Politik
di Arab, Teologi di Indonesia
Hajriyanto Y Thohari ; Mantan Wakil Ketua MPR (2009-2014)
|
KOMPAS, 01 Juni 2015
Pergolakan politik di
dunia Arab akhir- akhir ini menjadi wacana yang sangat serius di Indonesia.
Diskusi-diskusi yang semula memperdebatkan politik Arab an sich ada tendensi
merembet ke teologi dan sektarianisme.
Akan tetapi,
kecenderungan yang terakhir ini, menurut pengamatan saya, lebih diakibatkan
oleh reduksi dan simplifikasi akibat kegagalan orang Indonesia membaca perpolitikan
Arab yang rumit. Saking rumitnya, saya sering mengakhiri diskusi dengan
berseloroh: bahwa kesulitan membaca politik Arab itu gara-gara beda konsep
politik.
Berbeda dengan bahasa
Indonesia yang menerjemahkan kata 'politic'
dengan 'politik', orang Arab menerjemahkan kata 'politic' dengan 'siyasah
(t)' (nakirah, indifinite article)
atau 'al-siyasah' (bentuk ma'rifah,
difinite article). Dalam kitab-kitab al-Munjid dan Lisanu 'l-'Arab, kata siyasah berakar sÂsa-yasÛsu-siyasatan yang -seperti dalam contoh kalimat-sasa al-dawaba yasusuha siyasatan berarti qama
'alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan
mendidiknya) atau sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi perkara).
Sampai di sini tidak
ada masalah. Hanya saja ketika kata Arab siyasah(t) masuk ke dalam bahasa Indonesia
menjadi 'siasat' yang, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya antara
lain politik (muslihat, taktik, tindakan, kebijakan, atau akal) untuk
mencapai suatu maksud, maka konotasinya menjadi lain.
Pasalnya, siasat juga
berarti muslihat dan cara berperang bagaimana mengalahkan lawan. Dalam klasik
Melayu siasat malah berarti siksa, aniaya, hukuman. Kata kerja menyiasat
artinya menyiksa, menganiaya, atau menghukum (KBBI hlm 1300).
Pantas kita orang
Indonesia sering luput dalam memahami politik dunia Arab yang terus bergolak
itu. Pasalnya, seperti kata akademisi terkemuka Inggris keturunan Lebanon,
Albert Hourani dalam Arabic Thought in
the Liberal Age 1798-1939 (1962), orang Arab memiliki kesadaran lebih
tinggi terhadap bahasa mereka dibandingkan dengan bangsa lain. Mereka bukan
hanya memandang bahasa Arab sebagai alat komunikasi, melainkan juga seni
tertinggi dan sekaligus kriteria mereka mendefinisikan diri dan
lingkungannya.
Dulu jernih kini keruh
Ketika perang Irak-Iran
(1980-1988) kita bangsa Indonesia rasanya bersikap lebih jernih, dalam
pengertian tidak melihat perang tersebut secara sektarian. Padahal, baik
rezim Irak pimpinan Presiden Saddam Husein yang Sunni ataupun penguasa baru
Iran pimpinan Ayatollah Khomeini yang Syiah keduanya sama-sama melakukan
politisasi agama secara habis-habisan.
Irak menamakan perang
tersebut sebagai perang yang berdimensi keagamaan dengan menyebutnya Perang
Qaddisiyyah (Qaddisiyyah Saddam).
Perang Qaddisiyah (636) adalah perang antara tentara-tentara Arab-Islam
melawan dinasti Sassanid, Persia, yang dipimpin Kaisar Yazdegrid III yang
beraliansi dengan Kaisar Heraclius dari Bysantium pada masa penaklukan Islam.
Sementara Khomeini menyebut perang tersebut sebagai Pertahanan Suci melawan
agresor dan Revolusi Islam.
Akan tetapi,
pergolakan politik dan perang yang terjadi di dunia Arab sekarang, baik di
Yaman (antara aliansi Arab yang dipimpin Arab Saudi dan pemberontak al-Houthi
yang didukung Iran), Suriah (antara pemerintahan Presiden Bashar Asad yang
didukung Iran dan pemberontak yang didukung beberapa rezim Arab), Palestina
(antara Fatah dan Hamas), fenomena Islamic
State in Irak and Syria (ISIS), Kurdi (yang melibatkan Suriah, Irak, dan
Turki dengan segala aliansi pendukungnya), bahkan Mesir (antara Presiden
Abdel Fatah El-Sisi dan Presiden Mursi dengan Ikhwanul Muslimin-nya), dan
lain-lainnya, telah membingungkan bangsa Indonesia, khususnya umat Islam, dan
memancing keberpihakan yang sektarianistik.
Di dunia Arab apa yang
disebut dengan politik itu dihayati sebagai benar-benar siasat yang sarat
muslihat canggih. Tidak mudah bagi kita orang Indonesia memahami perpolitikan
di negara-negara Arab yang begitu rumit dan enigmatik itu. Politik di sana
bukan hanya who get what, when, and how,
melainkan siasat dalam bentuk paling sempurna (par excellence) dan tinggi (in
optima forma) yang tidak mudah disimplifikasi dalam perspektif agama
apalagi sektarianisme yang miopik dan hitam putih.
Bablasan sejarah lama
Politik di Arab itu
menjadi penjuru atau variabel independen dalam berbagai kehidupan, bahkan
sampai dalam pengembangan ilmu dan pemikiran yang notabene banyak dicerna di
sini dalam konteks Indonesia yang sebenarnya berbeda. Setelah menjelaskan
fenomena politik di dunia Arab yang berperan dalam mengarahkan dan
membelokkan pemikiran Arab-Islam sejak era kodifikasi, Abed al-Jabiri,
seorang pemikir Arab kontemporer, penggagas proyek pemikiran Kritik Nalar
Arab dalam bukunya Takwin al-'Aqlu al-'Arabi (1989), mengatakan bahwa
berbagai analisis terhadap pemikiran dan keilmuan Arab tidak akan pernah utuh-dan
kesimpulan-kesimpulannya bisa menyesatkan-jika tidak mempertimbangkan faktor
politik struktural dan historis.
Pasalnya, dalam
konteks Arab politik (siyasah)
adalah panglima: politiklah yang melahirkan sekte-sekte teologi dalam Islam,
dan karena itu politik pulalah yang sejatinya menjadi ibu dari skisma
Sunni-Syiah. Sikap-sikap politik yang tentu saja bersifat parsial mulai
mencari sandaran dalam agama dan ini merupakan langkah teoretis permulaan
yang menjadi landasan bagi apa yang di kemudian hari disebut dengan ilmu
teologi (ushuluddin).
Buya Syafii Maarif
menegaskan bahwa sebelum 657 M itu golongan Sunni, Syiah, dan Khawarij belum
dikenal dalam sejarah Islam. Perang Siffin itulah yang memicu kemunculan
sekte-sekte dalam Islam dan merusak seluruh perjalanan sejarah umat Islam
selama 14 abad. Benar sekali jika Dr Thoha Husen, ilmuwan dan sastrawan Mesir
modern, menyebut Perang Siffin sebagai malapetaka terbesar (al-fitnatu al-kubra) dalam sejarah
Arab-Islam.
Dalam konteks dan
perspektif historis seperti ini, ilmu teologi dalam Islam bukan semata-mata
soal akidah atau keimanan, melainkan merupakan praktik politisasi agama in
optima forma. Dalam nalar Arab, politik masa lalu bukan peristiwa semata,
melainkan juga merupakan preseden dan dasar-dasar (ushul) di mana orang-orang dari generasi belakangan (khalaf) mewarisi pengetahuan kultural
dari generasi pendahulunya (salaf).
Negara (kekhalifahan,
daulah, dan kesultanan, dulu; atau kerajaan/al-mamlakah, republik/al-jumhuriyah,
kini) dan oposisinya sama saja kelakuannya: masing-masing ingin merengkuh
masa lalu itu dan memanfaatkannya untuk kebaikan dirinya. Politik di dunia
Arab saat ini, baik berkenaan dengan negara atau oposisinya, merupakan
kelanjutan atau bablasan dari politik masa lalu yang memperebutkan dan
mempertahankan hegemoni politik di kawasan panas itu.
Perebutan hegemoni
Fatalnya sebagian umat
Islam Indonesia memandang perpolitikan Arab yang kompleks tersebut secara
agama. Malah dalam kasus Yaman diam-diam umat Islam Indonesia terpecah dua:
yang mendukung aliansi Arab dan yang mendukung Houthi.
Fatalnya argumen yang
mendasari dukung-mendukung itu adalah agama, bahkan sektarian. ISIS pun yang
notabene gerakan politik, di Indonesia dianggap sebagai gerakan agama belaka.
Uniknya,
sekaligus bedanya: di sana yang namanya politik benar-benar politik. Meski
ada rivalitas antara Saudi dan Iran, di sana tidak ada pengafiran (takfiri)
satu sama lain. Jutaan anggota jemaah umrah dan haji dari Iran setiap tahun
memasuki Mekkah tanpa masalah. Itulah politik di Arab. Sayang, politik di
Arab itu menjadi teologi di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar