Publikasi di Jurnal Internasional
Franz
Magnis-Suseno ;
Guru Besar Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara di Jakarta
|
KOMPAS,
09 Juli 2015
Sudah lama disadari bahwa
Indonesia ketinggalan dalam output ilmiah dibandingkan dengan negara-negara
tetangga. Maka, sekitar delapan tahun lalu, Ditjen Pendidikan Tinggi
Kemendikbud mulai mengambil inisiatif untuk mengubah situasi itu.
Untuk menjadi guru besar, juga
untuk bisa menerima ijazah doktor, dipersyaratkan harus ada publikasi di
jurnal internasional! Bukan di sembarang jurnal internasional. Jurnal itu
harus memenuhi "kaidah ilmiah dan etika keilmuan", terindeks di
database internasional bereputasi, harus dalam bahasa resmi PBB (Arab,
Inggris, Perancis, Rusia, Spanyol, Tiongkok, Jerman, Jepang bagaimana?),
dewan redaksi harus pakar dari empat negara, harus memiliki versi online
(supaya bisa diakses Dikti, tetapi apa semua jurnal ilmiah gengsi mau bisa
dibaca online?), dan lain-lain.
Spesialis-generalis
Memang, di Jerman, misalnya,
reputasi akademik calon guru besar diukur dari kualitas publikasinya. Untuk
melamar menjadi guru besar di sebuah perguruan tinggi calon akan mengajukan publikasi-publikasinya,
yang kemudian ditinjau oleh beberapa pakar dan akhirnya senat yang mengambil
keputusan.
Namun, haruskah publikasi di
jurnal internasional? Ambil kasus saya sendiri. Saya masih enak menjadi
profesor: asal rajin mengumpulkan kum profesornya terjamin. Tahun 1994 kum
saya melampaui 1.000, ya, jadi guru besar. Nah, di antara sekitar 65
publikasi saya segala macam di luar negeri (kebanyakan dalam bahasa Jerman,
bahasa asli saya), yang saya temukan selama 46 tahun kegiatan akademis saya,
hanya ada tiga (!) dalam majalah dengan standar ilmiah tertinggi. Dua dalam Zeitschrift fÜr philosophische Forschung,
satu di Zeitschrift fÜr
Missionswissenschaft und Religionswissenschaft.
Mengapa begitu sedikit? Bidang
saya filsafat. Saya seorang generalis. Artinya, saya merasa cukup menguasai
sejarah dan metode-metode pemikiran filosofis, dan di dua tiga bidang saya
mampu menulis monografi. Namun, majalah filsafat berstandar prima di Jerman
(sama di AS) tidak akan memuat tulisan tingkat generalis. Filsafat internasional
adalah highly specialized. Orang,
misalnya, tidak menulis tentang "filsafat moral Immanuel Kant",
tetapi tentang "fungsi Zusatz tentang Faktum der Vernunft dalam deduksi Kant tentang imperatif
kategoris".
Bagaimana mungkin kami yang jauh
di Indonesia dan tidak terlibat dalam diskursus ekstrem spesialistik para
filosof profesional di Eropa dan Amerika bisa menulis sesuatu yang mau
diterima dalam jurnal-jurnal mereka? Lebih penting lagi, yang kita perlukan
di Indonesia justru bukan spesialisme ekstrem itu.
Untuk mengembangkan filsafat
akademik di Indonesia, kita justru memerlukan filosof generalis. Seorang
filosof yang mampu mengantar para mahasiswa peminat filsafat ke dalam cara
berpikir filosofis karena mempunyai wawasan yang menyangkut filsafat sebagai
keseluruhan. Publikasi mereka harus generalistik! Mempersyaratkan publikasi
di jurnal internasional tidak menaikkan mutu para akademisi kita, tetapi
mencekiknya!
Ambil lagi filsafat. Sejauh saya
tahu hanya ada dua universitas negeri besar (UI dan UGM) yang punya program
studi (prodi) filsafat. Jadi, kalangan filosof Indonesia masih amat terbatas.
Padahal, untuk mengembangkan filsafat bermutu, kita perlu profesor-profesor.
Saya sedih dan, terus terang, marah melihat kolega-kolega muda yang
bersemangat dan berbakat sudah sejak bertahun-tahun terhambat jadi guru
besar. Situasi di banyak ilmu lain, terutama yang non-eksakta, kiranya tidak
jauh berbeda.
Karena itu, penundaan keputusan
Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) terdahulu-yang mewajibkan para calon doktor
melakukan publikasi di jurnal internasional, dengan penambahan SKS di prodi
magister dan doktor-oleh Menristek-Dikti baru adalah langkah bijaksana.
Sebenarnya aneh juga kalau pemberian gelar doktor atau magister dibikin
bergantung pada lembaga di luar perguruan tinggi yang bersangkutan, misalnya
dari kesediaan redaksi suatu majalah.
Menilai kualitas akademis
mahasiswa jelas tugas dan kompetensi perguruan tinggi di mana dia belajar.
Buat apa perguruan tinggi diakreditasi kalau tak bisa meluluskan mahasiswanya?
Metode
palu
Peningkatan produktivitas ilmiah
staf akademis kita tak akan dicapai dengan metode palu. Untuk jadi guru besar
cukup dipersyaratkan empat tulisan ilmiah state of the art yang
dipublikasikan di Indonesia. Atau sebuah monografi yang betul-betul
mengesankan (setingkat Habilitationsschrift di Jerman), yang kemudian
dinilai, misalnya, oleh empat guru besar yang pakar, dua di antaranya dari
luar universitas yang bersangkutan.
Hal yang memang perlu adalah agar
di perguruan tinggi masing-masing diciptakan suasana, di mana para dosen
dapat melakukan penelitian (pustaka): ada kantor pribadi, perpustakaan yang
bagus, dan jumlah kuliah tidak berlebihan (studi penelitian apa yang mau
diharapkan kalau dosen diandaikan mengajar 12 jam per minggu seperti
sekarang?).
Dikti tidak salah kalau mau
memotong kemungkinan penipuan, plagiat, dan korupsi dalam pemrosesan pelbagai
kenaikan. Namun, apakah masuk akal menuntut bukan hanya semua ijazah,
melainkan semua transkrip nilai juga harus diperlihatkan? Bagaimana kalau
seorang doktor yang sudah mengajar 20 tahun, yang akhirnya bisa menjadi guru
besar, sudah hilang beberapa transkrip masa S-1-nya dulu?
Apalagi tulisan! Tulisan bukti
kegiatan ilmiah diharuskan diserahkan secara fisik ke Dikti (dan saya mendengar,
tak pernah dikembalikan) dan kalau mau dipakai untuk kredit kenaikan pangkat
malah masih harus juga diunggah: entah (dulu) langsung ke laman Dikti atau ke
laman perguruan tinggi bersangkutan. Yang harus diunggah bukan hanya halaman
depan, daftar isi, serta halaman pertama dan terakhir, melainkan fulltext, semua halaman, dengan
pemborosan pekerjaan dan listrik (scanning!)
luar biasa. Apakah Dikti menyadari bahwa proses pengunggahan itu dapat
dituntut sebagai pelanggaran undang-undang hak cipta? Lucu lagi, surat-surat
bukti itu harus diunggah berulang kali, ya, setiap kali dibutuhkan lagi. Bureaucracy in overkill mode?
Kiranya sudah waktunya Dikti,
dalam rangka revolusi mental, melakukan konsultasi dengan dunia perguruan
tinggi sendiri untuk mencari cara pembuktian prestasi ilmiah yang
proporsional. Suatu peningkatan etika dosen ataupun nafsu penelitian dan
publikasi lebih mudah akan tercapai dengan perbaikan kondisi-kondisi kerja
serta dengan mengandalkan semangat para ilmuwan kita sendiri, terutama para
ilmuwan muda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar