Revitalisasi
Urban
Bre Redana ; Penulis kolom “Catatan Minggu” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 31 Mei 2015
Masak menilai sukses
atau gagal pemerintah daerah hanya dari melihat pasarnya. Seorang teman
tertawa. Dikira saya bercanda dan main-main.
Biarlah saya beberkan
referensi yang tidak saya ungkapkan sebelumnya, bagaimana revitalisasi pasar
sama dengan revitalisasi urban. Ada sebuah cerita, dari Boston, Amerika.
Di situ terdapat
pasar, namanya Faneuil Hall Marketplace.
Tahun 1960-an, pasar ini telantar. Kalau menurut gambaran yang diberikan
Carolyn Steel dalam Hungry City,
keadaannya waktu itu kira-kira serupa karang hantu. Tak ada yang berpikir mau
diapakan dengan sisa-sisa bangunan kolonial tersebut.
Tahun 1970-an, pejabat
baru otoritas pembangunan kembali Boston, Edward J Logue, ingin berbuat
sesuatu terhadapnya, tapi tak tahu bagaimana caranya. Yang sedang marak di
Amerika saat itu pembangunan mal—mirip keadaan di Indonesia sekarang. Maka ia
hubungi Jim Rouse, pionir pembangunan mal di negeri itu.
Pada saat bersamaan,
Rouse tampaknya mulai meragukan perkembangan mal. Diam-diam dia mengakui
peranan mal terhadap kemerosotan sosial sebuah kota. Menanggapi tawaran
Logue, ia mencoba konsep yang tak pernah ditrapkan sebelumnya, merevitalisasi
Faneuil Hall sebagai pasar
tradisional. Festival market place,
begitu sebutannya.
Langkah
”pertobatannya” ini ternyata berdampak luar biasa. Faneuil Hall terlahir
kembali. Seperti kelahiran tokoh wayang Gatotkaca, dia membesar dengan
seketika. Pasar Faneuil Hall
menjadi atraksi turis nomor 1 di Boston.
Sejak itu, sejumlah
tempat mencoba menyuntikkan darah baru bagi kotanya dengan pembangunan pasar.
Formula yang sama digunakan oleh Rouse untuk merevitalisasi South Street Seaport di New York dan Harbor Place di Baltimore.
Ketika London
merevitalisasi pasarnya yang terkenal, Covent
Garden, Rouse bertindak sebagai penasihat. Covent Garden dengan Royal
Opera House-nya adalah tempat tak terlupakan. Tahun lalu saya mengajak
istri ke situ. Ia menikmati baked
potato di pinggir jalan. Covent
Garden: hanya karena pasar dan kentang panggang istri saya jatuh cinta
kesekian kali pada saya.
Membangun pasar
sejatinya membangun kembali rasa kepemilikan (belonging), keterikatan (engagement),
serta karakter pada si manusia di kota bersangkutan. Revitalisasi pasar
adalah cara masuk untuk membangun sebuah komunitas, sebagai cara untuk
menumbuhkan kembali perasaan sosiabilitas yang mengendor dikarenakan
pembangunan kota yang sifatnya teramat teknis.
Pendekatan untuk
menumbuhkan kembali sosiabilitas masyarakat, bahasa sederhananya sesrawungan,
inilah yang coba dikembangkan di berbagai tempat di dunia sekarang. Beberapa
arsitek dan ahli tata kota tidak lagi bicara soal bangunan, melainkan tata
kelola cara hidup masyarakat. Umumnya itu juga dikaitkan dengan daya dukung
sumber daya alam alias sustainability.
Contoh sehari-hari,
resor-resor mutakhir yang beriklan mengenai kedekatannya dengan alam, apa
sebenarnya yang hendak ditawarkan, selain mengembalikan manusia pada hakikat
alaminya? Tak ada televisi di situ. Percayalah, suara kodok dan burung hantu
lebih bagus dibanding suara berisik pembawa acara televisi.
Makanya, sebagai
produk kebudayaan, saya tak ragu membandingkan pasar tradisional dengan
kesenian tradisional. Merevitalisasi pasar berarti merevitalisasi daya hidup
urban. Yang dibutuhkan bukan cuma hal-hal teknis, misalnya seberapa jauh
teknologi informasi dan jaringan Wi-Fi digunakan, slogan-slogan menggelikan
ditempel di berbagai sudut kota, angka-angka disodorkan ketika ditanya
wartawan. Lebih celaka, kalau si wartawan percaya pada angka-angka. Prett
dengan itu semua.
Dalam kredo kebudayaan
saya, tak ada yang lebih berharga dari imajinasi manusia. Imajinasi ini yang
juga dibutuhkan untuk membangun kota. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar