Strategi
Media Menghadapi MEA
Ignatius Haryanto ; Peneliti Senior di Lembaga Studi Pers dan
Pembangunan (LSPP)
|
KOMPAS, 01 Juni 2015
Menjelang akhir tahun
ini kita akan memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community, yang merupakan era pasar bebas di
wilayah Asia Tenggara. Pelbagai forum yang penulis ikuti menunjukkan ada nada
yang kurang lebih sama: bahwa Indonesia belum siap menghadapi Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA). Sejumlah kelompok masyarakat di Indonesia bahkan lebih merasa
cemas ketimbang optimistis menghadapi kondisi baru nantinya.
Dalam sejumlah forum
itu industri media termasuk yang diperbincangkan menjadi salah satu sektor
yang juga akan masuk dalam pusaran MEA tersebut. Kalau kita membicarakan MEA
secara umum, sebenarnya kita tak perlu merasa fenomena ini "sesuatu yang
jauh di sana" karena toh sejumlah film kartun asal Malaysia sudah tampil
dan disukai anak-anak Indonesia. Sementara itu, sejumlah film asal Thailand
telah rutin mengisi layar lebar di sejumlah bioskop. Jadi, tanpa harus
menunggu akhir tahun itu, MEA sudah berjalan.
Sebenarnya ada apa di
balik kecemasan akan "era baru" bernama MEA tersebut? Betulkah
Indonesia hanya akan dilihat sebagai "pasar" besar bagi
produk-produk negeri tetangga, sementara kita hanya akan pasrah menghadapi
situasi itu tanpa bisa sebaliknya "menyerbu" negeri tetangga kita
dengan komoditas unggulannya?
Penulis menduga bahwa
kecemasan menghadapi situasi MEA tersebut salah satunya juga disumbangkan
dengan bagaimana cara media di Indonesia menampilkan soal MEA ini. MEA
menurut penulis bukanlah sekadar jargon, melainkan suatu praktik ekonomi yang
tak terelakkan, dan di dalamnya memang berjalan hukum penawaran dan
permintaan.
Menurut penulis,
karena media di Indonesia tak cukup memberikan perhatian kepada apa yang
terjadi di negara-negara tetangga, lalu kita menjadi merasa MEA lebih suatu
ancaman ketimbang melihatnya secara proporsional. Untuk itu, kita membutuhkan
suatu strategi kebudayaan tertentu bagi media kita ini.
Mitis, ontologis, fungsional
Strategi kebudayaan
menurut CA van Peursen (1988) dibagi dalam tiga tahap: mitis, ontologis, dan
fungsional.
Tahap mitis
menggambarkan sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh
kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya. Tahap kedua adalah tahap di mana
manusia tidak lagi hidup di bawah kekuasaan kekuatan gaib tadi, tetapi
mengambil sikap untuk meneliti, dan mulai menyusun suatu ajaran atau teori
mengenai dasar hakikat segala sesuatu.
Tahap ketiga adalah tahap ketika manusia telah keluar dari dua tahap
sebelumnya, dan kemudian menentukan suatu relasi baru atau suatu kebertautan
baru atas lingkungannya.
Jika merujuk pada
pemikiran Van Peursen itu, saat ini baik media di Indonesia maupun
masyarakatnya masih ada pada tahap mitis, di mana MEA dimaknai sebagai
sesuatu yang belum dipahami, sesuatu yang menakutkan, mencemaskan, membuat
tak percaya diri, dan lain-lain.
Jika saja kita mulai
beranjak pada tahap kedua, tahap ontologis, maka kita akan melihat media akan
menghadirkan duduk persoalan ini dengan lebih jernih, yaitu dengan mengenal
apa hakikat sesungguhnya dari pasar bebas. Apa itu pasar bebas ASEAN?
Betulkah ini ancaman? Apakah di sana tak ada peluang? Tentu saja untuk sampai
pada pembahasan tersebut, hal ini tentu saja harus dilakukan dengan cermat,
mendetail, dan berbasis pada data yang valid.
Kalau tahap kedua
sudah dapat kita lampaui, kita masuk pada tahap fungsional. Di sini kita akan
melihat posisi Indonesia dalam MEA tak lagi dengan kacamata pesimistis,
tetapi dengan suatu strategi tertentu, kecerdikan tertentu, dan pemanfaatan
atas peluang-peluang tertentu yang tersedia
Bagaimana caranya?
Bagaimana cara
menurunkan tiga tahap dalam strategi kebudayaan Van Peursen untuk media di
Indonesia? Pertama-tama, kenalilah lingkungan bernama MEA itu. Bagaimana
kondisi penduduk dan segala isinya di Singapura, Malaysia, Filipina,
Thailand, Brunei, Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Timor Leste.
Berikanlah liputan
mendalam atas wilayah-wilayah tersebut. Pelajari bahasanya, cari koresponden
ataupun kontributor dari tempat-tempat tersebut untuk bisa mendapatkan berita
ataupun keterangan lewat bahasa penutur dominan di wilayah tersebut.
Dalam suatu kesempatan
penulis pernah mencoba melakukan survei sederhana atas isi berita
internasional sebuah harian Ibu Kota. Dari survei sederhana itu tampak jelas
bahwa berita internasional harian tersebut lebih banyak meliput fenomena yang
terjadi di Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Timur Tengah. Tentu saja tiga
wilayah itu memang menyumbang banyak peristiwa penting dunia, tetapi seberapa
banyak berita internasional tersebut meliput tentang wilayah-wilayah di Asia
Tenggara? Ternyata sangat minim.
Jika kita hari ini
merasa khawatir atas MEA, rupanya kita tak pernah disadarkan bahkan sejak
memilih berita internasional untuk disajikan kepada pembaca di Indonesia,
kita telah lama mengabaikan negara-negara di Asia Tenggara ini. Jika saja
perhatian pada berita internasional di kisaran Asia Tenggara telah dilakukan
sejak lama, mungkin kekhawatiran berlebihan jadi tak perlu. Sebaliknya, koran
lain di kawasan ini, seperti The Strait Times di Singapura dan Bangkok Post
dari Thailand, sudah lama membagi liputan internasional mereka antara wilayah
Asia Tenggara dan wilayah dunia lainnya.
Satu hal lain yang
juga menjadi penyakit bagi kita sebagai bangsa itu: kita merasa senang ketika
dunia mengetahui Indonesia, mengakui Indonesia (lewat pelbagai penghargaan
internasional yang dikejar-kejar itu). Akan tetapi, bagaimana sebaliknya:
seberapa masyarakat Indonesia mengetahui dunia lain di luar Indonesia?
Seorang teman pernah
berkisah bahwa sebuah outlet retail di Jakarta telah mempekerjakan sejumlah
anak muda asal Thailand yang fasih berbahasa Indonesia. Teman yang sama juga
menyampaikan bahwa banyak orang Thailand saat ini sedang mempelajari bahasa
Indonesia. Sebaliknya, apakah ada cukup banyak orang Indonesia yang bisa
berbahasa Thai? Berapa yang bisa berbahasa Tagalog? Bahasa Vietnam, dan
lain-lain.
Itu baru soal bahasa.
Kita belum bicara siapa orang Indonesia yang memang ahli (ekonomi, politik,
sejarah, dan lain-lain) tentang kondisi Thailand? Soal Filipina? Soal
Myanmar? Soal Filipina, dan lain-lain. Jika kita bangga masih banyak
Indonesianis (peneliti asing yang meneliti masalah Indonesia) yang mencoba
memahami segala dinamika sosial politik di Indonesia, seberapa banyak dari
kita yang mengetahui sebaliknya?
Jika media sadar atas
kondisi ini, maka perlu segera dimulai banyak liputan didedikasikan atas
wilayah-wilayah Asia Tenggara dengan segala aspeknya, berikut dengan hubungan
bilateral dengan Indonesia. Dengan memperbanyak liputan, kita sedang mencoba
menggeser tahap mitis menuju tahap ontologis. Lalu setelahnya kita akan bisa
mengambil posisi yang lebih jelas, kepentingan apa yang hendak kita
tunjukkan, dan hal ini merujuk pada tahap fungsional yang akan lebih diambil.
Jadi,
kita tak perlu lagi merasa bahwa kita hanya suatu "pasar" besar
dalam MEA nantinya, tetapi kita pun punya sejumlah produk unggulan yang juga
bisa bersaing dalam skala regional ini. Ini tugas yang penting bagi media di
Indonesia saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar