Dahlan
dan Negeri SOP
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN SINDO, 11 Juni 2015
Saya pernah mendengar
curhat dua anak muda. Mereka mengeluhkan aturan yang begitu kaku. Utamanya
aturan tentang pembelian barang.
Jangan salah, ini
bukan di kantor pemerintahan atau BUMN, tetapi di perusahaan swasta. Selain
harus melewati beberapa meja dan memperoleh persetujuan atasan, untuk setiap
pembelian barang harus ada pembanding. Jadi harus ada tiga produk yang
sejenis, lengkap dengan daftar harganya.
Kalau untuk
barang-barang yang harganya mahal, katakanlah di atas Rp1 juta atau 10 juta,
keduanya paham. Tapi, ini untuk barang dipakai rutin, harganya pun di bawah
Rp1 juta. ”Masak barang begitu mesti
pakai pembanding segala,” kata keduanya, geram. Namun, peraturan adalah
peraturan. standard operating procedure-nya
(SOP) memang begitu.
Harus dipatuhi.
Pilihannya tinggal take it or leave it.
Ini belum selesai. Kalau mengikuti SOP, barang yang dibutuhkan baru diterima
dua bulan kemudian. Padahal kategorinya urgent.
Gila bukan! Harap diingat ini perusahaan swasta, bukan kantor lurah atau
camat. Akhirnya keduanya mencari celah untuk menyiasati peraturan. Caranya
mudah saja.
Dengan alasan
terdesak, keduanya membeli dulu barang yang mereka butuhkan dengan uang
pribadi. Lalu, berbekal bon pembelian, keduanya mengajukan reimburse ke
perusahaan. Dengan cara itu, barang bisa diperoleh jauh lebih cepat. Lalu,
uang reimburse cair seminggu kemudian. Bos-bos tidak tahu, begitulah prestasi
anak buah yang kalau diketahui auditor yang ”sakit” mereka bakal kena kasus,
dapat SP pula.
Intrapreneurship dan Entrepreneurship
Saya kira kejengkelan
dua anak muda tadi terhadap kakunya SOP adalah kejengkelan kita semua. Dan,
perusahaan tadi sesungguhnya beruntung. Keduanya memiliki naluri sebagai
pengusaha, jeli melihat celah yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan kantor
dan pelanggannya.
Oleh karena keduanya
karyawan, mereka layak disebut intrapreneur: bukan owner, tapi memiliki ownership, naluri sebagai pengusaha. Intrapreneurship berbeda dengan entrepreneurship. Kalau entrepreneurship betul-betul dimiliki
seorang pengusaha, karena itu uang dan nama baiknya, bukan karyawan yang
hanya makan gaji.
Itu sebabnya selain
mendapatkan gaji, karyawan seperti itu layak diberikan komisi, bonus, atau variable income. Begitulah intrapreneur atau entrepreneur. Negeri ini membutuhkan mereka untuk melakukan
terobosan, membuka pintu, melakukan percepatan, mengangkat kesejahteraan.
Mereka adalah yang
cepat membaca celah, dengan prinsip: Pada
Setiap Dinding Selalu Ada Pintunya. Temukanlah! Namun bagi sebagian
orang, terobosan sama dengan melanggar hukum. Apalagi kalau mereka tak pernah
belajar tentang konsep Opportunity Cost.
Mereka anggap biaya yang lebih mahal, atau dikeluarkan sebelum barangnya
datang, atau dokumennya lengkap adalah kerugian, memperkaya orang lain,
melanggar hukum.
Mereka tak pernah
memahami, negeri ini makin rugi kalau sakitnya tidak segera kita bayar, kalau
kita tidak mau ganti untung, kalau kita menunda-nunda kesempatan. Memang
idealnya, dalam berbelanja kita putuskan bayar setelah semua proses beres dan
dokumen lengkap. Tetapi dalam realita, dunia ini begitu cepat berubah. Dan
begitu proses tadi sempurna, saat dibeli, harga barang itu telah berubah,
kurs dolar bergerak naik, atau sudah lebih dulu diambil orang lain.
Lalu mangkrak-lah
kegiatan usaha. Setelah itu orang di luar saling menyalahkan, bahkan saling
meng-gobloki. Intrapreneur itu didatangkan bukan untuk merugikan, melainkan
untuk membuat organisasi menjadi lebih lincah dan hidup. Bukankah hanya
manusia mati yang badannya kaku? Maka, membelenggu mereka adalah kesia-siaan.
Melelahkan dan malah
akhirnya bisa merugikan bangsa. Saya kira semangat mencari terobosan ini
pulalah yang mendasari Dahlan Iskan. Itu yang saya baca. Semoga tak ada
hengki pengkinya.
Baik ketika menjabat
sebagai dirut PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan selaku kuasa pengguna
anggaran atau KPA, menandatangani pencairan dana untuk membangun 21 gardu
induk listrik untuk Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat pada 2011–2013. Dahlan
mengaku membubuhkan tanda tangan agar proyek tersebut bisa berjalan.
Ia melakukannya karena
tak tahan mendengar keluhan rakyat soal keterbatasan pasokan listrik. Anda
tahu bukan, akibat keterbatasan pasokan, listrik ketika itu pun menjadi yang
biarpet. Bagi sebagian masyarakat kita, terutama di pinggiran Jawa dan luar
Jawa, keluh kesah soal listrik sudah menjadi makanan sehari-hari. Kondisi
semacam ini tentu memprihatinkan.
Apalagi tak hanya
terjadi dalam seminggu dua minggu juga bukan berbulan- bulan, tetapi bertahun-tahun.
Sampai sekarang warga Medan, misalnya, masih mengalami hal ini. Begitu juga
di Kalimantan Timur, provinsi yang katanya menjadi lumbung energi nasional,
kekurangan pasokan listrik masih menjadi masalah serius. Birokrasi kita
sendiri sudah terlalu kaku.
Untuk membuat mesin berputar, kita tak bisa memakai
cara-cara biasa. Harus didobrak. Dan ini menjadi masalah serius dalam
pemerintahan Jokowi yang berambisi membangun 35.000 MW dalam lima tahun ke
depan. Padahal, mesin birokrasi yang ada hanya terbukti mampu membangun
1.000–2.000 MW setahun.
Artinya mesin
birokrasi dan mindset semua elemen
harus berubah. Ya birokrasi, ya auditornya, juga penyidik dan penegak
hukumnya. Harus bijak dan tepat membedakan mana yang benar dan mana yang
kriminal. Bila tidak, korbannya akan banyak. Dahlan telah melakukannya. Ia membongkar
aturan, menerabas kebekuan, mencari celah untuk menyiasati SOP. Begitulah,
Dahlan memang seorang entrepreneur.
Perangkap SOP
Di mata saya, mungkin Dahlan menabrak SOP. Tapi, korupsi?
Saya kurang yakin. Orang korupsi biasanya untuk memperkaya diri. Dahlan? Dia
sudah kaya bahkan jauh sebelum menjadi dirut PLN. Saya teringat ucapan
Dahlan tentang mengapa ia mau menjadi dirut PLN.
Pascatransplantasi hati di China, ia merasa sangat
bersyukur karena masih diberi ”nyawa kedua”. Sebagai ungkapan syukurnya, ia
ingin menyumbangkan tenaganya bagi negara, di antaranya dengan mau menjadi
dirut PLN. Bahkan untuk itu, Dahlan sampai harus melanggar larangan istrinya.
Sang istri meminta Dahlan agar menolak permintaan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, melalui menteri BUMN, untuk menjadi dirut PLN.
Kini, akibat melanggar
larangan istri, Dahlan seakan kena tulah. Ia dijadikan tersangka korupsi.
Kasus Dahlan jelas bukan satu-satunya. Ada beberapa pejabat kita—beberapa di
antaranya, saya tahu, adalah orang-orang yang bersih—terpaksa masuk penjara karena menabrak
SOP. Mereka tak melulu
pejabat tinggi. Beberapa bahkan tak pernah membelikan istrinya tas bermerek
dari Italia atau Prancis.
Bukan karena ingin mencuri
uang negara dan memperkaya dirinya sendiri. Tapi begitulah hukum, kadang ia
buta. Persis seperti simbolnya, patung Dewi Themis, dewi keadilan, yang
matanya tertutup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar