Dialog Pemerintah dan Dunia Usaha
Firmanzah ; Rektor Universitas Paramadina dan Guru Besar
FEUI
|
KORAN SINDO, 29 Juni 2015
Tulisan John McBeth,
seorang analis Australia, yang berjudul The
Indonesia Economy: Dangers Ahead sangat menarik untuk kita cermati.
Tulisan yang dirilis (22/6) di situs Australian
Strategic Policy Institute itu menggambarkan sejumlah kondisi dan
tantangan perekonomian nasional saat ini.
Kondisi perekonomian
nasional memang sedang tidak menggembirakan, khususnya pada sejumlah
indikator ekonomi yang menunjukkan tren perlambatan, seperti menurunnya
konsumsi domestik yang selama ini menjadi motor utama perekonomian nasional.
Hal ini berakumulasi
dan menjadi risiko ketidakpastian yang memukul kepercayaan, baik produsen
maupun konsumen seperti yang telah saya sampaikan pada pekan lalu (22/06)
dalam tulisan ”Meredam Risiko Ketidakpastian” di koran ini.
Risiko ketidakpastian
yang tadinya bersumber dari eksternal, setelah The Fed masih mengulur
keputusan menaikkan suku bunga acuan, telah berdampak pada tingkat
kepercayaan domestik terhadap prospek perekonomian nasional.
Beberapa sinyal
penting untuk segera direspons pemerintah tidak hanya pada ekonomi makro,
melainkan juga sejumlah indikator sektor riil. Pertumbuhan ekonomi hanya
mencapai 4,7% pada triwulan 1 2015, dan menurut saya akan sulit untuk
mencapai pertumbuhan 5,7% di tahun ini seperti target APBN-P 2015.
Meski tren perlambatan
ekonomi Indonesia sejak triwulan III 2012, yang paling tajam terjadi pada
triwulan I 2015, di mana ekonomi hanya tumbuh 4,7%.
Beberapa indikasi
semakin terpuruknya perekonomian nasional selain perlambatan dapat dilihat
dari kinerja ekonomi triwulan 1 2015 lainnya seperti pelemahan sektor
industri, menurunnya pertumbuhan penyaluran kredit perbankan, depresiasi
nilai tukar rupiah yang berkepanjangan, masih tertekannya ekspor, tidak
optimalnya penerimaan pajak, konsumsi masyarakat yang menurun, dan
sebagainya.
Tentunya ini merupakan
potret ekonomi yang kurang bersahabat bagi pengelola kebijakan. Tantangan
pengelolaan ekonomi negara memang tidak semudah yang dibayangkan.
Kompleksitas yang terkandung di dalamnya kerap menyulitkan bagi pemerintah
untuk dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berkualitas dan inovatif.
Namun, perlu dicatat, kita memiliki banyak pengalaman menghadapi berbagai
tekanan ekonomi baik eksternal maupun internal sepanjang periode 2008-2012.
Tantangan yang kita
hadapi selama kurun waktu tersebut bahkan menurut saya tidak kalah berat
dibanding saat ini. Namun, Indonesia mampu melewati gejolak tersebut dan
mendapat apresiasi yang besar dari dunia internasional sebagai negara yang
mampu memainkan orkestrasi kebijakan ekonomi dengan baik sehingga
perekonomian nasional tetap tumbuh kuat dan berkelanjutan. Tidak sedikit
negara pada saat itu terus melakukan pendekatan ke Indonesia untuk
mendapatkan resep-resep pengelolaan ekonomi yang dilakukan pada saat itu.
Kebijakan yang tepat
dan terukur saat itu dirumuskan dengan tetap mempertimbangkan makroprudensial
tanpa membahayakan keberlangsungan sektor riil adalah kebijakan yang kita
butuhkan sekarang. Setidaknya dua momentum pelajaran berharga dari
keberhasilan mengelola risiko ketidakpastian ekonomi, yakni pada 2008 dan
2011. Meski risiko pada kedua momen tersebut memang lebih banyak disebabkan
oleh tekanan eksternal, sedangkan saat ini banyak disebabkan oleh tekanan
internal, seperti perlambatan konsumsi akibat menurunnya daya beli
masyarakat, minimnya serapan belanja pemerintah, dan tidak bergairahnya dunia
usaha, keduanya membutuhkan respons kebijakan yang tidak hanya cepat, tetapi
juga efektif.
Pemerintah saat ini
harus berhadapan dengan dua front sekaligus. Pertama, memitigasi dampak
ketidakpastian perekonomian global. Kedua , meningkatkan kepercayaan para
pelaku ekonomi tentang prospek ekonomi nasional untuk mencegah semakin
memburuknya kondisi perekonomian seperti penutupan fasilitas produksi dan
meluasnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) akibatsemakin lesunya
perekonomian dalam negeri.
Belajar dari
penanganan krisis 2008 dan 2011, saat itu Indonesia memperkuat koordinasi
kebijakan lintas sektoral, koordinasi sektor fiskal-moneter-riil, serta
memperkuat komunikasi dengan dunia usaha. Menurut saya, ketiga hal ini perlu
segera tercermin dari langkah-langkah strategis pemerintah dan otoritas lain.
Ketidaksinkronan
kebijakan lintas sektor harus dihindari agar market dan pelaku ekonomi
memahami benar dan bisa mengikuti arah kebijakan pemerintah. Stimulus fiskal
yang terarah dan terpadu yang menyasar pada dua sector sekaligus yaitu ke
konsumen dan produsen membutuhkan sinkronisasi kebijakan lintas kementerian/lembaga,
lintas otoritas, dan kerja sama pusat-daerah. Tanpa adanya keterpaduan,
kebijakan yang dihasilkanhanyabersifat sporadis, sehingga tidak banyak
membantu untuk keluar dari kondisi saat ini.
Salah satu langkah
yang menonjol dan secara intensif dilakukan pemerintah pada penanganan krisis
2008 dan 2011 yakni dialog dan koordinasi dengan dunia usaha. Hal ini
dimaksudkan tidak hanya untuk mendapatkan masukan- masukan dari dunia usaha,
melainkan juga digunakan sebagai media untuk mengajak dunia usaha bersama-sama
pemerintah dalam mengatasi krisis pada saat itu.
Lebih spesifik lagi,
pemerintah pada saat itu meminta dunia usaha untuk tidak panik dan tidak
melakukan aksi-aksi korporasi yang justru semakin menekan ekonomi nasional.
Kita tentu ingat dalam banyak kesempatan pemerintah bersama dunia usaha yang
diwakili sejumlah organisasi seperti Kadin, Apindo, dan asosiasi lainnya
terus berkoordinasi merespons sejumlah perkembangan ekonomi global dari hari
ke hari. Ini berbuah positif dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu
negara yang berhasil mengelola risiko pada saat itu.
Berkaca pada
pengalaman tersebut, Presiden Jokowi dan pemerintahan saat ini perlu kembali
menggalakkan dialog ini, khususnya di tengah terjadinya pelemahan daya beli
masyarakat, penurunan kinerja dunia usaha (perbankan, industri manufaktur,
UMKM, dan sebagainya), dan tekanan berkepanjangan pada pasar modal dan pasar
uang yang terus terjadi. Dunia usaha merupakan salah satu elemen yang
berpotensi besar membantu pemerintah dalam mengakselerasi sejumlah kebijakan
strategis yang dapat menjadi solusi pengelolaan ekonomi nasional. Koordinasi
dan ruang dialog bersama dunia usaha perlu untuk terus diperkuat dan
diperluas agar kebijakan Presiden Jokowi di sektor ekonomi dapat berjalan
optimal.
Risiko pada tahun 2015
ini perlu dicermati dan diwaspadai karena telah mengganggu daya beli
masyarakat yang selama ini menjadi tumpuan pertumbuhan perekonomian nasional.
Menjaga daya beli masyarakat menurut saya adalah hal urgen yang perlu
dilakukan pemerintah saat ini. Salah satu upaya tersebut adalah membangun
dialog dan koordinasi bersama dunia usaha dengan tujuan agar dunia usaha dapat
berperan aktif seperti menahan diri untuk tidak melalukan PHK dalam waktu
dekat, mempertahankan aktivitas usahanya, bahkan mendorong investasi dalam
negeri, serta meningkatkan partisipasinya dalam sejumlah proyek pembangunan
yang telah dicanangkan. Dengan langkah-langkah ini kita berharap tidak
terjadi bencana ekonomi yang lebih dalam akibat lesunya kondisi ekonomi yang
tengah kita hadapi saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar