Surabaya
dan Keberagaman
Endang Suryadinata ; Peminat Sejarah
|
KORAN TEMPO, 01 Juni 2015
Selamat hari jadi
ke-722 untuk Surabaya pada 31 Mei 2015. Seperti diketahui, penetapan hari
jadi Kota Surabaya didasarkan pada keberhasilan Raden Wijaya dalam mengusir
tentara Mongol Tartar dari daerah Ujung Galuh pada 31 Mei 1293. Saat itu
Ujung Galuh belum bernama Surabaya.
Istilah Surabaya
sendiri ditemukan di prasasti Trowulan I berangka tahun 1358 yang menyebutkan
secara eksplisit dengan kata-kata Chura Bhaya. Bahkan Surabaya akhirnya juga
menggunakan lambang ikan sura dan buaya.
Surabaya sebagai kota
modern dimulai ketika Terusan Suez dibuka pada 1875. Pada 1890, modernitas
Surabaya ditandai dengan dibangunnya 20 kilometer jalur trem uap. Otomobil juga
mulai masuk. Memasuki abad ke-20, Surabaya telah berubah drastis menjadi
sebuah kota modern yang makmur, dipenuhi perkantoran kelas menengah,
hotel-hotel mewah, puluhan mal, dan perumahan-perumahan mewah dengan konsep
kota taman (garden suburbs). Bahkan
Gubernur Oost Java pada masa itu membanggakan Surabaya sebagai the most modern city in the Indies (Howard W. Dick, Surabaya, City of Work, A
Socioeconomic History, 2003).
Sebagai kota modern
terbesar kedua setelah Jakarta, Surabaya jelas bukan kota yang homogen. Jati
diri Surabaya adalah keanekaragaman penduduk dan budaya. Dalam sensus 1905
tercatat jumlah penduduknya 150 ribu jiwa. Sekitar 20 persen dari jumlah
penduduk adalah keturunan asing: 8.000 jiwa keturunan Eropa yang makmur,
sekitar 15 ribu jiwa dari kelompok etnis Tionghoa, dan 3.000 jiwa keturunan
Arab. Seperti di kota kolonial lainnya, mereka tinggal dalam lingkungan
hunian kelompok etnis masing-masing (ethnic quarter). Sedangkan 80 persen
adalah pribumi yang berasal dari berbagai daerah.
Keberagaman itulah
yang mendorong warganya toleran, kooperatif, egaliter, dan tidak
diskriminatif. Sikap warga yang demikian sering menyelamatkan Surabaya pada
saat genting. Peristiwa 10 November 1945, misalnya, ternyata bersifat
multietnis. Hampir seluruh suku bangsa terwakili dalam perjuangan warga
Surabaya melawan Sekutu. Lambang Tugu Pahlawan selalu mengandung makna
semangat heroik dalam bingkai keragaman kelompok etnis dan budaya.
Contoh lain lagi
adalah soal Gerakan Reformasi 1998 di Surabaya yang ikut andil melengserkan
Soeharto pada 21 Mei 1998, sifatnya juga multietnis dan lintas agama. Jangan
pernah lupa, spanduk yang berisi tuntutan agar Soeharto turun pertama kali
muncul justru di Surabaya. Bukan di Jakarta.
Memang Surabaya (juga
Indonesia) yang beragam harus kita jaga dengan komitmen dan pola pikir yang
menghargai perbedaan. Perbedaan harus dipahami sebagai rahmat yang indah,
sebagaimana indahnya beragam bunga di taman-taman kota yang menghijaukan
Surabaya.
Sikap
menghargai perbedaan dan keberagaman yang ditunjukkan warga Surabaya sangat
cocok dengan spirit multikulturalisme yang berkembang dalam beberapa dekade
terakhir. Seperti diketahui, multikulturalisme adalah sebuah paham yang
mengakui adanya perbedaan dalam kesetaraan, baik secara individual maupun
kelompok, dalam kerangka kebudayaan. Multikulturalisme pertama-tama memang
mengambil inspirasi dari Will Kymlicka (Liberalism,
Community, and Culture, 1989). Bingkai kebudayaan ditaruh pada kesadaran
tiap orang untuk merajut hidup yang baik di tengah fakta keberagaman yang tak
terbantahkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar