Jumat, 12 Juni 2015

Tempat Kelahiran Sukarno

Tempat Kelahiran Sukarno

Bandung Mawardi  ;  Pengelola Jagat Abjad Solo
SUARA MERDEKA, 09 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KITA tentu ingat pidato bersejarah pada sidang BPUPKI, 1 Juni 1945: suara Soekarno memberi sihir para pemikir nasib Indonesia. Di sela ucapan-ucapannya, orang-orang bertepuk tangan. Mereka terpukau dan mengekspresikan pujian. Situasi itu tercatat dalam penerbitan buku Lahirnja Pantjasila (1947), oleh Deppen. Pidato tanpa teks itu terbit menjadi buku berdasarkan stenograf.

Tujuh puluh tahun berlalu. Joko Widodo turut berpidato tentang Sukarno dan Pancasila. Pidato di Blitar, 1 Juni 2015, menghasilkan tepuk tangan tapi memicu keterkejutan publik. Jokowi menjelaskan bahwa Soekarno dilahirkan di Blitar.

Tempat kelahiran Sukarno tiba-tiba memusingkan pejabat dan publik. Apakah kesalahan Jokowi itu fatal? Kita tentu tak harus memberi jawaban. Para sejarawan berhak memberi penjelasan supaya kita makin mengenali Sukarno.

Kita awali dengan membuka buku Pieta: Senandung Indonesia Raya (2015) garapan Nurinwa Ki S Hendrowinoto. Di halaman 104, kita simak penjelasan Nurinwa: ”Setelah mempunyai seorang anak perempuan, Raden Soekeni dipindahkan ke Surabaya.

Dan di Surabaya inilah Bung Karno lahir di rumah Kampung Pandean IV/40 Surabaya.” Semula, orang tua Sukarno tinggal di Bali. Raden Soekeni adalah guru dan sejak menempuh studi dan bekerja sebagai guru, ia sering berpindah tempat. Penjelasan lanjutan ada di halaman 109.

Nurinwa menulis: ”Tumpeng Soekarno yang aku buat memperingati penemuan rumah lahir Bung Karno di Pandean IV/40 Surabaya bersama teman dan sejarawan dengan sambutan Guruh Soekarnoputra 6 Juni 2014 membayang muncul perlahan-lahan.” Penemuan itu juga disambut doa oleh kaum ibu. Mereka mengunjungi rumah bersejarah, berhenti sejenak untuk berdoa di depan rumah.

Barangkali informasi itu tak terlalu diketahui publik, pejabat, dan pengagum Soekarno. Nurinwa adalah pengisah Indonesia melalui penulisan buku-buku biografi para penggerak bangsa. Ia mendirikan Yayasan Biografi Indonesia (1985) dan berperan sebagai koordinator Akademi Kebangsaan (2012).

Kita terlalu lama berbekal buku Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat (1966) garapan Cindy Adams. Bab berjudul ”Modjokerto: Kesedihan Dimasa Muda” memunculkan informasi kebiasaan keluarga Sukarno berpindah tempat. Pengakuan Sukarno,’’ Ketika aku berumur 6 tahun kami pindah ke Modjokerto. Kami tinggal di daerah jang melarat dan keadaan tetangga-tetangga kami tidak berbeda dengan keadaan sekitar itu sendiri, akan tetapi mereka selalu mempunjai sisa uang sedikit untuk membeli pepaja atau djadjan lainnja.”

Surabaya

Di mana Sukarno dilahirkan? Sukarno cenderung menjelaskan peristiwa kelahiran berkait waktu. Keterangan agak mengarah ke tempat terdapat dalam bab berjudul ”Putera Sang Fadjar”. Sukarno menerangkan,’’ Masih ada pertanda lain ketika aku dilahirkan.

Gunung Kelud, jang tidak djauh letaknja dari tempat kami, meletus.” Sukarno memberi penjelasan singkat bahwa rumah untuk kelahiran itu ada di Surabaya. Selama puluhan tahun, kita jarang mengurusi tempat kelahiran Sukarno. Kita terlalu memikirkan tempat-tempat berkaitan studi, pekerjaan, pembuangan, dan kekuasaan.

Kita tak memiliki informasi rinci tentang tempat kelahiran dengan pelbagai dalih. Barangkali tempat kelahiran dianggap tak terlalu menentukan nasib orang. Apakah ketiadaan informasi itu akibat administrasi penduduk tahun 1901 belum tertib? Informasi sejarah Sukarno tak sekomplet Soeharto.

Buku Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto (1976) susunan OG Roeder mengesankan rincian: ”Ia dilahirkan di sebuah dusun kecil di tengah-tengah sawah, salah satu di antara ratusan kampung yang terdapat di Jawa Tengah.

Letaknya hanya beberapa kilometer sebelah barat kota Jogjakarta dan kira-kira 37 km dari candi Buddha Borobudur yang termasyhur itu. Kampung Kemusuk, Argomulyo, adalah bagian dari Desa Godean, dan hingga kini masih merupakan daerah yang sunyi sepi.”

Soeharto memang menginginkan penjelasan itu menopang ketokohan dan dramatisasi anak desa menjadi presiden. Informasi tambahan dan pelengkap dimuat dalam buku Profil Desa Perjuangan: Gemuruh Kemusuk (1991) susunan Djudjuk J, Lazuardi ASage, dan S Budhi Raharjo. Di halaman-halaman awal, pembaca bakal melihat foto Soeharto.

Barangkali Jokowi tanpa sadar menginginkan kita mempelajari lagi sejarah. Kita pun dianjurkan makin mengenali para tokoh dalam arus sejarah Indonesia. Buku-buku telah diterbitkan meski pelbagai informasi belum terkuak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar