Tempat
Kelahiran Sukarno
Bandung Mawardi ; Pengelola Jagat Abjad Solo
|
SUARA MERDEKA, 09 Juni 2015
KITA tentu ingat
pidato bersejarah pada sidang BPUPKI, 1 Juni 1945: suara Soekarno memberi
sihir para pemikir nasib Indonesia. Di sela ucapan-ucapannya, orang-orang
bertepuk tangan. Mereka terpukau dan mengekspresikan pujian. Situasi itu
tercatat dalam penerbitan buku Lahirnja Pantjasila (1947), oleh Deppen.
Pidato tanpa teks itu terbit menjadi buku berdasarkan stenograf.
Tujuh puluh tahun berlalu.
Joko Widodo turut berpidato tentang Sukarno dan Pancasila. Pidato di Blitar,
1 Juni 2015, menghasilkan tepuk tangan tapi memicu keterkejutan publik.
Jokowi menjelaskan bahwa Soekarno dilahirkan di Blitar.
Tempat kelahiran
Sukarno tiba-tiba memusingkan pejabat dan publik. Apakah kesalahan Jokowi itu
fatal? Kita tentu tak harus memberi jawaban. Para sejarawan berhak memberi
penjelasan supaya kita makin mengenali Sukarno.
Kita awali dengan
membuka buku Pieta: Senandung Indonesia Raya (2015) garapan Nurinwa Ki S
Hendrowinoto. Di halaman 104, kita simak penjelasan Nurinwa: ”Setelah
mempunyai seorang anak perempuan, Raden Soekeni dipindahkan ke Surabaya.
Dan di Surabaya inilah
Bung Karno lahir di rumah Kampung Pandean IV/40 Surabaya.” Semula, orang tua
Sukarno tinggal di Bali. Raden Soekeni adalah guru dan sejak menempuh studi
dan bekerja sebagai guru, ia sering berpindah tempat. Penjelasan lanjutan ada
di halaman 109.
Nurinwa menulis:
”Tumpeng Soekarno yang aku buat memperingati penemuan rumah lahir Bung Karno
di Pandean IV/40 Surabaya bersama teman dan sejarawan dengan sambutan Guruh
Soekarnoputra 6 Juni 2014 membayang muncul perlahan-lahan.” Penemuan itu juga
disambut doa oleh kaum ibu. Mereka mengunjungi rumah bersejarah, berhenti
sejenak untuk berdoa di depan rumah.
Barangkali informasi
itu tak terlalu diketahui publik, pejabat, dan pengagum Soekarno. Nurinwa
adalah pengisah Indonesia melalui penulisan buku-buku biografi para penggerak
bangsa. Ia mendirikan Yayasan Biografi Indonesia (1985) dan berperan sebagai
koordinator Akademi Kebangsaan (2012).
Kita terlalu lama
berbekal buku Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat (1966) garapan Cindy Adams.
Bab berjudul ”Modjokerto: Kesedihan Dimasa Muda” memunculkan informasi
kebiasaan keluarga Sukarno berpindah tempat. Pengakuan Sukarno,’’ Ketika aku
berumur 6 tahun kami pindah ke Modjokerto. Kami tinggal di daerah jang
melarat dan keadaan tetangga-tetangga kami tidak berbeda dengan keadaan
sekitar itu sendiri, akan tetapi mereka selalu mempunjai sisa uang sedikit untuk
membeli pepaja atau djadjan lainnja.”
Surabaya
Di mana Sukarno
dilahirkan? Sukarno cenderung menjelaskan peristiwa kelahiran berkait waktu.
Keterangan agak mengarah ke tempat terdapat dalam bab berjudul ”Putera Sang
Fadjar”. Sukarno menerangkan,’’ Masih ada pertanda lain ketika aku
dilahirkan.
Gunung Kelud, jang
tidak djauh letaknja dari tempat kami, meletus.” Sukarno memberi penjelasan
singkat bahwa rumah untuk kelahiran itu ada di Surabaya. Selama puluhan
tahun, kita jarang mengurusi tempat kelahiran Sukarno. Kita terlalu
memikirkan tempat-tempat berkaitan studi, pekerjaan, pembuangan, dan
kekuasaan.
Kita tak memiliki
informasi rinci tentang tempat kelahiran dengan pelbagai dalih. Barangkali
tempat kelahiran dianggap tak terlalu menentukan nasib orang. Apakah
ketiadaan informasi itu akibat administrasi penduduk tahun 1901 belum tertib?
Informasi sejarah Sukarno tak sekomplet Soeharto.
Buku Anak Desa:
Biografi Presiden Soeharto (1976) susunan OG Roeder mengesankan rincian: ”Ia
dilahirkan di sebuah dusun kecil di tengah-tengah sawah, salah satu di antara
ratusan kampung yang terdapat di Jawa Tengah.
Letaknya hanya
beberapa kilometer sebelah barat kota Jogjakarta dan kira-kira 37 km dari
candi Buddha Borobudur yang termasyhur itu. Kampung Kemusuk, Argomulyo,
adalah bagian dari Desa Godean, dan hingga kini masih merupakan daerah yang
sunyi sepi.”
Soeharto memang
menginginkan penjelasan itu menopang ketokohan dan dramatisasi anak desa
menjadi presiden. Informasi tambahan dan pelengkap dimuat dalam buku Profil
Desa Perjuangan: Gemuruh Kemusuk (1991) susunan Djudjuk J, Lazuardi ASage,
dan S Budhi Raharjo. Di halaman-halaman awal, pembaca bakal melihat foto
Soeharto.
Barangkali Jokowi
tanpa sadar menginginkan kita mempelajari lagi sejarah. Kita pun dianjurkan
makin mengenali para tokoh dalam arus sejarah Indonesia. Buku-buku telah
diterbitkan meski pelbagai informasi belum terkuak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar