Revolusi Desa
Budiman
Sudjatmiko ; Dewan
Pengarah Badan Prakarsa
Pemberdayaan
Desa dan Kawasan (BP2DK); Fraksi PDI-P DPR
|
KOMPAS,
10 Juli 2015
“Saya ingin dana yang diterima
desa bisa menjadi modal pembangunan desa serta uang itu bisa berputar,
berkembang, dan kembali ke desa dan kawasan perdesaan. Jangan lari ke
mana-mana.” Itu adalah kata-kata yang pernah disampaikan Joko Widodo kepada
penulis di sela-sela kampanye pemilu presiden lalu.
Sebagai konsekuensi dari kata-kata
itu, pemerintahan Jokowi-Kalla akhirnya meningkatkan dana desa dari Rp 9,1
triliun (dalam APBN 2015) menjadi Rp 20,8 triliun (dalam APBN-P 2015). Suatu
peningkatan sangat signifikan guna mewujudkan amanat Pasal 72 UU No 6/2014
tentang Desa.Penjelasan Pasal 72 Ayat 2 memang memungkinkan jumlah dana desa
dari APBN dilaksanakan bertahap, menunggu kesiapan aparat desa.
Jika pemerintah benar-benar
menjalankan amanat UU Desa, setiap desa nantinya akan memperoleh rata-rata Rp
1,4 miliar dari APBN, APBD provinsi, dan APBD kabupaten/kota. Artinya, akan
ada sekitar Rp 103,6 triliun dana yang mengalir langsung ke desa. Ini
peningkatan jumlah yang sangat besar, yaitu mencapai 5 persen dari total
belanja APBN (atau 1 persen dari produk domestik bruto Indonesia).
Pendapatan
wilayah
Apa faedah alokasi dana desa yang
begitu besar bagi perekonomian nasional? Pertanyaan ini penting untuk dijawab
mengingat besarnya anggaran dan jumlah masyarakat yang terkena langsung
kebijakan tersebut. Namun, sayangnya, kajian makro ekonomi terhadap kebijakan
ini masih sangat minim. Untuk itu, dalam tulisan ini diusulkan sebuah telaah
makro ekonomi terhadap kebijakan tersebut.
Ada perkara serius dalam sistem
pengukuran ekonomi di negeri ini. UU Desa berusaha menggugat sistem tersebut.
BPS, Bappenas, dan Bappeda selama ini rupanya mengukur matriks ekonomi dengan
menggunakan ”pendekatan wilayah”, yaitu dengan menggunakan produk domestik
regional bruto (PDRB). Pendekatan ini mengukur nilai barang dan jasa yang
diproduksi dalam suatu wilayah pada periode tertentu. Pendekatan ini memiliki
bias yang sangat besar dalam mengukur kesejahteraan masyarakat.
Misalnya, ada satu perkebunan
sawit di Desa Y. Pendapatan perkebunan sawit itu akan masuk dalam PDRB Desa
Y. Namun, pada kenyataannya mayoritas pendapatan perkebunan sawit justru
mengalir kepada pemilik modal dan pekerja kerah putih yang berdomisili di
kota dan di luar negeri. Sangat kecil bagian pendapatan perkebunan sawit yang
dinikmati warga Desa Y.
Menghadapi soal ini, penulis
percaya, seharusnya yang dimaksudkan ”pendapatan wilayah” adalah ”total
pendapatan penduduk di wilayah tersebut”, bukan ”total pendapatan pada
wilayah tersebut”. Untuk itu, tulisan ini tidak menggunakan ”pendekatan
wilayah”, tetapi ”pendekatan manusiadalam wilayah”. Artinya, pendapatan
wilayah diukur dari total nilai barang dan jasa yang diproduksi penduduk di
wilayah tersebut.
Perhitungan semacam ini dilakukan
dengan metode ekstrapolasi distribusi pendapatan, yang dikembangkan Rolf
Aaberge, ahli statistik dari Universitas Oslo, Norwegia. Berdasarkan
perhitungan yang dikembangkan Aaberge ini, penulis menggunakan data
demografi, kemiskinan, serta kesenjangan antara kota dan desa, dari BPS tahun
2014.
Dari hasil perhitungan diketahui,
pendapatan penduduk desa 32,08 persen dari PDB nasional atau sekitar Rp
3.381,8 triliun. Mengingat persentase penduduk desa dan kota tahun 2014
berimbang, 50-50, secara sederhana dapat dikatakan bahwa pendapatan penduduk
kota 2,11 kali lebih besar daripada di desa.
Inilah yang menjelaskan mengapa
terjadi urbanisasi besar-besaran selama ini. Satu perkara serius yang
menimbulkan persoalan sosial di kota-kota, sementara di sisi lain menyebabkan
turunnya jumlah angkatan kerja pertanian di desa-desa.
Optimalisasi
dana desa
Lalu, seberapa besar peningkatan
kesejahteraan penduduk desa dengan adanya kebijakan dana desa? Secara umum
ada tiga jenis pertumbuhan yang terjadi.
Pertama, pertumbuhan alamiah atau
pertumbuhan yang terjadi secara natural tanpa dipengaruhi kebijakan belanja
dari pemerintah. Mengingat persentase dana belanja langsung pemerintah ke
desa sebelum adanya UU Desa sangat kecil, kita anggap saja besarannya
mengikuti pertumbuhan ekonomi nasional, antara 4 dan 8 persen.
Kedua, pertumbuhan langsung atau
pertumbuhan yang terjadi akibat langsung dari belanja pemerintah. Jika total
dana desa sudah dioptimalkan 100 persen (sesuai dengan amanat Pasal 72 Ayat
2) hingga mencapai Rp 103,6 triliun (dari APBN dan APBD) dan nilai pendapatan
penduduk desa hasil penghitungan adalah Rp 3.381,8 triliun, potensi pertumbuhan
langsung adalah 3,06 persen.
Ketiga, pertumbuhan rentetan atau
pertumbuhan yang terjadi akibat efek rentetan (multiplier) dari belanja
pemerintah. Masuknya dana ke desa dapat memacu usaha baru di desa tersebut.
Sebuah usaha baru dapat memacu timbulnya usaha baru lainnya, demikian
seterusnya.
Nilai pertumbuhan rentetan yang
dihasilkan sangat ditentukan tingkat produktivitas penggunaan dana desa. UU
Desa memberikan sejumlah panduan untuk meningkatkan produktivitas melalui
optimalisasi penggunaan dana. Di bawah ini adalah beberapa di antaranya.
Peruntukan dana harus melibatkan
partisipasi masyarakat (Pasal 54). Sistem informasi desa (e-budget) harus
dibangun untuk meminimalkan kebocoran anggaran (Pasal 86). Badan Usaha Milik
Desa (Pasal 87-90) dan Badan Kerja Sama Antar-Desa (Pasal 92) harus didorong
untuk mengembangkan antardesa guna meningkatkan skala ekonomi usaha produktif
rakyat desa. Pemerintah pusat dan daerah juga perlu melakukan pembinaan
(Pasal 112-115), khususnya yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas
pemerintah dan masyarakat serta penerapan teknologi. Jika panduan ini
dilakukan dengan baik,angka pertumbuhan rentetan berpotensi lebih dari 1,5
persen atau setengah dari nilai pertumbuhan langsung.
Kombinasi pertumbuhan alamiah,
langsung, dan pertumbuhan rentetan berpotensi meningkatkan pendapatan
penduduk desa mendekati 10 persen per tahun. Kuncinya: optimalkan tingkat
pertumbuhan rentetan dengan memanfaatkan potensi desa yang begitu besar.
Apabila pertumbuhan desa dapat dipacu di atas rata-rata nasional, diharapkan
tingkat kesenjangan akan berkurang secara signifikan.
Pada akhirnya optimalisasi dana
desa merupakan sebuah peluru yang dapat menembak dua burung secara bersamaan:
mendorong pertumbuhan sekaligus mengurangi kesenjangan secara bersamaan. Jika
sudah demikian, ia bukan sekadar merupakan revolusi bagi desa, tetapi juga
revolusi ekonomi Indonesia secara nasional. Desa sebagai salah satu
pengungkit utama pertumbuhan sekaligus menyediakan sarana- sarana bagi
pemerataannya secara terorganisasi dengan baik.
Instrumen hukum, yaitu UU Desa,
yang memungkinkan turunnya anggaran dan pendampingan teknis serta
pemberdayaan masyarakat telah disiapkan. Untuk mencapai tujuan-tujuan
”memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”, hanya ada
tiga syarat tambahan: keberanian politik, keberanian politik, dan keberanian
politik! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar