Pandanglah Kami
Sri
Palupi ; Peneliti Institute for Ecosoc Rights
|
KOMPAS, 03 Juli 2015
Pandanglah kami"
adalah pesan yang yang ingin disampaikan masyarakat adat Desa Liku, Kecamatan
Batangkawa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, andai mereka bisa bertemu
dengan Presiden Joko Widodo. Pesan itu singkat, tetapi memuat dua perkara
penting, yaitu pertanyaan sekaligus permintaan mereka kepada Presiden terkait
kehidupan masyarakat adat.
Kepada Presiden mereka
ingin mempertanyakan berbagai kebijakan pemerintah yang tidak mereka pahami,
tetapi membuat hidup mereka terpuruk. Kepada Presiden pula mereka hendak
meminta agar dalam membuat kebijakan, pemerintahan Jokowi sudi
memperhitungkan kehendak dan kebutuhan masyarakat yang termarjinalkan.
Saya mengingat pesan
itu setelah mendengar kabar tentang pertemuan Presiden Jokowi dengan
perwakilan masyarakat adat beberapa waktu lalu. Dalam pertemuan itu, Presiden
menegaskan kembali komitmennya untuk bekerja bersama masyarakat adat.
Presiden berjanji membentuk satgas untuk pembebasan warga masyarakat adat
yang ditahan karena konflik agraria.
Langkah yang akan
dibuat Presiden untuk masyarakat adat patut diapresiasi. Dengan cara itu,
Jokowi mengakui sekaligus mengoreksi kesalahan pemerintahan sebelumnya. Hanya
saja, langkah tersebut tidak akan secara signifikan mengatasi masalah dan
memulihkan kerusakan yang diderita masyarakat adat apabila tidak diikuti
dengan tindakan struktural pengembalian hak-hak masyarakat adat dan koreksi
atas kebijakan pemerintah yang melahirkan konflik dan kerusakan.
Tak terpahami
Perkara pertama yang
ingin disampaikan masyarakat Desa Liku kepada Presiden adalah ketidakpahaman
masyarakat adat atas kebijakan pemerintah dalam mengelola sumber daya alam.
Setidaknya ada lima perkara kebijakan yang tak terpahami.
Pertama, pemerintah
membuat kebijakan pemberantasan penebangan liar (illegal logging) dengan memangkas perusahaan-perusahaan
pemotongan kayu (HPH) yang menghabisi hutan. Namun, anehnya pemerintah
menggantinya dengan pemberian izin besar-besaran terhadap perusahaan
perkebunan sawit yang tidak hanya menghabisi hutan, tetapi juga mengambil
alih lahan-lahan masyarakat, merusak lingkungan, dan meracuni masyarakat.
Kedua, pemerintah
telah membuat kebijakan moratorium pemberian izin baru dengan Inpres Nomor 10
Tahun 2011 hingga Inpres Nomor 6 Tahun 2013. Namun, ironisnya, kajian Walhi
atas kebijakan moratorium menunjukkan, dalam lima tahun terakhir pemerintah
melakukan pelepasan kawasan hutan seluas sedikitnya 7,7 juta hektar untuk
pertambangan, perkebunan sawit, dan lainnya.
Ketiga, pemerintah
memberikan izin kepada perusahaan pertambangan dan perkebunan sawit secara
gelap mata. Di Kalteng, misalnya, ada lima kabupaten yang luasan izin bagi
perusahaan tambang dan perkebunan sawit hampir menyamai atau bahkan melebihi
luasan kabupaten. Di Kabupaten Barito Utara, misalnya, total luasan izin yang
diberikan pada perusahaan mencapai 1.452.468 hektar, sementara luasan
kabupaten hanya 830.000 hektar.
Keempat, pemerintah
membiarkan perusahaan beroperasi tanpa pengawasan. Di Kalteng, misalnya, pada
2012 terdapat 300-an perusahaan perkebunan sawit yang sudah beroperasi dan
dari jumlah tersebut hanya 85 perusahaan yang perizinannya memenuhi kriteria
clear and clean. Terdapat 45 persen dari perusahaan yang beroperasi di
Kalteng tahun 2010 tidak memiliki amdal.
Kelima, tingginya arus
investasi tidak berdampak pada kesejahteraan rakyat. Provinsi Kalteng
ekonominya tumbuh di atas rata-rata nasional, tetapi 62 persen desanya
tergolong desa tertinggal. Bahkan, Kabupaten Barito Timur, Kotawaringin
Timur, dan Seruyan yang padat dengan perkebunan sawit dan pertambangan justru
memiliki angka kemiskinan tertinggi.
Ada proses pemiskinan
dalam kehidupan masyarakat adat di daerah yang kaya sumber daya alam. Ini
terjadi karena kebijakan ekonomi yang dijalankan pemerintah memisahkan
masyarakat adat dari aset ekonomi dan modal sosialnya. Hutan, tanah adat,
rawa, ladang, dan kebun yang dulu dikelola secara komunal oleh masyarakat
adat kini diambil alih korporasi. Akibatnya, pertemuan adat reguler terkait
pengelolaan sumber daya alam hilang dari kehidupan masyarakat adat. Tak ada
lagi ruang dialog dan komunikasi antarwarga, tak ada ruang untuk warga bisa
membicarakan masalah mereka. Relasi antarwarga terganggu.
Ekspansi industri
perkebunan sawit membawa budaya baru yang mengubah masyarakat menjadi
individualis dan berorientasi pada materi. Tradisi kerja sama, gotong royong,
dan partisipasi yang dulu sangat kental kini meluntur. Kelembagaan, aturan,
dan nilai-nilai adat ditinggalkan. Kerusakan ekonomi, sosial, dan budaya
diperburuk oleh kerusakan ekologis. Banjir, kekeringan, tercemarnya sungai,
debu, dan asap menjadi bagian dari kehidupan masyarakat adat.
Negara hadir
Perkara kedua dari
pesan masyarakat adat Desa Liku kepada Presiden Jokowi adalah permintaan agar
negara hadir. Permintaan ini tidak berlebihan mengingat bahwa selama ini yang
lebih banyak hadir dalam kehidupan mereka adalah aparat negara yang bekerja
melindungi kepentingan korporasi serta menangkap dan memenjarakan warga yang
terlibat dalam konflik agraria. Ini terjadi karena dalam sistem pengelolaan
sumber daya alam yang berlangsung selama ini, hak masyarakat adat tidak
mendapatkan tempat.
Bagi pemerintahan
Jokowi yang punya target menurunkan indeks Gini, membuat negara hadir dengan
mengembalikan peran masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam adalah
keniscayaan. Jika tidak, kebijakan pemerintahan Jokowi tidak akan berbeda
dengan pemerintahan sebelumnya.
Mempertimbangkan
kondisi kerusakan akut yang dialami masyarakat adat, penting ada langkah
afirmatif yang dibuat pemerintahan Jokowi dalam mewujudkan pengakuan dan
perlindungan hak-hak masyarakat adat. Setidaknya ada tiga tindakan struktural
yang bisa dilakukan Jokowi secara paralel. Pertama, langkah pemulihan hak
masyarakat adat yang telah dihilangkan melalui penyelesaian konflik agraria
yang bertahun-tahun dibiarkan.
Kedua, mengoreksi
kebijakan di bidang pengelolaan sumber daya alam yang berpotensi memisahkan
masyarakat adat dari aset ekonomi dan modal sosial mereka. Di sektor
perkebunan sawit, misalnya, Undang-Undang Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014
masih berpotensi mengkriminalkan dan menghilangkan hak masyarakat adat.
Demikian pula dengan Keputusan Menteri Pertanian tentang Revitalisasi
Perkebunan, yang menyodorkan skema kemitraan dengan sistem yang membuat
masyarakat adat menyubsidi perusahaan sawit.
Studi yang dilakukan
Institute Ecosoc (2014) menemukan, pola kemitraan yang dijalankan perusahaan
adalah skema 80:20. Artinya, dari total luas lahan yang diserahkan masyarakat
untuk mendapatkan kebun plasma, 80 persen untuk perusahaan (inti) dan 20
persen untuk masyarakat (plasma). Untuk mendapatkan kebun plasma seluas 2
hektar, warga harus menyerahkan lahan minimal 10 hektar. Ironisnya, plasma
dikelola perusahaan tanpa transparansi. Dalam banyak kasus, skema kemitraan
dalam bentuk plasma menjadi modus baru perampasan lahan oleh korporasi.
Ketiga, merealisasikan
pengembalian hak-hak masyarakat adat melalui kebijakan, kelembagaan, dan sumber
daya yang mudah diakses oleh masyarakat adat serta menjamin keberlangsungan
pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat melalui undang-undang.
Akhir kata, Jokowi
dipilih dan didukung masyarakat adat karena agenda membangun dari pinggiran
yang menempatkan rakyat marjinal sebagai subyek utama pembangunan. Dengan
membangun dari pinggiran, pemerintahan Jokowi memilih jalan terjal yang tak
mungkin ditempuhnya sendirian. Kerja bersama rakyat adalah keniscayaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar