Rekonsiliasi dan Partisipasi Korban
Mugiyanto ;
Penyintas peristiwa penculikan
aktivis pro-demokrasi 1998; Anggota Dewan Pengurus IKOHI; Program Officer
Senior untuk HAM dan Demokrasi INFID
|
KOMPAS, 16 Juni 2015
Setelah ditunggu
selama setengah tahun, akhirnya Presiden Joko Widodo mulai merealisasikan
janji dan programnya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia
berat yang terjadi di masa lalu. Hal ini ditunjukkan dengan telah dibentuknya
sebuah tim gabungan lintas kementerian dan lembaga yang dipimpin Menteri
Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno.
Sebagaimana
disampaikan di media, tim gabungan ini bertugas merumuskan kebijakan untuk
menyelesaikan enam kasus pelanggaran berat HAM, yaitu kasus peristiwa
1965-1966; kasus penembakan misterius 1982-1985; kasus Talangsari di Lampung
(1989); kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998; kasus kerusuhan Mei
1998; serta peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.
Perkembangan ini tentu disambut dengan penuh
harap oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang telah menanti
puluhan tahun.
Harapan para korban
yang dipupuskan oleh 10 tahun masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono kini
mulai tumbuh kembali. Harapan ini didasarkan pada dokumen Nawacita yang
secara eksplisit menyebutkan perlunya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu
secara menyeluruh dan berkeadilan.
Selain itu, Jokowi
yang tidak memiliki kaitan langsung dengan rezim otoritarian Orde Baru
diharapkan memiliki pendekatan yang berbeda dalam penanganan pelanggaran
berat HAM masa lalu.
Terkait pembentukan
tim gabungan, Jokowi telah memberikan konfirmasinya sebagaimana dikutip oleh
media ini , "Sudah ada pertemuan, tetapi, kan, perlu tindak lanjut.
Ditunggu saja, saya pastikan akan kita selesaikan, tetapi satu per
satu," (Kompas, 29/5).
Namun demikian, ada
satu hal yang menjadi keprihatinan dan menimbulkan kekhawatiran para korban,
yaitu ketika Menkopolhukam dan Jaksa Agung mengatakan bahwa cara penyelesaian
yang hendak diambil pemerintah adalah dengan jalan nonyudisial, yaitu dengan
cara rekonsiliasi.
Alasan yang
disampaikan Jaksa Agung HM Prasetyo, cara yudisial sudah tidak bisa dilakukan
karena saksi dan bukti yang sudah tidak ada karena peristiwanya telah terjadi
pada waktu yang lama.
Mendengarkan suara korban
Terkait rencana dan
posisi yang diambil tim gabungan ini, penulis merasa perlu memberikan
beberapa poin masukan agar tujuan penyelesaian kasus secara menyeluruh dan
berkeadilan benar-benar bisa tercapai.
Yang pertama, tim
gabungan harus secara substantif mendengarkan suara dan harapan korban,
setidaknya dari enam kasus yang hendak ditangani. Mendengarkan suara korban
sangat penting untuk memastikan agar langkah penyelesaian yang hendak diambil
tidak hanya sesuai dengan kaidah HAM, tetapi juga menjawab kebutuhan mendesak
para korban dan keluarga korban.
Perlu dicatat di sini
bahwa beberapa inisiatif penyelesaian yang pernah diambil pemerintah
sebelumnya seperti pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan pemulihan
gagal karena tidak adanya ketulusan pemerintah untuk mendengar dan menampung
suara dan kepentingan korban.
Yang kedua,
penyelesaian menyeluruh dan berkeadilan sebagaimana menjadi komitmen Jokowi
tidak bisa dilakukan dengan pendekatan parsial. Pernyataan Jaksa Agung dan
Menkopolhukam bahwa enam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut akan
diselesaikan dengan cara rekonsiliasi
tidak hanya parsial, tetapi juga belum merefleksikan suara korban.
Penyelesaian kasus
secara rekonsiliasi adalah simplifikasi atas mekanisme nonyudisial yang
sebenarnya mencakup unsur-unsur pengungkapan kebenaran dan pemulihan korban.
Dalam diskursus
transitional justice, penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM secara
menyeluruh dan komprehensif mensyaratkan digunakannya mekanisme nonyudisial
dan yudisial secara paralel dan saling melengkapi terutama karena pelanggaran
berat HAM bersifat kompleks. (Hayner, 2011)
Tidak bisa dimungkiri
bahwa konteks politik, pola, besaran (magnitude),
cakupan (scope), bentuk kejahatan
dan pelaku-pelaku yang terlibat dalam enam kasus yang hendak diselesaikan
sangatlah beragam sebagaimana terlihat dari laporan Koalisi Keadilan dan
Pengungkapan Kebenaran (KKPK) yang berjudul "Menemukan Kembali
Indonesia". Pendekatan tunggal (nonyudisial) yang linear dipastikan
tidak akan bisa membawa hasil yang diharapkan.
Selain itu,
terminologi "rekonsiliasi" telah mengalami inflasi definisi, karena
diterjemahkan para korban sebagai usaha pemaksaan perdamaian antara korban
dengan pelaku bila dilakukan tanpa proses pengungkapan kebenaran, pemulihan,
apalagi keadilan. Rekonsiliasi telah dimaknai para korban sebagai sebuah
perwujudan impunitas.
Dari proses
mempelajari konstruksi kasus dan interaksi bersama para korban selama lebih
dari satu dekade terakhir, penulis berkeyakinan bahwa penyelesaian enam kasus
yang dimaksud harus didasarkan kepada pertimbangan yang sangat cermat melalui
kajian mendalam masing-masing kasus yang semua berkasnya ada di kejaksaan
agung. Hasil kajian ini lalu disandingkan dengan harapan para korban dan
keluarga korban.
Dari sana bisa
dirumuskan hal-hal yang mendesak yang bisa dilakukan (feasible) dan pada saat yang sama diinginkan oleh korban dan
keluarga korban (desirable) dengan
tetap mengacu kepada kaidah hukum HAM internasional. Misalnya, untuk kasus
penghilangan orang secara paksa 1997-1998, pemerintah harus segera mengambil
langkah untuk memberi jawaban akhir (closure)
mengenai nasib dan keberadaan para korban.
Pentingnya pengakuan dan permintaan maaf
Bila informasi yang berkembang
benar, maka rencana Jokowi untuk menyampaikan pengakuan dan permintaan maaf
resmi (official public apology)
bisa menjadi langkah pembuka dimulainya proses penyelesaian kasus pelanggaran
HAM yang berat ini.
Walaupun bukan hal
baru, langkah ini bisa menjadi ukuran keseriusan Jokowi dalam menyelesaikan
pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.
Perlu diingat lagi,
pada 2000 Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyampaikan permintaan
maaf atas terjadinya peristiwa pelanggaran HAM tahun 1965 (Kompas, 15/3).
Beberapa tahun lalu,
Wali Kota Palu Rusdi Mastura juga menyampaikan permintaan maaf serupa. Bahkan
langkah wali kota Palu kemudian menindaklanjuti dengan dikeluarkannya
Peraturan Wali Kota Nomor 25 Tahun 2013 yang berisi langkah-langkah pemulihan
bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di wilayah Palu, Sulawesi
Tengah.
Tidak bisa dimungkiri,
pelanggaran berat HAM dengan skala, cakupan serta rentang waktu dan wilayah
yang sedemikian lama dan luas tentu saja membutuhkan waktu yang tidak
sedikit. Tetapi, setiap kerja besar selalu saja ada langkah awalnya.
Jokowi sangat
beruntung karena sudah bisa mengambil pilihan ketika masih berada di awal
kekuasaan; beretorika dan membuang waktu untuk pencitraan, atau hadir,
bekerja dan berani menyudahi beban sejarah masa lalu yang terus membelenggu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar