Revisi Undang-Undang KPK
Marwan
Mas ; Guru
Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
|
KORAN SINDO, 06 Juli 2015
Siapa pun memahami bahwa semua
peraturan yang dibuat oleh manusia bukan ”kitab suci” yang tidak boleh
diperbaiki atau direvisi. Bahkan UUD 1945 yang pernah disakralkan saat
pemerintahan Orde Baru agar tidak disentuh perubahan (amendemen), tetapi
karena kehendak rakyat sudah empat kali diamendemen.
Begitu pula rencana lama merevisi
UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) bukan hal yang
sakral sehingga wajar dilakukan perbaikan. Namun, hendaknya tidak diarahkan
untuk memperlemah, apalagi mencabut kewenangan KPK yang selama ini membawa
hasil positif dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Jika kemudian menimbulkan polemik
itu lantaran lagu lama yang dirilis kembali oleh DPR masih saja diarahkan
untuk menggerogoti kewenangan KPK yang diatur dalam Pasal 12 UU KPK. Rakyat
tidak percaya pada wakilnya di Senayan, apa pun alasan dan rasionalitas yang disampaikan.
Kurang lebih seperti itulah realitas yang ada saat DPR atau pemerintah
menggulirkan revisi UU KPK. Selalu ada kecurigaan publik terhadap upaya DPR,
meskipun ada iktikad baik di dalamnya.
Kewenangan
Penyadapan
Kejahatan korupsi sudah dipahami sebagai
kejahatan luar biasa (extraordinary
crimes). Rakyat juga sudah paham bahwa untuk melawan kejahatan kelas
berat itu harus ditangani dengan cara luar biasa pula agar dapat menimbulkan
efektivitas dalam penuntasannya. Berdasarkan berita yang berkembang,
setidaknya ada lima aspek yang akan direvisi DPR dalam UU KPK.
Pertama, akan mengatur ulang
ketentuan Pasal 12 hurufa UU Korupsi mengenai ”kewenangan penyadapan”. KPK
dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan ”berwenang
melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan”. Ini salah satu kewenangan
paling ampuh bagi KPK dalam memburu para koruptor yang begitu banyak akal
terhadap uang negara. Dari kewenangan menyadap telepon seseorang yang diduga
akan melakukan korupsi seperti suap, sehingga banyak kasus korupsi kelas
kakap dapat dibongkar KPK.
Bisa dilihat pada kasus
pembangunan Wisma Atlet yang menyeret elite politik seperti Nazaruddin dan
Angelina Sondakh. Kasus Wisma Atlet terbongkar karena operasi tangkap tangan
(OTT) KPK terhadap salah seorang bawahan Nazaruddin. Dia bisa kena OTT berkat
keampuhan kewenangan ”penyadapan telepon” yang dilakukan saat penyelidikan
dan berdasarkan informasi masyarakat.
OTT hasil penyadapan juga menimpa
oknum anggota DPR Komisi IV dari Fraksi PDI Perjuangan saat pelaksanaan
kongres di Bali (9/4/2015). Ia tertangkap tangan saat sedang bertransaksi
suap. Begitu pula dua anggota DPRD dan dua kepala SKPD Kabupaten Musi
Banyuasin, Sumatera Selatan, terjerat OTT KPK (19/6/2015). Dalam OTT itu, KPK
berhasil mengamankan barang bukti suap berupa uang senilai Rp2,5 miliar.
Realitas ini menunjukkan bahwa kewenangan penyadapan KPK begitu ampuh
membongkar kasus penyuapan.
Wajar bila timbul pertanyaan
publik, apakah ada oknum DPR atau oknum kekuasaan tertentu yang gentar
terhadap OTT yang umumnya dilatari oleh penyadapan saat tahap penyelidikan?
Tentu KPK melaksanakan kewenangannya karena ada informasi dari masyarakat.
Apalagi operasional penyadapan di KPK juga tetap menghargai hak privasi,
sehingga tidak pernah hasil penyadapan yang diperdengarkan di pengadilan
menyangkut hak privasi seseorang.
Seharusnya
Berpihak
Kedua, akan menghapus ketentuan
Pasal 40 UU KPK tentang larangan bagi KPK mengeluarkan surat menghentikan
penyidikan dan penuntutan. Tetapi perlu dipahami filosofi Pasal 40 UU KPK,
yaitu sebagai konsekuensi dari pemberian kewenangan besar kepada KPK. Buat
apa memberikan kewenangan yang besar dibanding kepolisian dan kejaksaan, jika
pada akhirnya diberi peluang menghentikan penyidikan dan penuntutan.
Filosofi Pasal 40 UU KPK
mengharuskan KPK lebih teliti, serius, dan profesional saat menetapkan
seseorang tersangka. Jika pun ada yang dikabulkan praperadilannya terkait
”penetapan tersangka” kemudian dijadikan alasan pembenar mencabut Pasal 40 UU
KPK, hal itu tidak relevan. Sebab, putusan praperadilan hanyalah sebagai
”koreksi administratif” bagi penyidik dalam melakukan upaya paksa.
Ketiga, pembentukan ”Dewan
Pengawas” untuk mengawasi pelaksanaan kewenangan KPK diperlukan. Namun,
kehadiran Dewan Pengawas KPK tidak boleh diberi wewenang mencampuri
pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, baik secara administratif maupun teknis.
Setidaknya hanya menjaga kehormatan pimpinan dan pegawai KPK dari kemungkinan
melakukan penyalahgunaan wewenang dan melanggar kode etik. Malah harus
memberikan proteksi bagi KPK dari kemungkinan intervensi dari luar yang ingin
melemahkan.
Keempat, memang diperlukan
pengaturan pelaksanaan tugas pimpinan KPK jika berhalangan. Kelima, penguatan
pelaksanaan kolektif-kolegial pimpinan KPK dalam mengambil keputusan, juga
perlu dipertegas. Tetapi diarahkan untuk memperkuat kewenangan KPK agar tugas
pencegahan dan penindakan semakin berani dan lebih efektif.
Revisi UU KPK boleh dilakukan
setelah menyelaraskan revisi KUH Pidana, KUHAP, dan UU Nomor 31/1999 yang
diubah dengan UU Nomor 20/2001 (UU Korupsi). Sebab tidak bisa menafikan
adanya upaya secara sistematis dan telah berlangsung lama untuk menghapus
kewenangan besar KPK. Tidak perlu merevisi kewenangan yang sudah efektif
seperti penyadapan, kewenangan dalam Pasal 12 UU KPK, dan ketentuan Pasal 40
UU KPK.
Akan jauh lebih elok jika
memperbaiki kelemahan KPK selama ini. Misalnya, mempertegas bahwa KPK
berwenang mengangkat penyelidik sendiri, penyidik sendiri, dan penuntut
sendiri di luar anggota kepolisian dan kejaksaan. Itulah sikap konsisten dan
keberpihakan pada KPK dan pemberantasan korupsi. Apalagi rakyat khawatir
proses revisi akan berbelok arah setelah dibahas di DPR lantaran takut
nantinya menjadi sasaran tembak kalau KPK lebih diperkuat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar