Melumpuhkan Ideologi Terorisme
Biyanto
; Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya;
Ketua
Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jawa Timur
|
JAWA POS, 30 Juni 2015
SAAT hadir dalam
kajian Ramadan Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Jawa Timur di Dome Universitas
Muhammadiyah Malang (27 Juni 2015), Kapolri Jenderal Badrodin Haiti
mengingatkan akan bahaya laten terorisme. Pemerintah pun kini sedang merevisi
Undang-Undang ( UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme (Antiterorisme). Revisi UU Antiterorisme diharapkan dapat
meminimalkan tindak pidana terorisme. Sanksi berat telah dirancang, termasuk
pencabutan status sebagai warga negara Indonesia (WNI).
Dalam
kesempatan yang sama, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin
mengingatkan, jika pemerintah ingin membasmi terorisme, yang harus dilakukan
ialah memahami ideologinya. Harus disadari, setiap gerakan pasti memiliki
ideologi yang menjadi dasar perjuangan. Sebagai manifestasi gerakan sosial
keagamaan radikal, terorisme memiliki ideologi yang terus diperjuangkan.
Karena itu, perhatian terhadap ideologi terorisme merupakan keniscayaan.
Perhatian terhadap ideologi itu penting karena terorisme terus menunjukkan perkembangan dengan merekrut anak-anak muda. Termasuk mereka yang sedang menempuh kuliah di perguruan tinggi. Bahkan, anak-anak SMA juga menjadi sasaran melalui kegiatan kerohanian Islam (rohis). Melawan ideologi terorisme harus dimulai dengan memahami faktor yang menjadi penyebab kemunculannya. Di samping itu, juga penting memahami karakter gerakan terorisme. Kemunculan terorisme setidaknya dapat dijelaskan dengan tiga teori.
Pertama,
teori struktural yang mengaitkan terorisme dengan sebabsebab eksternal
seperti politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Kedua, teori psikologi yang
menje laskan motivasi seseorang sehingga terpesona dengan gerakan terorisme.
Bahkan, dengan motivasi tinggi, secara sukarela mereka menyiapkan diri
sebagai ”pengantin” untuk melakukan bom bunuh diri. Ketiga, teori pilihan
rasional yang menjelaskan adanya kalkulasi untung rugi yang menjadi
pertimbangan pelaku terorisme.
Penjelasan
teori struktural mengaitkan latar belakang terorisme dengan dua faktor
penting. Pertama, faktor prakondisi, berupa penyebab tidak langsung
terorisme. Faktor tersebut berupa akumulasi kekecewaan kelompok radikalis,
terutama yang berkaitan dengan kegagalan elite dalam merealisasikan cita-cita
politik Islam. Ini dapat dipahami karena gerakan keagamaan bercorak radikal
selalu memiliki agenda politik seperti mendirikan negara Islam dan
formalisasi syariah.
Kedua,
faktor pemercepat ( triggering factor), yaitu pemicu langsung gerakan
terorisme. Termasuk dalam faktor pemicu adalah ketidakadilan sosial ekonomi,
tiadanya penegakan hukum ( law enforcement), tersumbatnya partisipasi politik
sehingga masyarakat mengalami tunakuasa ( powerless), dan tersedianya
persenjataan.
Sementara
itu, teori psikologi menjelaskan aspek kejiwaan pelaku terorisme, mulai
proses rekrutmen, pengenalan, kepribadian, penanaman ideologi, hingga motivasi
anggotanya. Melalui penjelasan psikologi dapat diketahui latar belakang
sosial pelaku terorisme. Misalnya, ditemukan fakta bahwa pelaku terorisme
adalah mereka yang mengalami keterasingan sosial (alienasi).
Sedangkan
teori pilihan rasional menjelaskan bahwa terorisme dilakukan dengan
pertimbangan untung dan rugi. Melalui teori ini diperoleh penjelasan mengenai
faktor cost and benefit yang
menjadi pertimbangan pelaku.
Fakta itu
menunjukkan adanya alasan ekonomi di balik keberanian mereka bergabung dengan
gerakan radikalisme. Ada juga individu yang tergoda masuk jaringan terorisme
dengan pertimbangan keagamaan, misalnya ingin mati syahid.
Mengenai
karakter ideologi radikalisme, Hrair Dekmejian (1980) menjelaskan bahwa
gerakan tersebut memiliki tiga sifat: merata (pervasiveness), memiliki banyak pusat (polycentrism), dan berjuang terus-menerus (persistence). Karakter pervasiveness
berarti gerakan radikalisme terjadi merata di hampir seluruh dunia. Karena
itu, tidak berlebihan jika dikatakan, jaringan terorisme bersifat
transnasional.
Karakter
kedua, polycentrism, ditunjukkan
melalui banyaknya organisasi sosial keagamaan yang bercorak radikal. Setiap
organisasi memiliki pemimpin, program, strategi, dan taktik. Uniknya, setiap
organisasi radikal tidak saling berhubungan. Meski begitu,
organisasi-organisasi radikal umumnya memiliki kesamaan agenda. Salah satunya
adalah mewujudkan negara Islam sebagaimana ditunjukkan kelompok Islamic State of Iraq and Syria
(ISIS).
Karakter
ketiga, persistence, berarti gerakan
radikal berjuang terus-menerus, pantang menyerah, dan berani mengambil risiko
apa pun asal tujuannya tercapai. Dengan karakter yang ”ngeyel” itulah,
tokoh-tokoh terorisme terus melakukan kaderisasi.
Berkaitan
dengan keinginan untuk melumpuhkan ideologi terorisme, yang harus dilakukan
ialah tidak memberikan kesempatan terhadap munculnya tindakan radikal.
Keinginan itu akan tercapai jika faktor-faktor yang menjadi pemicu terorisme
berhasil diminimalkan. Termasuk persoalan ketidakadilan sosial, ekonomi,
hukum, dan politik serta kepentingan elite.
Pilar-pilar civil society juga harus mengambil
peran untuk memerangi ideologi terorisme. Misalnya, lembaga pendidikan harus
menanamkan sikap pada anak-anak untuk berdamai dengan keragaman. Demikian
juga mubalig, harus mendakwahkan agama dengan semangat cinta. Ini penting
agar umat tidak mudah terpesona dengan gerakan-gerakan radikal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar