Mengawal Revisi UU Migas
M
Kholid Syeirazi ;
Sekjen PP ISNU;
Penulis
Buku di Bawah Bendera Asing: Liberalisasi Industri Migas di Indonesia
|
KORAN SINDO, 07 Juli 2015
Tim Reformasi Tata Kelola Migas
(TRTKM), yang dipimpin ekonom Faisal Basri, telah mengakhiri tugasnya pada
pertengahan Mei 2015. TRTKM merilis 12 rekomendasi final, mencakup reformasi
tata kelola hulu dan tata niaga hilir.
Namun, sayangnya, TRTKM sama sekali
tidak menyinggung dan merekomendasikan revisi UU Migas. Padahal, kerunyaman
industri migas nasional banyak berhulu dari UU Migas yang sudah cacat lahir
batin. Lahirnya cacat karena sudah diamputasi oleh Mahkamah Konstitusi (MK),
batinnya keropos karena membelakangi roh konstitusi. Praktek perburuan rente
terjadi di setiap rantai bisnis migas, dari hulu hingga hilir.
Kondisi ini terpelihara dan
semakin parah sejak pemberlakuan UU Migas. Karena itu,
mengarahkantembakanhanyakepada Petral tidak hanya dirasakan tidak adil,
tetapi patut dicurigai adanya motif terselubung. TRTKM hanya menyoal akibat,
tetapi mengabaikan sebab. Mengapa mafia impor merajalela? Karena lifting
minyak anjlok dan kilang uzur. Lifting anjlok karena produksi mengandalkan
sumur-sumur tua. Ini terjadi karena nihil temuan sumur minyak baru akibat
minimnya eksplorasi.
Eksplorasi merosot karena
sistemnya ruwet, birokratis, danrezimfiskalnya buruk. Sistem yang buruk ini
dikembangkan UU Migas No 22/2001, yang didraf oleh USAID dan disahkan ketika
Presiden Megawati berkuasa. Menyerang dan membubarkan Petral tanpa
menyinggung alternatif UU Migas yang lebih konstitusional dan nasionalis
dapat dianggap sekadar menciptakan prakondisi untuk menghambat pemulihan hak
Pertamina sebagai alat negara mewujudkan kedaulatan dan ketahanan energi
nasional.
Lima
Agenda
Revisi UU No 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi mutlak dilakukan karena dua hal. Pertama, secara politis,
revisi UU Migas merupakan amanat Pansus BBM DPR pada 2008. Pansus menyimpulkan
UU Migas berandil besar dalam menciptakan karut-marut tata niaga migas yang
merugikan rakyat, karena itu harus direvisi.
Kedua, pasal-pasal yang menjadi
jantung UU Migas sudah dinyatakan inkonstitusional oleh dua kali proses uji
materi MK, yaitu pada 2004 dan 2012. Tidak kurang dari 22 Pasal UU Migas
telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Artinya,
industri migas nasional yang strategis itu tidak mempunyai pijakan hukum yang
kuat.
Setelah menunggu cukup lama,
revisi UU Migas sudah masuk dalam agenda Prolegnas. Belajar dari UU No
22/2001, pembentukan UU Migas yang baru harus lebih responsif, aspiratif,
konstitusional, dan nasionalis. Beberapa hal perlu diperhatikan para
pembentuk UU agar tidak mengulang kesalahan yang sama.
Pertama, format kelembagaan
pengelola sektor migas nasional harus mampu menjamin tata kelola migas
nasional yang efektif, efisien, memihak kepentingan nasional, dan bersifat
khusus karena terkait dengan sektor strategis yang penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak. BP Migas diputus inkonstitusional oleh MK
karena gagal mewadahi prinsip-prinsip tersebut.
BP Migas dinilai tidak efektif
karena dia bukan entitas bisnis yang eligible
untuk menjalankan transaksi bisnis. Untuk menjual migas bagian negara, dia
harus menunjuk pihak ketiga yang berakibat tidak optimalnya penerimaan
negara. Inefektivitas model tata kelola semacam ini menciptakan rantai
inefisiensi.
Ketidakbolehan BP Migas (dan sekarang SKK
Migas) untuk menjual migas bagian negara menciptakan praktik perburuan rente
dan brokerage yang merugikan negara. Kasus penunjukan penjualan kondensat
oleh BP Migas kepada PT TPPI merupakan letupan kecil dari fenomena gunung es.
Sebagai entitas pemerintah
berbentuk BHMN, BP Migas tidak bisa menjadi operator yang terlibat dalam
operasi produksi, karena itu tidak mempunyai benchmark untuk menilai
kewajaran cost recovery. Aset-aset
kontraktor yang habis masa kontrak juga tidak bisa langsung dikelola dan
dimanfaatkan BP Migas dan SKK Migas. Format government to business (G2B), selain tidak kompatibel dengan
prinsip kedaulatan, juga mengakibatkan rantai tata kelola migas lebih rumit
dan birokratis.
Tidak kurang dari 341 perizinan
harus dilalui untuk melakukan investasi hulu migas. Birokratisasi investasi
ini membuat iklim investasi hulu migas anjlok. Dampaknya, eksplorasi migas
merosot, lifiting turun, cost recovery naik karena produksi
mengandalkan sumur-sumur tua. Secara nominal, investasi hulu migas memang
naik, tetapi sebagian besar untuk produksi dan pengembangan, bukan
eksplorasi.
Memburuknya iklim investasi hulu
migas ini masih diperburuk dengan perombakan rezim fiskal akibat pencabutan
asas lex specialis. Dengan UU No 8/1971, sektor migas diperlakukan khusus,
termasuk dalam ketentuan perpajakan. Melalui UU No 22/2001, asas lex specialis dicabut. Akibatnya,
Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia yang memungut pajak
praproduksi yang membelakangi prinsip kontrak PSC yang diciptakan sendiri.
Belajar dari kelemahan UU No.
22/2001, kelembagaan pengelola industri migas nasional ke depan harus BUMN
yang berfungsi sebagai pelaksana kuasa pertambangan pemerintah yang
menyelenggarakan kegiatan pertambangan migas. Sumber daya migas yang
tersimpan di perut bumi milik rakyat, dikuasai negara melalui BUMN yang
mengelola, mengurus, mengusahakan, dan memanfaatkannya untuk sebesarbesarnya
kemakmuran rakyat. BUMN bisa bekerja sama dengan swasta dalam bentuk kontrak
bagi hasil (PSC).
Kontraktor PSC adalah kontraktor
pemberi jasa yang menerima bagian dari produksi sebagai imbalan atas jasanya.
Kontraktor tidak mempunyai mineral right dan mining right, karena itu tidak
bisa menguasai, memiliki, dan seterusnya memonetisasi cadangan dan sumber
daya migas yang terkandung di perut bumi. Kontraktor berkontrak dengan BUMN
secara B2B. Negara cq. pemerintah berdiri di atas kontrak dan bukan subjek
perdata jika terjadi dengan dispute dan arbitrase.
Kedua, pelaku utama dari pengusahaan
pertambangan migas nasional harus diperjelas. Jika kerangka kelembagaan tata
kelola migas dikembalikan ke dalam format B2B, BUMN yang menjadi wakil negara
haruslah BUMN yang sudah matang, berpengalaman, punya cukup modal, SDM, dan
teknologi untuk mengurus, mengelola, dan menyelenggarakan kegiatan
pertambangan migas.
Tidak lain BUMN tersebut adalah
Pertamina. Diusulkan Pertamina dirombak menjadi holding, yang ditopang oleh
anak-anak perusahaan yang bergerak di sektor hulu dan hilir migas. PGN yang
kini menjadi perseroan terbuka yang telah listing di Bursa Efek,
dibelisahamnya olehPertamina, sehingga Pertamina betul-betul menjadi pemain
utama dalam bisnis minyak dan gas, dari hulu hingga hilir. Monopoli secara
alamiah akan kembali terjadi dengan pola integrasi vertikal (vertically integrated).
Belajar dari kesalahan lama, peran
dominan Pertamina ini harus diikuti dengan pengawasan yang ketat oleh
berbagai stakeholders (DKPP/Trustee Board). Tujuannya agar
Pertamina tidak menjadi sapi perah oleh pihak lain atau menjadi kerajaan bagi
pengurusnya sendiri. Menjadikan Pertamina sebagai perusahaan terbuka, tetapi
tidak listing (non-listing public
company) menjadi salah satu opsi yang patut dipertimbangkan.
Ketiga, UU No 22/2001 tidak
menampung konsep konservasi dalam pengertian memelihara, melestarikan, dan
menjaga sumber daya dan cadangan migas, sehingga keberadaannya dapat
dipertahankan selama mungkin. Konservasi mengandaikan kegiatan pencarian
terus-menerus sehingga idealnya, jumlah cadangan yang dibentuk selalu lebih
besar daripada cadangan yang dipakai.
Mencari dan kemudian mengonversi
dari sumber daya ke cadangan perlu dana besar. Karena itu, perlu anggaran
khusus yang disebut dengan petroleum fund. Dana ini adalah kas yang disiapkan
pemerintah untuk memfasilitasi kegiatan eksplorasi migas. Petroleum fund
selama ini tidak ada karena penerimaan negara, baik yang bersumber dari
penjualan migas bagian negara maupun dividen yang disetorkan Pertamina,
langsung masuk ke APBN dan dibagi habis untuk mengisi pos-pos pembangunan.
Karena itu, perlu diatur
penyediaan petroleum fund, yang
diambil dan disisihkan dari keuntungan Pertamina sebelum disetorkan ke
negara. Keempat, UU Migas yang baru harus mengatur soal cadangan minyak
strategis (strategic petroleum reserves)
untuk menopang ketahanan energi nasional.
Selama ini Indonesia tidak
mempunyai SPR, yang ada adalah cadangan minyak operasional Pertamina selama
18 hari. Yang tersedia hanya tangki-tangki penampungan minyak mentah
sementara, sebelum diolah di kilang domestik atau menunggu diangkut pembeli
dari luar negeri. Mengacu kepada negara-negara lain, Indonesia setidaknya
harus mempunyai SPR dengan kapasitas setara dengan 90 hari impor neto minyak
mentah.
Tugas untuk penyediaan SPR di
tangan pemerintah, bukan Pertamina. Kelima, UU Migas yang baru harus mengatur
mekanisme sharing pendapatan kepada
daerah penghasil selain bentuk participating
interest (PI) yang faktanya telah banyak diselewengkan. Ketidakmampuan
daerah dalam mengadakan pembiayaan memunculkan fenomena Ali-Baba, yakni
swasta berkedok BUMD.
Benderanya BUMD, tetapi kendalinya
swasta pemasok modal. Fenomena ini harus dihempang, misalnya, dengan
mengonversi langsung PI menjadi royalti ke daerah, yang langsung disetor ke
kas daerah. Lima hal ini, setidaknya, harus menjadi bagian dari semangat
revisi UU Migas agar lahir UU Migas baru yang lebih baik dalam segala hal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar