Politik
Pengemis
EH Kartanegara ; Wartawan
|
KORAN TEMPO, 08 Juni 2015
Mereka berpakaian
compang-camping, dekil, kotor, dan bau-sebagian membawa tongkat kayu.
Berkeliaran-tepatnya, bergerilya, penuh selidik-ke sudut-sudut kampung; meminta-minta
dari rumah ke rumah penduduk. Anehnya, para pengemis itu juga suka ngumpul
malam hari; berpesta-entah dapat dana dari mana.
Para pengemis yang
dikisahkan dalam komik populer Panji Tengkorak karya maestro Hans Jaladara
itu memang bukan sembarang pengemis. Mereka, menurut Seno Gumira Ajidarma
dalam Horison Esai Indonesia, Kitab
2 (2004), tak lain kamuflase orang-orang Partai Pengemis-sebuah partai dengan
kerapian struktur organisasi klandestin, mirip manajemen partai modern.
Para pecandu komik
yang terkenal sejak 1970-an itu sejatinya dapat membaca filsafat politik
partai yang sungguhpun ditampakkan sebagai segerombolan pengemis, orientasi
mereka tetaplah kekuasaan; menjadi penjajah baru, penjarah, pemburu harta.
Poin itulah, menurut Seno, yang membedakan filsafat kepartaian mereka dengan
filsafat kegelandangan Panji Tengkorak. "Aku seorang pengemis, mereka
juga pengemis, tetapi aku bukan golongan mereka," kata Panji Tengkorak
dalam serial Walet Merah.
Sekarang ini
foto-foto, poster, dan bahkan baliho para peminta-minta dari golongan yang
berbeda dari komik mulai bermunculan di berbagai sudut sekitar 200 kota
maupun kabupaten yang akan mengikuti hajatan politik; pilkada serentak 2015.
Tentu penampilan mereka dibikin jauh lebih necis, pasang senyum, seakan tidak
meminta apa pun-kecuali, dalam bahasa eufemisme, sangat berharap memperoleh
dukungan suara dari calon pemilih.
Memasang potret
diri-disertai slogan yang entah apa maksudnya-sebagai sebuah kehadiran di
panggung politik, belum pernah ada presedennya dalam sejarah politik kita.
Sejarah politik kita adalah sejarah pemikiran intelektual, kaum terpelajar,
kaya ide besar yang bahkan menggentarkan pemerintah kolonial.
Ada sederet nama kaum
bangsawan ide (bukan bangsawan karena keturunan) yang karya-karyanya
mengilhami lahirnya berbagai pemikiran politik kebangsaan melewati zamannya.
Sebutlah Wahidin Soedirohoesodo, Soetomo, Tjipto Mangoenkoesoemo, Boedi
Oetomo, Tjokroaminoto, Kiai Ahmad Dahlan, Kiai Wahid Hasyim, Sukarno, Hatta,
Syahrir, Tan Malaka, Ki Hadjar Dewantoro, juga Kartini yang oleh sejarawan
George McT Kahin disebut sebagai pelopor pembaruan pendidikan di Indonesia,
dan masih ada puluhan nama cemerlang lainnya.
Percikan-percikan
pemikiran yang menerangi zaman itulah yang sejak era Reformasi meredup dan
digantikan oleh gambar-gambar para peminta-minta. Bagaimana bisa meyakinkan
orang lain untuk mempercayai akan terjadi perubahan lebih baik di masa depan
bila panggung politik kita tak hanya ganjil-tidak merangsang untuk menggeladi
berbagai ide politik-melainkan tak lebih dari arena amatir orang-orang partai
yang cuma mau pamer penampilan diri?
Nasihat Panji
Tengkorak kepada si cantik Walet Merah yang terkecoh oleh ideologi
kepengemisan para peminta-minta itu-seperti dikutip Seno: "Orang-orang
asing itu memang harus dienyahkan, tetapi bukan berarti kau harus mati-matian
membela mereka... Aku khawatir kau hanya diperalat." Kita bukan Panji
Tengkorak atau Walet Merah, kita punya pertimbangan politis sendiri untuk
menyikapinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar