
ketegangan antara dimensi pemurnian dalam ranah tauhid dan pembaruan dalam
ranah sosial-kebudayaan merupakan pembeda dirinya dengan gerakan-gerakan
pemurnian lainnya. Organisasi yang kini berusia 103 tahun ini membutuhkan
pelanjut kepemimpinan kolektif yang tidak hanya mampu merawat kultur
keterbukaan, akan juga memiliki kepekaan inovasi dalam mentransformasikan
prinsip-prinsip dakwah amar makruf nahi mungkar.
Model Muhammadiyah kosmopolitan
memaknai cakupan dan ruang aktualisasi dakwah lebih kontekstual. Model
kepemimpinan ini tidak akan menyeret Muhammadiyah memasuki gang-gang sempit,
bahkan jalan buntu. Sejak awal, Muhammadiyah sudah menggariskan bahwa
berdakwah haruslah memajukan dan menggembirakan, seperti terbaca dalam
anggaran dasar tahun 1914. Inti Islam sejati menurut Ahmad Dahlan, seperti
ditulis Munir Mulkhan dalam Marhaenis Muhammadiyah (2010), adalah akal dan
hati suci sehingga perbedaan kelompok dan bangsa tidak menjadi tembok
penghalang melakukan solidaritas memerdekakan manusia dari penderitaan.
Sebagai ikhtiar, Sidang Tanwir
Muhammadiyah Tahun 2003 di Makassar menyetujui konsep dakwah kultural.
Keputusan organisasi ini menandai adanya reorientasi visi dan strategi dakwah
sesuai realitas kemajemukan budaya dan perbedaan identitas sosial masyarakat.
Sebelum itu, Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah
mengeluarkan Tafsir Tematik Al Quran tentang Hubungan Sosial Antarumat
Beragama tahun 2000.
Menilik kiprah dakwah Muhammadiyah
sepanjang era Reformasi, kepemimpinan baru pasca muktamar Makassar dituntut
memiliki mentalitas, kapasitas, dan jejaring pergaulan yang merepresentasikan
Muhammadiyah sebagai tenda bangsa. Kepemimpinan Muhammadiyah yang bersifat
kolektif tak bisa memungkiri peran sentral seorang ketua umum sebagai pucuk
representasi dalam menentukan arah dan langgam organisasi. Kepemimpinan
Muhammadiyah pasca Din lebih tepat diisi figur yang lahir dan dibesarkan
dalam lingkungan yang kosmopolitan sehingga tidak terjadi keterputusan visi
dan orientasi yang bisa mengakibatkan kemacetan akselerasi gerakan.
Gerbong Muhammadiyah sudah
bergerak menuju proses internasionalisasi gerakan meski masih banyak
pekerjaan rumah yang harus segera dibereskan. Memastikan kesinambungan dan
keberlanjutan visi dalam proses pergantian kepemimpinan merupakan kunci wajah
Muhammadiyah untuk lima tahun mendatang. Tanggung jawab inilah yang kini
berada di pundak ribuan peserta muktamar. Selamat bermuktamar! Semoga
melahirkan keputusan-keputusan yang mencerahkan dan memajukan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar