Gosip
Joko Wi
Garin Nugroho ; Penulis kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 31 Mei 2015
”Joko Wi sering melamun di Istana, wajahnya keruh dan
kebingungan. Suasana Istana nampak kacau tidak seperti era Sby”.
Inilah gosip yang
muncul ketika saya bertemu dengan beberapa elite politik, bulan-bulan
terakhir. Tentu saja, gosip tentang Joko Wi terus meluas yang muncul di
setiap kelompok elite politik.
Gosip memang ringan
dan sering disepelekan. Gosip sering diartikan sebagai desas-desus atau selentingan
berita yang tersebar luas dan menjadi rahasia umum, tetapi masih diragukan
kebenarannya.
Namun, harus dicatat,
gosip menjadi gaya hidup populer karena tidak memerlukan upaya mencari fakta.
Para pakar menyebut bahwa gosip menjadi ruang katarsis terbesar sebuah bangsa
dalam dua wajah terbesarnya. Perspektif pertama gosip menjadi gaya hidup
survival pada negara tirani seperti era Soeharto, ketika data dan fakta tidak
dapat diakses serta kebenaran hanya muncul dari penguasa. Perspektif kedua,
gosip menjadi gejala hidup pada negara yang terbuka, tetapi kehilangan
panduan nilai-nilai informasi serta nilai-nilai panduan kepemimpinan, setiap
individu warga menjadi sumber berita.
Pada perspektif kedua
ini, keterbukaan melahirkan kebebasan yang tidak didukung pengetahuan,
keterampilan, dan etika. Alhasil, warga bangsa tumbuh dalam lintas khaos
informasi dan komunikasi dalam percepatan yang luar biasa tanpa panduan.
Celakanya, pada abad teknokapitalis hiburan, maka segalanya adalah pameran
perhatian tiap detik yang vulgar dalam kompetisi yang serba menghibur tanpa
memperhatikan pengetahuan dan etika. Bisa diduga, gosip yang merupakan
psikologi massa tanpa kerja data dan fakta menjadi ruang subur bagi gejala
hidup baru bangsa ini.
Jangan heran, gosip
yang serba tersebar cepat dan serba massa, menjadi salah satu ruang strategi
komunikasi politik, baik itu kampanye positif maupun kampanye penghancuran
citra tokoh politik. Inilah sesungguhnya ruang luas pertempuran politik abad
ini. Terlebih pada era teknokapitalis, media sosial baru (telepon genggam,
internet, Twitter, Facebook, hingga Instagram) menjadi medium gosip dengan
tingkat penyebaran dalam pelipatan massa luar biasa. Lebih celaka lagi,
teknologi baru di era digital didukung kemampuan manipulasi serta transformasi
bentuk, pola hingga pengucapan gosip. Harap mahfum, pada masyarakat yang
belum masuk dalam kultur data dan fakta, maka media baru menjadi medium
terbesar gosip.
Simak beragam gosip
yang muncul seputar Joko Wi. Sebut, gosip Joko Wi yang tidak bisa kerja sama
dengan Jusuf Kalla dan lebih pada poros Luhut. Alhasil, tersebar gosip bahkan
pada wilayah mikro terdekat Presiden, terjadi keretakan dan perpecahan. Sebut
gosip elite muda sekitar Presiden yang tidak mampu melakukan negosiasi
politik pada elite politikus yang berpengalaman untuk memecahkan krisis
politik. Sebut juga, elite politik relawan Joko Wi yang sering bekerja tidak
lebih seperti event organizer,
tetapi tidak mampu mengelola kekuatan birokrasi, padahal birokrasi
menjalankan 60 % kerja berbangsa. Sebut gosip lain, yakni keluhan birokrat di
berbagai kementerian karena tuntutan Presiden yang tidak masuk akal pada
pertumbuhan, baik pertumbuhan ekspor, pajak, hingga penurunan angka
kemiskinan.
Sungguhlah ironis,
hanya dalam rentang tak lebih setahun, kepopuleran Joko Wi yang dahulu
didukung pencitraan bergaya gosip di media sosial baru, kini merosot dan
berbalik, dipenuhi beragam gosip yang meragukan kepemimpinannya.
Tentu saja, gosip
bukanlah data dan fakta, tetapi gosip dalam bangsa gaya hidup abad hiburan
tidak bisa lagi disepelekan. Saatnya, Joko Wi mentransformasi gosip tentang
dirinya, sebelum gosip menjadi muara kebenaran karena telah menjadi psikologi
massa yang penuh drama yang bisa meredupkan kepercayaan kepemimpinan dan
panduan berbangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar