Islam Berkemajuan dan Islam Nusantara
Biyanto
; Dosen
UIN Sunan Ampel;
Ketua
Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
|
KORAN SINDO, 06 Juli 2015
Akhir-akhir ini umat dihadapkan
pada dua narasi besar tentang Islam Indonesia. Dua narasi besar itu adalah
Islam berkemajuan dan Islam Nusantara. Narasi Islam berkemajuan sangat lekat
dengan Muhammadiyah. Bahkan Muhammadiyah telah menjadikan kata ”berkemajuan”
sebagai tagline tema Muktamar Ke- 47 di Makassar, 3-7 Agustus 2015. Tema yang
diusung Muhammadiyah dalam muktamar kali ini adalah Dakwah Pencerahan untuk
Indonesia Berkemajuan. Melalui tema ini Muhammadiyah ingin mewujudkan Islam
masa depan yang modern, universal, dan mendunia.
Muhammadiyah sejak awal memang
telah mengenalkan diri sebagai gerakan Islam berkemajuan. Pendiri
Muhammadiyah, KH AhmadDahlan, mengatakan bahwa Islam merupakan agama
berkemajuan. Ungkapan Islam berkemajuan juga pernah dikemukakan Presiden
Pertama RI, Soekarno. Senada dengan Kiai Dahlan, Soekarno juga menentang
kekolotan, kejumudan, takhayul, dan kemusyrikan yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat. Pandangan Sukarno ini merupakan buah dari interaksinya dengan
tokoh-tokoh Muhammadiyah, terutama Kiai Dahlan dan KH Mas Mansur. Saat masih
tinggal di Surabaya, Sukarno tergolong rajin mengikuti pengajian Kiai Dahlan.
Dalam amatan Kiai Dahlan, umat
saat itu sudah jauh tertinggal dan enggan mengejar ketertinggalan karena
maraknya budaya takhayul, bidah, dan churafat (TBC). Dampaknya, umat sulit
membedakan antara praktik budaya yang menghambat kemajuan dengan ajaran agama
yang sebenarnya. Kiai Dahlan menyadari betul bahwa mewujudkan Islam
berkemajuan merupakan suatu keniscayaan. Spirit membumikan Islam berkemajuan
pun terus digelorakan Kiai Dahlan dan tokoh-tokoh Muhammadiyah generasi awal.
Di tengah masyarakat yang belum
memiliki kesadaran membayar zakat, Muhammadiyah membentuk panitia zakat
(amil). Di tengah masyarakat yang masih mengandalkan dukun untuk menyembuhkan
penyakit, Muhammadiyah mendirikan rumah sakit. Di tengah masyarakat yang
masih mengabaikan nasib anak yatim, Muhammadiyah mendirikan panti asuhan. Di
tengah masyarakat yang fanatik berpedoman pada kalender urfi warisan Sultan
Agung, Muhammadiyah menawarkan ilmu hisab astronomi.
Saat banyak kalangan muslim
memperdebatkan apakah sekolah modern kafir atau tidak, Muhammadiyah terus
membangun sekolah-sekolah modern. Bahkan sebelum Muhammadiyah lahir, Kiai
Dahlan telah mendirikan madrasah diniyah sebagai cikal bakal sekolah modern.
Modernisasi pendidikan yang diprakarsai Kiai Dahlan merupakan terobosan
penting pada masanya. Bagi Muhammadiyah, pendidikan modern merupakan metode
yang jitu untuk memajukan umat.
Saat pendidikan masih diberikan
secara terbatas pada elite priyayi, Muhammadiyah membuka kesempatan kepada
anakanak dari masyarakat luas untuk belajar. Kiai Dahlan juga merumuskan
tujuan pendidikan yang begitu ideal, yakni melahirkan individu yang tampil
sebagai ulama-intelek atau intelek- ulama. Profil lulusan pendidikan ala Kiai
Dahlan menunjukkan semangat mewujudkan Islam berkemajuan. Lulusan pendidikan
diharapkan memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas serta kuat jasmani dan
rohani. Pembaruan Muhammadiyah di segala bidang itu menunjukkan dengan jelas
visi Islam berkemajuan.
Sementara itu, wacana Islam
Nusantara sangat popular di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Diskursus Islam
Nusantara juga dibicarakan dalam berbagai forum ilmiah. Bahkan dalam banyak
kegiatan pengajian tidak jarang kiai-kiai NU menekankan pentingnya Islam yang
berwajah Nusantara. Wacana Islam Nusantara menemukan momentum yang tepat,
yakni jelang Muktamar Ke-33 NU di Jombang pada 1-5 Agustus 2015. Muktamar NU
juga mengusung tema Meneguhkan Islam Nusantara, Merawat Indonesia untuk
Membangun Peradaban Dunia. Melalui tema ini NU ingin menjadi gerakan Islam
yang ramah terhadap berbagai budaya di Nusantara.
Pendiri dan ideolog NU, KH Hasyim
Asyari, dikenal luas sebagai ulama yang sangat akomodatif terhadap berbagai
budaya agama populer (popular religion).
Hal itu dilakukan Kiai Hasyim
untuk menjaga kekhasan Islam di Nusantara. Sementara ketua umum PBNU, KH Said
Aqil Siradj, meniscayakan Islam Indonesia harus mencerminkan perilaku sosial
budaya yang moderat (tawassuth),
seimbang (tawazun), dan toleran (tasamuh). Menurut Kiai Said, tiga
prinsip ini sekaligus menjadi solusi warga nahdliyin dalam menghadapi
tantangan liberalisme, kapitalisme, sosialisme, serta radikalisme bernuansa
agama yang kian marak.
Konsepsi Islam Nusantara seakan
menjadi narasi besar NU untuk membumikan ajaran Islam di Indonesia dan negara
tetangga. Wacana Islam Nusantara kian populer setelah Presiden Jokowi turut
memberikan dukungan. Saat hadir di tengah-tengah warga nahdliyin, Jokowi
mengatakan bahwa Islam kita adalah Islam Nusantara, yakni Islam yang ramah
dan moderat. Pernyataan Presiden dikemukakan untuk membandingkan wajah Islam
Indonesia dengan nasib Islam di Suriah, Irak, dan Libya, yang hingga kini
terus membara akibat konflik berkepanjangan.
Pertanyaannya, bagaimana
menyandingkan narasi agung Islam berkemajuan dan Islam Nusantara? Idealnya
dua narasi Islam Indonesia ini tidak dipahami secara binaris sehingga
terkesan berhadap-hadapan. Keduanya harus dipahami secara utuh sehingga bisa
saling melengkapi. Membumikan ajaran Islam di Nusantara dengan tetap
mengakomodasi budaya sebagai bentuk kearifan lokal (local wisdom) terasa sangat penting. Tetapi harus tetap dibedakan
ajaran agama yang sebenarnya dan budaya agama. Sepanjang tidak bertentangan
dengan jiwa ajaran Islam, budaya agama termasuk dalam kategori boleh (ibahah). Jika budaya agama itu
bertentangan dengan ajaran Islam, maka harus dikoreksi.
Narasi Islam Nusantara juga harus
dimodernisasi agar sesuai dengan konteks kekinian. Islam Nusantara tidak
boleh berwajah sinkretis, berpandangan romantis, dan antiperubahan. Islam
Nusantara harus menampilkan wajah yang modern, mendunia, dan berpandangan futuristik.
Pada konteks inilah Muhammadiyah dan NU harus bersinergi untuk mendakwahkan
Islam di Nusantara yang berkemajuan dengan penuh optimistik. Dengan meminjam
kata-kata bijak di dunia pesantren, dua ormas terbesar di Tanah Air itu harus
mengamalkan ajaran al-muhafadhah ala
al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah (menjaga tradisi lama yang masih baik dan
mengambil budaya baru yang lebih baik).
Dengan cara tersebut rasanya
proses membumikan Islam dalam bingkai budaya Nusantara yang maju dan modern
akan menjadi kenyataan. Jika kondisi ini terjadi, maka wajah Islam di
Nusantara akan menjadi laboratorium dunia. Islam Indonesia juga akan menjadi
lokomotif kebangkitan Islam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar