Rabu, 17 Juni 2015

Jebakan Dana Aspirasi

Jebakan Dana Aspirasi

Yuna Farhan ;  Penyintas peristiwa penculikan aktivis pro-demokrasi 1998; Anggota Dewan Pengurus IKOHI; Program Officer Senior untuk HAM dan Demokrasi INFID
KOMPAS, 16 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Upaya DPR mengusulkan program pembangunan daerah pemilihan senilai Rp 15 miliar-Rp 20 miliar per anggota menuai reaksi keras banyak kalangan.
Beberapa anggota DPR bahkan turut mengkritik usulan dana aspirasi yang diperkirakan akan menghabiskan Rp 11,2 triliun per tahun ini.

Perlu dicatat, dana ini pernah diusulkan tahun 2010 untuk diajukan pada APBN 2011, dengan besaran yang tidak jauh berbeda, Rp 15 miliar per anggota. Meskipun usulan ini kandas setelah publik bereaksi keras, diam-diam praktik ini terus berlangsung. Kasus suap Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) yang menimpa anggota Badan Anggaran mengonfirmasi adanya praktik ini.

Praktik ini juga lazim berlangsung di banyak daerah. Perseteruan Gubernur DKI Jakarta dengan DPRD berkaitan dengan ”dana siluman” pada pembahasan RAPBD DKI Jakarta 2015 merupakan salah satu bentuk ”dana aspirasi”. Di banyak daerah, umumnya dana ini berbentuk bantuan sosial ataupun program pembangunan yang bisa dialokasikan DPRD untuk konstituen di daerah pemilihannya.

Di beberapa negara berkembang praktik ini umumnya dikenal dengan nama Constituency Development Fund (CDF). Tercatat, pada 2010 sekurangnya terdapat 23 negara berkembang di Asia dan Afrika yang mengimplementasikan CDF (International Budget Partnership, 2010).

Kebanyakan negara yang menerapkan praktik ini adalah negara dengan sistem parlementer, yang diduga terkait dengan lemahnya peran parlemen pada sistem ini dalam mengubah anggaran. Tentunya ini tidak berlaku di Indonesia, di mana DPR dijamin undang-undang untuk mengubah proposal anggaran pemerintah, baik dari sisi pendapatan maupun belanja, sepanjang tidak melebih defisit 3 persen.

Alasan yang mengemuka perlunya dana aspirasi juga hampir sama. Dengan dana aspirasi, legislator dapat merespons cepat kebutuhan konkret konstituen pada daerah pemilihannya. DPR juga beralasan, adanya dana ini dapat memangkas rantai birokrasi perencanaan penganggaran yang dianggap kerap mengabaikan kebutuhan masyarakat dan mengakselerasi pembangunan serta ketimpangan daerah.

Jebakan

Jika ini yang dijadikan alasan, seharusnya bukan dana aspirasi yang menjadi proposal kebijakan DPR. Perbaikan sistem perencanaan penganggaran yang menjawab kebutuhan masyarakat dan sistem dana perimbangan yang seharusnya menjadi agenda utama perbaikan. Alih-alih mengatasi persoalan disparitas antardaerah, dana aspirasi dengan model pukul rata setiap daerah pemilihan dengan keputusan pengalokasian di tangan anggota DPR justru akan merusak sistem dana perimbangan.

Publik juga akan menilai, kelahiran dana aspirasi adalah penanda dari kegagalan DPR dan partai politik dalam melakukan peran sebagai saluran agregasi dan artikulasi aspirasi. Sejatinya, jika peran ini berjalan, masih terdapat anggaran yang hampir mencapai Rp 2.000 triliun pada APBN yang harus dikritisi DPR sebagai manifestasi fungsi anggarannya.

Ekses negatif yang mungkin timbul, DPR sama saja bunuh diri karena kehilangan daya kritisnya terhadap proposal anggaran yang diajukan pemerintah. DPR disibukkan mengurus dana aspirasi untuk daerah pemilihan masing-masing.

Dana aspirasi juga berdampak pada terjadinya perubahan pola relasi DPR dengan konstituennya. Dari pola relasi yang bersifat demokratis, di mana DPR seharusnya merepresentasikan kepentingan konstituen pada ranah kebijakan nasional, ke arah relasi clientelistic, di mana DPR dinilai dari seberapa banyak program pembangunan di daerah pemilihannya.

Bukan tidak mungkin, masyarakat akan beralih menuntut DPR untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di daerahnya ketimbang kepada pemerintah. Tidak mengherankan jika pemerintah dapat saja mengalihkan tanggung jawab tuntutan pembangunan kepada DPR.

Legalisasi dana aspirasi

Pengakuan beberapa anggota, lahirnya Pasal 80 Huruf j UU No 17 Tahun 2014, untuk mengurangi kecemburuan dana aspirasi yang selama ini tidak dinikmati secara adil terhadap semua anggota. Hanya anggota yang berada di alat kelengkapan strategis, seperti badan anggaran dan komisi yang bersentuhan dengan pelayanan publik langsung, yang dapat menikmati dana aspirasi.

Publik mungkin saja tak akan resisten jika diskursus program pembangunan daerah pemilihan tidak melulu soal berapa dana yang dianggarkan dan pukul rata setiap anggota. Legalisasi hak anggota DPR untuk mengusulkan program pembangunan daerah pemilihannya perlu dimaknai sebagai cara untuk mengatasi praktik perburuan rente dan meningkatkan fungsi anggaran DPR dengan fungsi representasi yang melekat di dalamnya.

Untuk menghindari jebakan dana aspirasi, tim yang dibentuk Badan Legislasi untuk merumuskan mekanisme hak DPR dalam mengusulkan program pembangunan daerahnya tidak berkutat soal alokasi yang dikhususkan untuk ini.

Hak mengusulkan program pembangunan daerah pemilihan harus diletakkan dalam konteks fungsi anggaran yang lebih luas pada keseluruhan APBN agar bermanfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang diwakilinya. Agar konstituen dapat menilai sejauh mana anggota DPR daerah pemilihannya telah memperjuangkan aspirasinya, tim yang dibentuk Badan Legislasi ini perlu merumuskan mekanisme transparansi dan akuntabilitas.

Misalnya, setiap usulan oleh DPR yang berakibat pada perubahan usulan anggaran yang diajukan pemerintah perlu disampaikan kepada publik. Dengan demikian, sistem ini memungkinkan bagi publik untuk menilai apakah usulan itu sejalan dengan aspirasi konstituen atau tidak.

Pengalaman negara-negara yang menerapkan CDF atau dana aspirasi menunjukkan sulitnya gurita persoalan dana ini dihilangkan. Hasil penelusuran IBP (2010), misalnya, mengungkapkan berbagai laporan mengenai praktik korupsi dan manipulasi politik terkait dengan penerapan CDF. Oleh karena itu, penerjemahan sempit hak mengusulkan program pembangunan daerah pemilihan sebagai dana aspirasi tak ayal bisa menjerumuskan DPR dalam cengkeraman praktik koruptif tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar