Ramadan yang Bahari
Radhar Panca Dahana ;
Budayawan
|
MEDIA INDONESIA, 29 Juni 2015
SEBENARNYA apa arti Ramadan bagi kita, manusia
Indonesia? Apa arti puasa wajib di bulan suci itu? Terus terang, saya agak
khawatir dengan jawaban-jawaban yang tersedia untuk itu, terutama ketika
mengacu pada praksisnya. Setidaknya di sebagian atau bahkan bisa jadi di
kalangan mayoritas publik kita.
Seperti biasa, saya tidak akan memenuhi
tulisan ini dengan berbagai kutipan, mengenai makna, hikmah, hingga aturan
fikih tentang puasa, baik dari kitab suci, hadis, maupun ungkapan para ulama
yang berijtihad. Saya hanya ingin melihat dan belajar bagaimana praksisnya
dalam keseharian kita. Karena sesungguhnya ayat-ayat yang suci itu ada dalam
hidup dan dunia di sekeliling kita, di mana arti, makna dan hikmahnya
terhijab oleh fakta, data, dan peristiwa (fenomena) yang ada dan terjadi di
sekitar kita, setiap hari, setiap saatnya. Ayat dan kitab menjadi kosong bila
ia hanya menjadi catatan kaki (footnote), bukan menjadi rekam jejak (footprint).
Macam sebuah pertanyaan, sebenarnya kita
melaksanakan puasa Ramadan itu sungguh karena (perintah) Allah, atau hanya
karena ia sudah menjadi tradisi (yang begitu kuat terinternalisasi sejak kita
kanak-kanak)? Bila karena satu sebab, misalnya, kita tidak puasa atau batal
puasanya, kita sungguh merasa dosa (lantaran paham maksudnya) atau sekadar
merasa `bersalah' karena tradisi tubuh itu kita langgar? Semacam kita merasa
bersalah (bisa jadi berdosa) karena suatu kali tidak mengikuti perintah
orangtua, padahal biasanya selalu?
Semacam juga kita merasa bersalah bangun
kesiangan karena terbiasa bangun lebih dini; tidak mudik karena tertradisikan
untuk selalu mudik; bolos sekolah karena sejak PAUD kita diajarkan untuk
selalu masuk sekolah? Dan seterusnya....
Maka saya bertanya kepada seorang sahabat,
yang sejak usia 5 tahun hingga 50 tahun kemudian, tidak pernah bolong puasa
Ramadannya, apakah dia masih berpuasa setelah menonton sepotong video porno,
sebagaimana hobinya? “Masih dong,“ katanya.“Itu artinya kamu tidak minum dan
makan, kan?“ tanya saya lagi. “Kecuali sebelum imsak tadi,“ jawabnya polos.
Saya pun tersenyum, seperti terlihat bangga padanya.
Saya tidak membenarkan sahabat saya. Namun,
tampaknya ia menjadi representan atau simbol sekurangnya dari cara kita
berpuasa Ramadan. Selama kita tidak makan dan minum, perut tetap berpuasa,
tetapi bagian-bagian lain (mata, telinga, lidah, kata-kata, pikiran, hati,
dsb) ternyata tidak berpuasa, kita merasa sah melanjutkan ibadah Ramadan itu,
dan turut berbuka bersama yang lain.
Maka saya akan tetap berpuasa ketika saya
asyik menggosip atau menggunjingkan orang, teman, atau sendiri kita. Saya
akan tetap bukber, tarawih, dan mengaji tiap malam, sahur dan berpuasa hingga
magrib, walau mata dan telinga saya melihat dan mendengar hal tak senonoh,
pikiran kita mengotori akal sehat, bahkan mengutil rezeki orang lain hingga
mencuri uang negara alias korupsi, lalu mendermakan sebagian kecilnya untuk
infak, zakat, sumbangan masjid, panti asuhan, atau sekadar takjil gratis.
Bila ada 10 bagian dari diri kita yang
`ilahiah' ini ternyata ada satu bahkan sembilan bagian tidak menjalankan
aturan puasa, tapi perut tetap menjalankannya, kita akan menyatakan, “Saya
(masih) puasa.“ Mungkin kurang berkualitas puasanya, kata sebagian secara
apologetik. Puasa ternyata secara sosial ada grade-nya. Lalu apa grade-nya
bila sebagian besar, tujuh hingga sembilan bagian dari kita, kecuali perut,
tidak puasa? Jawaban akan beragam, tentu. Namun, apakah bukan kenyataan itu
menunjukkan ketidakutuhan integritas kita, keterbelahan pribadi dan
keyakinan, sikap hipokrit?
Mengurangi `lebih dari
lebih'
Ada fakta lain yang dapat dibuktikan bila Anda
mau dan mampu? Bahkan seorang wadam atau waria, yang bermata pencaharian
menjual jasa `seksual' di malam hingga dini hari, masih ada yang tetap puasa
dan mengaji saat subuh sepulang dari kerja atau `praktik'-nya. “Karena saya
harus mengajari dan membiasakan kedua anak saya, mendengar suara orang ngaji
saat ia bangun pagi. Apalagi jika itu suara bapaknya,“ salah seorang dari
wadam itu bercerita.
Tahukah Anda, bila seorang muncikari atau
germo menawarkan (tepatnya mendagangkan jasa seksual) dari anak buahnya,
setelah ia buka puasa dan salat magrib?
Bahkan sang PSK pun sebagian `libur' siang untuk
menjalankan ibadah Ramadan dan melanjutkan kerjanya setelah puasa hari itu
lewat. Bagaimana pikiran dan hati kita mendengar, melihat, dan coba memahami
semua realitas itu? Saya tak bisa menggambarkan. Bahkan bukan hanya mati dan
hati, pikiran pun menitikkan air yang menetes tanpa dapat kita usap atau
keringkan.
Tidak seluruh fakta saya mewakili mayoritas,
tentu saja. Namun, contoh-contoh yang saya sebut mewakili pertanyaan
spiritual, sikap dan tindak beragama kita, Islam khususnya, puasa Ramadan
dalam hal ini. Ini menjadi refleksi untuk segala, ibadah kita di bagian yang
lain, agama yang lain, sikap spiritual dan keberagamaan kita. Karena
segalanya adalah hasil dari proses dan dinamika kebudayaan kita. Semua itu
adalah hasil dari kita bermasyarakat, berbangsa, dan berbudaya. Sebagian, mau
tak mau, diakui jujur atau tidak, adalah juga bagian dari diri kita, jati
diri bangsa kita.
Ramadan, yang para ustaz pasti menyatakan
adalah bulan yang kita tunggu, yang kita harus berterima kasih karena masih
dipertemukan dengannya, ternyata tidaklah selalu kita posisikan sebagaimana
makna, hikmah, nilai, dan berkah yang terkandung di dalamnya. Di mana puasa,
khususnya Ramadan, sekurangnya adalah sebuah exercise yang sangat dan sangat
penting bagi kaum muslim, bukan untuk membatasi, tapi `me ngurangi' apa pun
yang selama ini `berlebih' ia lakukan, konsumsi, katakan, bayangkan, dan
seterusnya.
Telah sejak 1,5 milenia lalu Islam datang
dengan kesadaran akan dunia yang sangat modern, dunia yang ditandai oleh
adagium to have more not to be more.
Dunia yang menawarkan bahkan mengimperasi kita untuk mendapatkan lebih dan
`lebih dari lebih'. Sesungguhnya, bahkan makanan dan minuman yang kita telan
setiap hari berlebih. Menimbulkan `lebihan-lebihan' dalam bentuk lemak,
kolesterol, asam urat, hipertensi, atau hiperkalemia dan lainnya, sehingga
untuk itu kita membutuhkan berbagai sarana/jasa baru seperti fitness center,
kursus yoga, program diet, hingga operasi plastik --yang notebene berbiaya
tinggi--hanya untuk menghilangkan atau mengurangi apa yang begitu rajin kita
buat berlebih.
Puasa Ramadan adalah peringatan dan latihan
untuk kita hidup `kurang'. Dengan mengurangi makan dan minum hanya di dua
waktu saja, kita mestinya sadar, ternyata hidup kita tidak kurang apa pun.
Tidak kurang fit, tidak kurang sadar, tidak kurang kreatif, tidak kurang
rezeki, dst. Lalu kenapa kita harus makan minum berlebih, 3 kali atau lebih,
plus camilan, jajanan, dan sebagainya?
Dan apa yang terjadi dalam tradisi Ramadan
kita? Di saat kita diminta untuk `kurang', justru uang belanja kita semasa
Ramadan meningkat tajam hingga 200% bahkan lebih! Di saat kita berusaha
kembali `fitri' karena latihan `kurang' kita memberi hikmah dan kesadaran
baru sehingga lahirlah satu manusia (muslim) baru, kita malah berpesta
pora.Hanya untuk makan dua hari Lebaran saja kita menyediakan makanan yang
cukup untuk satu minggu, dengan nilai yang mungkin 1.000% lebih mahal dari
biasanya.
Kita berlebih dengan beli baju baru, sepatu
baru, cat rumah baru, mungkin kendaraan baru, mudik dengan biaya aduhai
mahal, dan seterusnya. Lalu kita pun sepanjang Ramadan memerah keringat dan
air mata lebih banyak untuk menambal beban yang luar biasa itu. Tindak
menyimpang bahkan manipulatif atau koruptif harus dilakukan demi tradisi itu.
Betapa Ramadan telah membuat kita justru menjadi begitu rakus akan semua yang
bersifat material, yang duniawi?
Lalu apa kedudukan, fungsi, peran, dan hikmah
Ramadan selama ini, selama bertahun, dekade, dan abad bagi kita kaum muslim
Indonesia? Adakah praksis ibadah Ramadan kita membantu bangsa, pemerintah
juga diri kita sendiri, untuk merintis atau menciptakan perbaikan atau
pembaru an, setidaknya dalam si kap mental, perilaku, moralitas, atau
integritas? Apakah ada diri, kelompok, atau bangsa ini mengalami `kefitrian',
pembaruan diri, atau semacam renaissance kecil setiap usai Ramadan?
Bila semua jawaban di atas negatif, tidaklah
kita selayaknya becermin pada eksposisi faktual di atasnya dan merenung:
kenapa semua itu terjadi? Kenapa ia menjadi masif, kolektif, dan-¬entah
sedikit atau banyak--kita ada di dalamnya? Apa yang keliru, dalam diri kita,
agama, sikap keberagamaan, atau...?
Puasa bahari itu
Tentu saja saya tidak akan menuding. Apalagi
kepada hal-hal yang bersifat religius, entah itu tauhid, syariah, atau
fikihnya, apalagi kepada para ulama yang bijaksana. Akan lebih baik kita
memeriksa diri kita sendiri, bila ternyata cara kita beragama selama ini
ternyata selalu diselubungi ¬jika tidak dinternalisasi--oleh ilusi. Ilusi
akan kenyataan yang sangat material, yang sesungguhnya pragmatis hedonis,
yang justru melawan atau mengkhianati agama kita sendiri, tepatnya kedalaman
spiritualitas kita.
Kedalaman spiritualitas yang saya maksud kan
ialah spiritualitas dari bangsa ini yang sesungguhnya memiliki basis sangat
luhur dan mulia.Maaf bila saya harus katakan sekali lagi, dan akan berulang
kali, basis itu ada dalam sebuah peradaban yang bernama bahari, maritim kata
sebagian orang. Basis itu sangat sederhana sebenarnya. Seorang yang berilmu
(dari bahasa Arab ilm, masdarnya alim atau allamah untuk berilmu dan ulama
transliterasi jamaknya dalam Melayu), tidak akan dianggap alim, apalagi
disebut ulama, bila pengetahuannya hanya berhenti pada memori atau sistem
kognitifnya.
Semua ia yang ketahui akan menjadi (disebut)
ilmu ketika ia menjelma dalam
praksis, dalam hidup kesehariannya. Terutama
dalam kemaslahatan sosial dari semua tindakan-tindakannya, baik yang mental
maupun fisikal. Elmu kuwi kalakone
nganti laku, begitu kearifan jawab mengatakan. Maka, seorang ulama,
misalnya, dalam dunia bahari, tidak diukur dari kecakapan lisan, retorika
atau jumlah kutipan yang ia slogankan, tapi dari faedah dan akibat baik
perbuatan dan produksi kulturalnya. Orang Jawa menyebut apa pun yang seperti
dengan `ki' atau `kiai'.
Bila seseorang secara kognitif tahu banyak,
belajar lama, baca banyak, mungkin doktor atau profesor di banyak lembaga,
tentu ia memosisikan dirinya `lebih tahu' dari yang lain. Ada perasaan
dominan, suprematif atau otoritatif, yang pada tingkat mental menjadi semacam
arogansi, keangkuhan, dan untuk kaum medioker menjadi sikap yang tengik.Tegak
bahkan tengadah, melihat yang lain lebih keci atau lebih di bawah.
Seorang ulama atau kiai dalam hidup bahari,
justru sebaliknya. Sistem kognisi berperan, tapi tidak utama, sebagai bagian
wajar dari pengetahuan secara keseluruhan. Karena, ilmu dalam tradisi bahari
tidak berhenti di cip atau server di otak bagian kiri kita saja, tetapi ia
menjalar dan mengendap di kulit, tangan, jari, dengkul, bahu, mata, telinga,
rambut, jantung, darah, dan seluruhnya. Seluruh bagian kemanusiaan kita yang
`ilahiah' itu berilmu.
Ilmu, bila itu datang dari ayat-ayat suci,
sudah menjelma ke dalam hidup dan diri kita.Kitalah ayat-ayat itu. Karenanya,
dalam adab bahari sesungguhnya praktik atau dimensi spiritual itu sudah
menyatu dalam hidup (keseharian) kita. Tidak terpisah. Apalagi menjadi
semacam logos yang struktur dan metode artifisialnya. Apa yang imanen itu
transenden.
Bukankah Nabi Muhammad sendiri mempraktikkan
itu? Sebagai buta huruf, tentu saja ia tidak membaca Alquran, tetapi ia
menjelmakannya, menjadikan sebagai the living Koran, Quran yang hidup,
sehingga apa yang ia katakan dan perbuat adalah contoh terbaik dari praksis
Alquran, menjadikkan semuanya sebagai Sunatullah, sebagai tandem satu-satunya
dari Alquran sendiri. Tidakkah Islam sesungguhnya adalah hikmah dari kata
`guru' dalam adab bahari.
Guru bahari kita kenal sebagai akronim.`Gu'
berarti digugu, diacu dan dijadikan patokan. `Ru' berarti ditiru, dicontoh.
atau menjadi eksemplar yang bisa diikuti. Maka dalam Islam, kita mengacu pada
Alquran dan meniru hidup Nabinya. Sebagaimana ulama, kita mengacu pada nilai,
moralitas, hingga etika dan estetikanya, dan lalu kita mengikuti, meniru,
menela dani cara-cara hidupnya sebagai santri.
Bukankah itu --tidak sebaik nya--berlaku pada
semua ibadah kita. Terlebih dalam puasa Ramadan. Bukankah sekadar retorika
atau apologia bila puasa hanya terjadi pada perut atau 2-3 bagian tubuh lain
nya? Tidakkah praksis (dari puasa) itu menggambarkan secara langsung (ilmu
atau) keimanan kita? Apakah kita akan membiarkan, sebagai manusia bahari, puasa
kita cacat, tambal sulam sebagai refleksi dari tauhid atau keimanan kita? Saya
percaya, Anda akan menjawabnya dengan negatif. Alhamdulillah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar