Tragedi Hercules dan Keselamatan Perwira
M
Sya’roni Rofii ;
Dirut Jawa Pos Koran
|
JAWA POS, 01 Juli 2015
BANGSA Indonesia kembali
berduka seiring dengan jatuhnya pesawat pengangkut milik TNI-AU, Hercules
C-130, di Medan, Sumatera Utara. Para perwira yang jatuh patut mendapat
penghargaan khusus dari negara. Pada saat bersamaan, keluarga yang
ditinggalkan perlu mendapat santunan dari institusi TNI.
Kejadian ini tentu saja bukan
sesuatu yang diharapkan semua pihak, tak terkecuali oleh para perwira yang
menjadi korban. Mereka menjalankan setiap perintah dari atasan kapan pun dan
di mana pun, sebuah sistem yang melekat dalam institusi ketentaraan. Berdebat
dengan atasan karena usia pesawat yang tak lagi muda dan menghalangi mereka
terbang tentu bukan tradisi yang dipelihara dalam institusi mereka.
Dalam pernyataan Kepala Staf
TNI-AU Marsekal Agus Supriyatna, pesawat tersebut merupakan andalan TNI
kendati sudah berusia uzur karena diproduksi pada 1964 dengan mengandalkan
sistem pemeliharaan yang teratur. ’’Sangat diandalkan. Kita berusaha keras
dengan sistem pemeliharaan yang betul.’’ (Viva, 30/6). Sangat sulit
menyembunyikan fakta bahwa pesawat produksi 1964 itu kini memasuki usia 46
tahun sehingga kemungkinan untuk terjadinya kecelakaan relatif tinggi.
Idealnya, semua pesawat dengan usia 20 tahun sudah harus dikandangkan karena
sifat metal yang mudah mengalami penuaan seiring dengan rutinitas kerja
mereka di angkasa.
Menghargai Perwira
Kapten Penerbang Sandy
Permana adalah satu di antara 30 korban pesawat nahas itu. Berdasar
keterangan yang dilansir TNI-AU lewat situs resminya, Sandy adalah prajurit
TNI-AU yang berprestasi. Dia mendapat anugerah sebagai siswa terbaik Perwira
Siswa (Pasis) Sekolah Komando Kesatuan TNI Angkatan Udara (Sekkau) Angkatan
ke-97 pada 15 Juni 2015 (TNI-AU, 30/6).
Melihat profil yang
bersangkutan semakin membuka mata kita bahwa mereka yang menjadi korban
adalah masa depan penerbangan di institusi TNI-AU. Sebab, mereka ini adalah
calon perwira yang akan menentukan denyut jantung pertahanan Indonesia di
udara.
Membiarkan mereka
menerbangkan pesawat uzur adalah bentuk kelalaian negara terhadap para
prajuritnya. Maka, sudah seharusnya pemerintah menjadikan peristiwa ini
sebagai catatan terakhir tragedi yang mengorbankan prajurit karena faktor
alutsista yang tua.
Kebijakan Alutsista
Dari peristiwa ini, ada
beberapa hal yang patut menjadi perhatian pemerintah. Pertama, melakukan
audit terhadap seluruh armada terbang milik TNI. Dari beberapa kecelakaan
yang selama ini terjadi, bisa dikatakan salah satu faktor yang dominan adalah
usia alutsista yang tak lagi bersahabat. Pesawat TNI yang jatuh di Magetan,
Jawa Timur, pada 2009 juga merupakan pesawat dari jenis yang sama. Hercules
dengan sejumlah keunggulan yang dimiliki, mulai pendaratan dan lepas landas
dari runway yang pendek, sebagai pengangkut yang efektif, pengamatan cuaca,
pengisian bahan bakar di udara, pemadam kebakaran udara, serta ambulans
udara, perlu diperbanyak namun dengan jenis yang baru.
Kedua, mengalokasikan dana
lebih besar bagi TNI-AU. Matra udara termasuk matra yang tidak mendapatkan
porsi cukup dalam rencana anggaran belanja TNI. Sudah menjadi rahasia umum,
dalam sejarah TNI, ada kecenderungan mengalokasikan dana alutsista untuk
kebutuhan darat seperti pembelian tank.
Padahal, potensi ancaman yang
jauh lebih besar datang dari luar sehingga tindakan preventif hanya bisa
dilakukan oleh matra udara dan laut. Kebijakan alokasi anggaran TNI perlu
mendapat perhatian serius baik oleh TNI selaku pengguna anggaran maupun DPR
selaku pengawas anggaran. Sebab, kesalahan dalam mengalokasikan anggaran yang
jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun hanya akan membuat keterputusan
antara alokasi dan tujuan penggunaan anggaran.
Ketiga, menghentikan
kebiasaan menerima hibah. Hibah alutsista bukan hal terlarang dalam doktrin
pertahanan. Namun, kebiasaan menerima hibah dengan tanpa mengindahkan standar
tinggi hanya akan mengakibatkan masalah di kemudian hari. Barang hibah
umumnya telah memasuki usia tua dan efektif digunakan maksimal satu dekade.
Dengan demikian, dalam fase ini alat-alat pertahanan tersebut membutuhkan
perawatan yang sangat ketat dan memakan biaya yang tidak sedikit. Secara
sederhana, bisa dikatakan barang hibah adalah barang tua yang menunggu masa
kedaluwarsa.
Dari sudut pandang yang lebih
luas, sangat wajar mengalamatkan kritik terhadap pengguna anggaran yang tidak
mengalokasikan anggaran pertahanan secara tepat. Kejadian sebuah helikopter
milik negara tetangga dengan kode YM-YHM yang bebas terbang di Nunukan,
Kalimantan Utara, baru-baru ini juga menjadi catatan lain yang butuh
perhatian dalam rangka mengevaluasi titik lemah alutsista kita (JPNN, 28/06).
Bebasnyapesawatmilikasingterbang tanpa izin di wilayah Indonesia membuktikan
instalasi radar dalam jumlah besar di perbatasan belum mendapat prioritas
dari TNI. Dan, bagaimana merespons situasi tersebut, tampaknya, belum
dianggap urgen.
Akhir kata, semoga kejadian
ini tidak menyurutkan semangat para penerbang TNI untuk tetap siaga menjaga
kedaulatan udara Republik Indonesia dan menjadi catatan serius bagi
pemerintah untuk segera membenahi alutsista yang mendesak untuk diremajakan.
Sekali lagi, turut berdukacita untuk para korban dan keluarga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar