Konstitusi Masyarakat Terbelah
Munafrizal Manan ;
Alumnus University of Melbourne, Australia,
dan Universiteit Utrecht, Belanda
|
KOMPAS,
20 Agustus 2015
Negara majemuk seperti Indonesia senantiasa
menghadapi tantangan membangun relasi sosial yang harmonis dan toleran. Dalam
usianya yang ke-70 pada tahun ini, konflik horizontal disertai kekerasan yang
dipicu atau dibungkus isu primordial masih tetap aktual. Hubungan
mayoritas-minoritas bak api dalam sekam di negara Bhinneka Tunggal Ika ini.
Memang tidak mudah membangun relasi sosial
ideal dalam masyarakat terbelah dalam (deeply divided societies)
secara etnik, ras, agama, dan budaya. Jauh lebih sulit menegakkan dan merawat
demokrasi dalam masyarakat terbelah daripada dalam masyarakat homogen (Arend
Lijphart, 2004:96-97). Apalagi jika absen saling percaya dalam interaksi
sosial. Masyarakat terbelah juga rentan eksplosif jika dimanipulasi jadi
sumber mobilisasi dan fragmentasi politik, dan klaim politik dibelokkan
melalui lensa identitas primordial (Sujit Choudhry [ed], 2008:5).
Padahal, ketidakmampuan atau kegagalan
menciptakan konstruksi sosial yang harmonis dan toleran potensial memantik
konflik sosial, perang sipil, genosida, dan bahkan disintegrasi negara. Kasus
eks Yugoslavia, Rwanda, dan Sudan adalah contoh tragis. Bahkan di
negara-negara maju yang telah berpengalaman lama menerapkan demokrasi
konstitusional pun, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Australia,
hingga saat ini masih ada sebagian masyarakatnya yang bersikap rasial.
Mayoritas-minoritas
Banyak negara yang masyarakatnya
multikultural, multietnik, dan multireligi menghadapi tantangan relatif sama,
yaitu bagaimana membangun hubungan mayoritas-minoritas yang harmonis dan
toleran. Ketakmampuan atau kegagalan mengatasi tantangan ini potensial
menyulut apa yang disebut oleh Richard Simeon dan Luc Turgeon (2007:82)
sebagai insecure majority, yaitu mayoritas menindas dan
mendominasi minoritas, dan insecure minority, yaitu minoritas
memberontak dan memisahkan diri dari mayoritas.
Dalam optik konstitusi, buruknya kohesi sosial
yang berakar pada masyarakat terbelah sebagai tanda ada problema
konstitusional. Ini disebabkan oleh kedua atau salah satu dari diagnosis
konstitusional berikut. Pertama, apakah konstitusi yang berlaku menyediakan
basis konstitusional memadai untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan
toleran? Kedua, apakah kultur berkonstitusi masyarakat (pemahaman konstitusi
dan kesadaran berkonstitusi) terbangun secara utuh dan luas?
Jika masalahnya berkaitan dengan diagnosis
pertama, ini pertanda perlunya mendesain konstitusi yang kompatibel dengan
upaya mengelola masyarakat terbelah. Beberapa pakar, antara lain Arend
Lijphart (1977), Donald L Horowitz, (1991), dan Giovanni Sartori (1994),
mengembangkan formula "rekayasa konstitusi" untuk menciptakan
relasi sosial yang harmonis dan toleran dalam masyarakat terbelah.
Rekayasa konstitusi dilakukan sejak tahap
penyusunan draf konstitusi. Konstitusi disusun dengan mempertimbangkan
karakter sosiologis masyarakat terbelah. Pada tahap inilah pengakuan dan
jaminan atas perbedaan identitas sosial hingga pembagian kekuasaan
dirumuskan. Afrika Selatan (1996), misalnya, melakukan ini ketika
merancang/menulis (ulang) konstitusinya pasca rezim apartheid.
Para pendiri Republik Indonesia sedari awal
paham betul bahwa konstitusi yang disusun harus mengakui dan melindungi
keragaman masyarakat. Meskipun dalam forum BPUPKI, PPKI, dan Dewan
Konstituante sempat muncul perdebatan sengit mengenai pilihan dasar negara,
pada akhirnya disadari bahwa keberlanjutan negara Republik Indonesia yang
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 sangat bergantung pada ada atau tidaknya
pengakuan dan jaminan atas kemajemukan masyarakat. Jalan sejarah NKRI mungkin
akan bergerak ke arah lain jika nihil kesadaran pluralistik ini.
Dengan demikian, problema konstitusional
masyarakat terbelah Indonesia tidak berkaitan dengan aspek diagnosis pertama.
UUD 1945 sejak disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 sudah memberikan
pengakuan dan jaminan atas keragaman masyarakat meskipun cakupannya minim.
Pengakuan dan jaminan ini kini menjadi semakin mantap setelah UUD 1945
mengalami perubahan/amandemen sebanyak empat kali dari tahun 1999 hingga
2002. Ini dapat ditemukan pada butir-butir UUD 1945 dalam bab-bab tentang hak
asasi manusia, agama, dan kebudayaan. UUD 1945 merupakan konstitusi
masyarakat terbelah.
UUD 1945 melampaui nilai partikular atau
dominan tertentu sehingga konstitusi Indonesia merefleksikan dan
merepresentasikan pluralitas masyarakat Indonesia. UUD 1945 merupakan,
meminjam istilah Hanna Lerner dalam Making Constitutions in Deeply
Divided Societies (2011), a basic charter of the state's
identity dan the common denominator of the polity.
Kemajemukan masyarakat seharusnya dapat hidup koeksisten dengan damai di
bawah naungan UUD 1945.
Maka, problema konstitusional masyarakat
terbelah Indonesia tampaknya lebih berhubungan dengan diagnosis kedua, yaitu
kultur berkonstitusi yang belum terbangun holistik dan komprehensif. Ini
adalah sinyal urgensi menyelenggarakan sekolah konstitusi bagi masyarakat
agar konstitusi menjadi hidup (the living constitution).
Sejauh ini belum ada upaya sistematis,
intensif, dan masif membangun kultur berkonstitusi masyarakat. MPR dan
Mahkamah Konstitusi, misalnya, memang telah berinisiatif melakukan
sosialisasi dan diseminasi pengetahuan dan pemahaman tentang UUD 1945. Namun,
frekuensinya masih jauh dari cukup untuk Indonesia yang sangat luas
wilayahnya dan sangat banyak penduduknya.
Kultur berkonstitusi
Ada kecenderungan, kesadaran berkonstitusi masyarakat
masih sebatas bersifat vertikal, muncul manakala hak konstitusional mereka
dilanggar oleh UU yang dibuat oleh legislator. Indikasinya adalah intensitas
pengujian UU di MK yang dimohonkan oleh anggota masyarakat. Sebaliknya, ada
kecenderungan defisit kesadaran berkonstitusi yang bersifat horizontal
(relasi sosial). Buktinya, disharmoni dan intoleransi di kalangan masyarakat
mudah menyulut konflik horizontal disertai kekerasan. Masyarakat justru
menjadi pelaku pelanggaran hak konstitusional masyarakat lain.
Kendati demikian, di sini aspek elitis
konstitusi Indonesia harus pula dipertimbangkan. Konstitusi-konstitusi yang
pernah berlaku di Indonesia adalah produk eksklusif elite politik. Proses
pembuatan dan pengesahannya dimonopoli oleh elite politik. Rakyat yang oleh
konstitusi diakui sebagai pemegang kedaulatan justru tidak pernah dimintai
persetujuan melalui referendum untuk mengesahkan draf konstitusi yang disusun
oleh elite politik. Ironisnya, konstitusi elitis itu pun tidak selalu
dipatuhi oleh elite politik. Maka, tidak heran jika rakyat bersikap sinis
terhadap konstitusi dan merasa terasing dari konstitusi.
Sebagai hukum dasar dan tertinggi dalam
kehidupan bernegara, konstitusi sesungguhnya dapat berfungsi konstruktif bagi
masyarakat terbelah. Konstitusi menjadi instrumen untuk mengatasi konflik dan
mempromosikan demokrasi. Konstitusi juga berfungsi sebagai mekanisme netral
untuk resolusi konflik. (Hanna Lerner, 2011:1&36). Letupan konflik sosial
sebetulnya dapat dimitigasi jika kultur berkonstitusi telah terinternalisasi
dalam masyarakat terbelah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar