Revitalisasi
Peran Bulog
Toto Subandriyo ; Pengamat Ekonomi;
Lulusan IPB dan Magister Manajemen Universitas
Jenderal Soedirman
|
KOMPAS, 11 Juni 2015
Presiden Joko Widodo
dalam waktu dekat bermaksud merevitalisasi peran dan fungsi Badan Urusan
Logistik. Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang
Pangan, guna mewujudkan kedaulatan,
kemandirian, dan ketahanan pangan nasional, perlu dibentuk lembaga pemerintah
yang menangani bidang pangan yang bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Lembaga tersebut dapat
mengusulkan kepada presiden untuk memberikan penugasan khusus kepada badan
usaha milik negara (BUMN) di bidang pangan. BUMN di bidang pangan bertugas
melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/ atau distribusi pangan
pokok dan pangan lain yang ditetapkan pemerintah.
Batas waktu
pelaksanaan amanat itu paling lambat tiga tahun setelah peraturan tersebut
diundangkan atau November 2015. BUMN di bidang pangan yang paling realistis
untuk mengemban tugas tersebut adalah Bulog. Lembaga ini punya pengalaman
panjang mengelola pangan bangsa.
Bukan hanya itu, dalam
hal kepemilikan dan kesiapan sarana infrastruktur penyimpanan maupun
distribusi pangan tak ada satu pun lembaga pangan di negeri ini yang dapat
menandingi Bulog. Tidak kurang dari 1.755 gudang berkapasitas besar dimiliki
Bulog dan tersebar di seluruh pelosok Tanah Air.
Tidak mengherankan
karena semangat awal dibentuknya Bulog adalah untuk stabilisasi harga pangan.
Sebagai stabilisator harga pangan, di pundaknya dibebankan dua misi heroik.
Pertama, melindungi konsumen, utamanya warga miskin dan kaum marjinal
perkotaan dari melambungnya harga pangan.
Kedua, melindungi
petani dari keterpurukan harga jual komoditas pangan hasil panen, utamanya
saat panen raya.
Diamputasi
Dalam perjalanan
waktu, pada 1998 atas desakan Dana Moneter Internasional (IMF) peran dan
fungsi Bulog diamputasi pemerintah. Sejak itulah Bulog tidak leluasa lagi menjalankan fungsi
sebagai stabilisator harga pangan. Misi heroik Bulog semakin pudar ketika
lembaga ini hanya diberi tugas mengurusi masalah beras. Pembatasan tugas
tersebut seiring dengan perubahan status Bulog menjadi perusahaan umum
(perum), seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah No 7/2003.
Berubah menjadi perum,
sama artinya Bulog disuruh memerankan diri layaknya mesin ekonomi liberal.
Jika suatu aktivitas menjanjikan keuntungan secara ekonomi, maka mesin ini
akan bergerak. Sebaliknya, jika aktivitas tersebut tidak menjanjikan
keuntungan ekonomi, Bulog akan memilih duduk manis.
Komoditas pangan
akhirnya lebih diposisikan layaknya produk manufaktur. Kehadiran
pemerintah/negara nyaris tidak terlihat dalam setiap permasalahan pangan yang
membelit rakyat, karena semua diserahkan kepada mekanisme pasar.
Kita masih teringat
lonjakan harga beberapa komoditas pangan, seperti cabai rawit, beras, hingga
daging sapi. Pada 2014 para petani tebu juga terpuruk karena gula mereka
terpaksa menumpuk di gudang, tidak laku di pasaran.
Penulis yakin,
permasalahan pangan ke depan akan semakin kompleks. Apalagi hanya tinggal
beberapa hari kita akan memasuki bulan puasa. Pengalaman empiris menunjukkan,
setiap menghadapi bulan puasa pemerintah selalu kedodoran mengelola pangan.
Padahal, Ramadhan merupakan rutinitas tahunan.
Kita menyambut baik
prakarsa Joko Widodo yang mengembalikan peran dan fungsi Bulog sebagai
stabilisator harga pangan. Menyerahkan pengelolaan pangan bangsa hanya kepada
mekanisme pasar bukan saja menyengsarakan rakyat, tetapi juga merupakan
bentuk pengingkaran negara terhadap kewajibannya memenuhi hak rakyat atas
pangan.
Hak istimewa
Sebagai lembaga
stabilisator harga pangan yang langsung di bawah presiden, Bulog harus
mengelola pangan bangsa dengan menggunakan manajemen modern dan tetap
memegang teguh prinsip good governance.
Bulog harus memayungi
semua unsur, baik produsen (baca: petani) maupun konsumen. Untuk memberi
insentif kepada petani dalam
meningkatkan produksi perlu ditetapkan harga pembelian pemerintah (HPP)
komoditas strategis, seperti beras, gula, daging sapi, jagung, dan kedelai.
Sedangkan untuk melindungi konsumen perlu ditetapkan harga maksimumnya.
Pemerintah Indonesia
dapat meniru apa yang dilakukan pemerintah Thailand. Semua beras yang
diproduksi petani dibeli dengan harga sangat tinggi dan kemudian disalurkan
kepada rakyat dengan harga murah. Kinerja buruk Bulog dalam memenuhi prognosa
pengadaan gabah/beras tahun ini di
antaranya karena lembaga ini tidak diberi keleluasaan membeli gabah/beras
petani. Bulog tidak boleh membeli beras melampaui HPP sebagaimana ditetapkan dalam Instruksi
Presiden No 5/2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran
Beras oleh Pemerintah.
Beri keleluasaan
Harusnya pemerintah memberi keleluasaan
kepada Bulog untuk membeli semua beras yang dihasilkan petani apa pun
kualitasnya dan berapa pun harganya. Untuk itu diperlukan tabel rafaksi
sebagai patokan Bulog dalam membeli gabah/beras petani pada tingkat harga dan
kualitas tertentu. Hasil pembelian beras oleh Bulog dapat digunakan
pemerintah untuk berbagai keperluan menyejahterakan rakyat.
Selain program beras
untuk rakyat miskin yang sudah lama berjalan, beras tersebut dapat disalurkan
lewat golongan anggaran/program, seperti kepada para PNS/TNI/Polri sebagai
komponen gaji. Dapat juga digunakan untuk program bantuan bencana atau
program padat karya pangan.
Para petani dan buruh
tani dapat bekerja memperbaiki saluran irigasi atau jalan usaha tani di
lingkungan mereka dengan mendapatkan upah beras pada musim paceklik.
Agar dapat lebih
merangsang aktivitas perdagangan oleh swasta, maka harus ada selisih yang
memadai antara harga dasar dan harga maksimum. Tanpa selisih yang memadai
aktivitas perdagangan komoditas pangan oleh swasta tidak akan menggeliat.
Bukan hanya itu, perlu
diupayakan relasi harga antardaerah dan isolasi harga terhadap pasar dunia
dengan fluktuasi yang lebar. Hal itu dimaksudkan agar turbulensi harga pangan
di pasar dunia tidak akan langsung berimbas pada harga pangan domestik.
Untuk bisa memerankan
diri sebagai stabilisator harga pangan yang profesional, maka Bulog harus
diberikan hak-hak istimewa, termasuk di dalamnya menyangkut importasi untuk
penguatan stok. Bulog harus memiliki stok penyangga dalam jumlah yang cukup. Tanpa stok
penyangga yang cukup mustahil pemerintah dapat mengintervensi pasar guna stabilisasi
harga saat terjadi gejolak harga pangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar