Sabtu, 06 Juni 2015

Ulah Brutal Geng Motor

Ulah Brutal Geng Motor

Bagong Suyanto  ;   Dosen Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga
JAWA POS, 05 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
ULAH brutal geng motor kembali memicu keresahan dan kekhawatiran warga. Di Surabaya, sekitar pukul 04.00, sekelompok anak muda yang biasa melakukan balap liar dilaporkan main hakim sendiri: memukuli cyclist yang hendak gowes tanpa sebab dan menganiaya seorang pengendara mobil yang menyerempet seorang anggota geng motor yang hendak balapan hingga tewas ( Jawa Pos, 3 Juni 2015).

Awalnya versi polisi, pengendara mobil tersebut tewas karena mengalami kecelakaan tunggal dan tewas di TKP. Tetapi, sejumlah saksi melaporkan bahwa korban tewas setelah dianiaya puluhan anggota geng motor. Korban yang mengalami kecelakaan karena menabrak pohon lantaran dikejar anggota geng motor, jangankan ditolong, dalam kondisi tengah sekarat justru dirusak mobilnya. Harta bendanya dijarah dan korban diseret ke luar mobil, lantas dipukuli hingga tewas di tempat.

Kekerasan Geng

Di Indonesia, aksi anarkistis sejumlah geng motor sebetulnya bukan hal baru. Dalam berbagai kasus, perilaku negatif yang sering identik dengan karakteristik geng (gangs) adalah tindak kekerasan serta penyalahgunaan dan penyelundupan obat-obatan.

Menurut James F. Short Jr. (1996), setidaknya ada tiga bentuk kekerasan yang biasa dilakukan dan dikembangkan geng. Pertama, kekerasan dalam konflik yang terjadi di antara geng jalanan. Biasanya dipicu perebutan atau persaingan daerah kekuasaan atau untuk mencari peningkatan status dalam aksi mereka.

Kedua, kekerasan anggota geng dalam rangka mencari dan mengembangkan identitas kelompok. Ketiga, kekerasan sebagai konsekuensi pembinaan kekompakan kelompok. Bahkan, di sejumlah geng motor, ketahanan menghadapi kekerasan merupakan sumber status individu maupun reputasi kelompok.

Di berbagai kota besar yang sedang mengalami industrialisasi dan perubahan yang dahsyat, berbagai geng sering muncul sebagai respons meluasnya tekanan kemiskinan serta industrialisasi yang sering berjalan beriringan. Di samping itu, perubahan gaya hidup dan perilaku imitatif yang dikembangkan remaja dan anak muda melatarbelakangi kemungkinan munculnya genggeng motor yang belakangan ini kembali menjamur.

Film-film tentang kehidupan geng yang ditayangkan televisi maupun film di berbagai gedung bioskop seperti The Warrior dan Mad Max adalah produk budaya populer yang menjadi ilham munculnya genggeng motor di berbagai kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya.

Anak muda yang tergabung dalam geng motor biasanya akrab dengan kekerasan dan menjadikan kekerasan sebagai instrumen untuk membangun identitas mereka. Sebab, dalam dunia geng, kekerasan adalah sebuah simbol kejantanan dan penghormatan.

Artinya, jika seorang anggota geng motor ingin memperlihatkan kedirian serta identitas mereka, yang mereka lakukan adalah berkompetisi dengan sesama untuk memperlihatkan sejauh mana kemacho-an serta keberanian mereka dari anggota geng yang lain.

Perilaku anggota geng motor yang cenderung kriminal, memukuli lawan beramai-ramai atau melawan aparat penegak hukum, bukan sekadar ekspresi solidaritas dan kohesi sosial mereka dengan sesama. Tetapi, di sana juga menjadi kesempatan bagi anak muda anggota geng motor untuk memperlihatkan ’’nilai lebih’’ mereka di hadapan anggota yang lain.
Upaya Penanganan

Selama ini, penegak hukum telah melakukan berbagai upaya untuk menangani ulah brutal geng motor di berbagai kota. Tidak sedikit anggota dan pemimpin geng motor yang ditangkap dan dipenjarakan.
Di atas kertas, sekelompok anak muda yang merasa diperlakukan tidak adil dan sehari-hari termarginalkan sangat mungkin bertindak agresif dan bertindak kekerasan lebih besar. Sekadar menyalahkan ulah anarkistis anggota geng motor sebagai tindakan yang menyimpang atau melanggar hukum, kemudian memenjarakan mereka, mungkin untuk sementara bisa meredam meluasnya aksi brutal geng motor.

Tetapi, dengan memahami bahwa subkultur geng motor yang brutal itu sebetulnya tumbuh karena kondisi lingkungan yang tidak kondusif dan cara berpikir mereka yang terkontaminasi pengaruh buruk peergroup, sebetulnya akan dapat dilahirkan upaya penanganan yang lebih berdampak jangka panjang. Di luar upaya penanganan hukum yang tegas, mengurangi meluasnya pengaruh buruk geng motor sesungguhnya bisa dilakukan dengan memanfaatkan pendekatan yang berbasis subkultur anak muda.

Menyalurkan sifat agresif geng motor melalui forum perkelahian yang lebih terjaga, menyediakan ruang balapan yang terawasi, mengadakan lomba musik indie, dan menyediakan berbagai wadah untuk menampung hasrat anggota geng motor niscaya menjadi cara alternatif yang efektif daripada sekadar memperlakukan persoalan ini sebagai kasus pelanggaran hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar