Dana Aspirasi yang Wanprestasi
Wasisto
Raharjo Jati ;
Peneliti di Pusat Penelitian
Politik LIPI
|
KORAN SINDO, 07 Juli 2015
Polemik mengenai pemberian dana
aspirasi sebesar Rp15-20 miliar bagi setiap anggota DPR melalui Usulan
Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) adalah praktik politik uang yang
selama ini berulang. Meskipun perilaku sudah sering kali diingatkan oleh berbagai
media, ormas, maupun juga pemerintah sekalipun. DPR selalu saja bergeming dan
mengulang modus sama dengan mengatasnamakan kepentingan ”rakyat”.
Pemberian dana aspirasi sendiri
selalu memakan alokasi dana besar. Hal tersebut mengingat terkurasnya dana
negara yang diperkirakan menelan hampir Rp11 triliun. Besaran dana yang
dikeluarkan negara tersebut tentu perlu dilihat kinerja legislator dalam
penyaluran dana di lapangan mengingat sangat rawan terjadi adanya
penyelewengan alokasi dana. Dikarenakan selama ini belum ada evaluasi
berbasis prestasi untuk melihat efisiensi dan efektivitas dana aspirasi
tersebut sebagai pemecah masalah publik. Maka, penyelewengan tersebut bisa
berupa realisasi bantuan yang tidak seimbang, program fiktif, maupun
pengaliran dana ke tubuh partai.
Besarnya dana yang dikeluarkan
tentu berkelindan dengan besarnya pembiayaan pelayanan konstituen (constituency services). Pelayanan
konstituensi ini memang menjadi ajang wajib bagi legislator untuk membalas
budi kepada konstituen atas suara yang diberikan.
Sebenarnya pelayanan konstituen
tersebut merupakan bentuk tanggung jawab politisi terhadap konstituen
terhadap suara yang telah diberikan. Namun dalam konteks politik Indonesia,
wujud pelayanan konstituen tersebut dilangsungkan secara minimalis,
insidental, dan formalitas. Bahkan sering kali tidak tepat pada sasarannya
terhadap kebutuhan sebenarnya yang diinginkan oleh publik. Sementara di lain
pihak, konstituen juga bergantung pada legislatornya terhadap proses
pembangunan di daerah dikarenakan janji kampanye yang pernah terucap.
Hal itulah yang menyiratkan bahwa
dana aspirasi tersebut tidak lebih sebagai bagian proses patrimonialisme dan
klientelisme (Sukmajati & Aspinall, 2015). Dengan demikian, dana aspirasi
itu tidak lebih dari sekedar perekat hubungan keduanya dengan mengatasnamakan
”pembangunan”. Adanya sikap pragmatis publik tersebut kemudian diperlihatkan
dalam bentuk ”ora uwek, ora obos”, ”wani piro”, dan lain sebagainya yang
mengekspresikan adanya pertukaran uang dengan suara.
Sebenarnya yang terjadi dalam
memaknai dana aspirasi tersebut bukan selalu memberikan stigma negatif kepada
politisi. Publik perlu menyadari pula bahwa ketergantungan itu kemudian
dimunculkan melalui berbagai macam gelontoran dana aspirasi itu dengan
menyodorkan berbagai macam proposal siluman. Perspektif patrimonialisme dalam
melihat dana aspirasi itu lebih melihat bahwa dana itu bentuk penjagaan
loyalitas dan komitmen politisi dengan konstituen, meskipun ada tidaknya
politik uang yang terdapat dalam dana aspirasi tersebut dapat mengikat
publik. Setidaknya penggelontoran dana aspirasi bisa mencitrakan diri sebagai
figur populis.
Meraih popularitas dan publikasi
memang merupakan eksternalitas dari dana aspirasi tersebut. Namun, yang
terpenting kemudian adalah memaknainya sebagai arena transaksional. Dana
Aspirasi sejatinya adalah politisasi anggaran yang sejatinya digunakan untuk
asistensi warga yang sifatnya opsional. Namun, acap para politisi ingin
tampil sebagai terdepan untuk menjadi figur populis. Hasilnya kemudian sering
kali terjadi perdebatan sengit antara pembiayaan kebijakan atau pembiayaan
dana aspirasi. Dalam tubuh DPR sendiri, pemberian dana aspirasi juga bisa
diartikan pemenuhan kebutuhan dana partai terutama dalam operasional maupun biaya
politik lainnya. Sementara di lain pihak, pemberian dana aspirasi yang
diberikan untuk setiap legislator merupakan cara untuk saling memperkuat
faksi di partai.
Masyarakat sekarang ini pada
umumnya sangat pragmatis dan transaksional dalam melihat proses politik.
Mereka melihat bahwa suara mereka adalah komoditas berharga yang dijual
kepada kandidat dengan imbalannya agar si calon ketika terpilih mau menjadi
donor bagi daerah mereka. Pola itu terjadi manakala banyaknya proposal
bantuan kemudian di alamatkan kepada legislator untuk dibiayai programnya. Sering
kali legislator kemudian kewalahan dalam menghadapi aspirasi warga itu
sehingga acap kali menambah dana besar.
Kecenderungan masyarakat yang
demikian membuat perilaku penggembosan anggaran (budgeting fraud) kerap terjadi baik di masa reses, masa menjelang
tutup tahun anggaran, maupun masa penyusunan anggaran. Kondisi tersebut yang
acap kali disebut sebagai political
budget cycle yakni adanya perilaku permainan anggaran yang dilakukan oleh
politisi guna mendapatkan dana lebih besar kepada konstituennya.
Masyarakat sadar bahwa dengan
aliran dana aspirasi yang masuk tentu akan melancarkan proses pembangunan di
desa. Namun yang menjadi masalah kemudian, proses pembangunan di desa sendiri
lebih bersifat seremonial seperti halnya pembangunan gapura desa, pengerasan
aspal, maupun tambal sulam gedung rusak. Selebihnya dana sisa aspirasi
tersebut raib entah ke mana. Maka bisa dikatakan adanya dana aspirasi
tersebut justru menciptakan bangunan korupsi bertingkat hingga tingkat
pemerintahan desa. Hal itulah yang menyebabkan dana aspirasi sendiri
sebenarnya minus prestasi di mata publik.
Selama ini, proses penganggaran di
DPR, apalagi menyangkut redistribusi anggaran publik selalu terkesan
tertutup. Hal tersebut belum ditambah mengenai proses pertanggungjawaban
aliran dana tersebut yang tidak dipublikasikan secara komprehensif. Oleh
karena itulah, perlu dipertimbangkan kembali mengenai dana aspirasi tersebut
mengingat dananya besar, alokasi program tidak, dan apalagi minus prestasi
justru akan membuat dana aspirasi tersebut kian kabur pemaknaannya sebagai
pemecah masalah publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar