Transmisi
Radikalisme Agama
Dirga Maulana ; Peneliti Junior Pusat Pengkajian Islam dan
Masyarakat
(PPIM) UIN Jakarta
|
KORAN TEMPO, 01 Juni 2015
Kasus radikalisme
agama terus menjadi dilema umat manusia, tidak terkecuali di Indonesia. Di Indonesia,
diseminasi paham radikalisme agama tak hanya ada di institusi pendidikan,
tapi juga telah tersemai di media sosial dan Internet. Kedua tempat tersebut
menjadi ruang terbuka munculnya paham radikalisme agama. Kita bisa menelisik
riset-riset sebelumnya bahwa, pertama, radikalisme muncul akibat pemahaman
guru terhadap agama sangat eksklusif (PPIM; 2008); kedua, keberadaan rohis di
sekolah-sekolah pemicu pemahaman keagamaan yang rigid dan intoleran (Ciciek;
2008); dan ketiga, anak muda kerap harmonis dengan paham radikalisme (Maarif
Institute; 2011); kemudian kemunculan buku-buku ajar berkonten radikal
(Tempo; 2015); dan menyeruaknya situs-situs Islam radikal di Internet.
Artinya, gejala
radikalisme agama tidak bisa dinafikan keberadaannya akibat pemahaman
keagamaan yang literal terhadap teks-teks suci keagamaan. Kemudian kasus
media sosial atau Internet yang kerap melansir konten-konten radikal untuk
menjelekkan pemerintah dan mengkafirkan orang lain yang tidak sepemahaman
kini menjadi perhatian serius pemerintah untuk menangkalnya. Sebab, kita bisa
mengatakan bahwa Internet merupakan "new public sphere" bagi
transmisi radikalisme agama. Pasalnya, kemajuan teknologi ini memudahkan kita
untuk berselancar di dunia virtual guna mendapatkan informasi dengan cepat.
Eric Schmidt dan Jared
Cohen dalam bukunya, The New Digital Age (2013), menggambarkan masa depan
gerakan terorisme dengan menggunakan teknologi informasi sebagai sebuah
serangan teror. Internet membekali para ekstremis dengan informasi dan memberikan
informasi untuk gerakan ideologis mereka. Mereka bisa masuk ke mana saja
dengan menggunakan YouTube, Facebook, Twitter, dan lain-lain untuk mengajak
anak-anak muda melakukan tindak kekerasan dengan dalih agama. Contoh teranyar
gerakan ISIS yang melansir video-video mereka ke YouTube.
Dilansir oleh Tech in
Asia, jumlah pengguna Internet di Indonesia pada 2015 sekitar 72,7 juta orang
dan 30 juta pengguna aktif adalah anak muda. Jika pengguna aktif Internet ini
mengkonsumsi konten-konten radikal bernuansa agama, tentu bisa kita bayangkan
betapa akan mereduksi nilai-nilai toleransi dan multikulturalisme. Kecemasan
ini perlu diantisipasi dengan serius oleh pemerintah. Bagaimana paham-paham
radikalisme semakin mengganggu sikap toleransi dan rasa multikulturalisme
yang telah dibangun oleh bangsa kita sejak dulu. Pemerintah harus memiliki
definisi yang jelas soal radikalisme.
Misalnya, situs web
media radikal-dalam konsep Badan Nasional Penanggulangan Terorisme-adalah
ingin melakukan perubahan dengan cepat menggunakan kekerasan dengan
mengatasnamakan agama; takfiri atau mengkafirkan orang lain; mendukung,
menyebarkan, dan mengajak bergabung dengan ISIS/IS; serta memaknai jihad
secara terbatas.
Definisi
web radikal seperti ini sudah pas untuk operasionalisasi. Pemerintah berhak
dan memiliki wewenang untuk mengoperasionalkan definisi ini sebagai cara
untuk memantau situs-situs tersebut. Pak Lukman Hakim Saifuddin dan Rudiantara
bisa berkolaborasi untuk menangkal transmisi radikalisme agama di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar