Kamis, 04 Juni 2015

Pilkada dan Uang Survei Kepala Daerah

Pilkada dan Uang Survei Kepala Daerah

Asrinaldi Asril  ;   Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas, Padang
KOMPAS, 04 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Keinginan banyak pihak untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah yang bersih sepertinya masih sulit diwujudkan. Masalahnya, aturan dalam UU yang melarang partai politik untuk meminta "uang mahar" atau "uang perahu" kepada calon kepala daerah ternyata masih dilanggar. Permintaan terhadap "uang perahu" kini menggunakan modus lain, yaitu uang survei. Bahkan, menjelang pendaftaran calon kepala daerah, praktik permintaan uang survei ini semakin marak di daerah yang akan melaksanakan pilkada pada Desember 2015.

Setiap kandidat diwajibkan menyetorkan sejumlah uang yang sudah ditetapkan pengurus partai. Alasannya, uang tersebut akan digunakan untuk survei internal yang bertujuan mengetahui elektabilitas dan nominasi kandidat untuk diusulkan kepada pengurus pusat partai.

Setiap calon kepala daerah menyetor dengan jumlah yang sama sehingga apabila diakumulasikan jumlahnya menjadi besar. Apalagi dengan munculnya banyak bakal calon yang mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah, tentu uang yang diterima partai di daerah juga semakin banyak.

Modus baru permintaan sejumlah uang ini merusak norma pilkada yang sudah disusun dengan baik. Pembiaran terhadap masalah ini jelas semakin menurunkan kepercayaan publik kepada partai politik. Bahkan, bukan tidak mungkin praktik seperti ini menjadi sumber sengketa baru antara partai politik dan calon yang sudah menyetor, tetapi gagal diusung partai tersebut.

Kebijakan pengurus daerah terkait dengan kewajiban penyetoran sejumlah uang dalam pencalonan memang mengundang tanya. Apakah memang survei tersebut menjadi keharusan?

Selama ini, kalaupun ada survei, biasanya pengurus partai politik tidak memungut uang kepada calon yang mendaftar. Namun, perubahan peraturan yang melarang partai politik meminta sejumlah uang kepada bakal calon kepala daerah rupanya telah mengubah modus pungutan.

Fenomena uang survei ini jelas perlu mendapat perhatian, terutama dari penyelenggara pilkada, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu. Selain tidak sesuai dengan upaya memperbaiki kualitas pilkada, uang survei yang dibebankan kepada bakal calon juga menyebabkan tidak efisiennya pelaksanaan pilkada.

Pembusukan demokrasi

Jika diperhatikan, perilaku politisi di daerah memang belum berubah dalam pelaksanaan pilkada. Berbagai cara mereka lakukan untuk mendapatkan keuntungan dari pilkada tersebut. Perilaku seperti ini tentu bertentangan dengan semangat masyarakat yang menginginkan pilkada dapat menghasilkan kepala daerah yang berkualitas dan berintegritas.

Sebenarnya, tanpa melaksanakan survei elektabilitas terhadap calon pun, partai politik sudah bisa menilai kelayakan calon yang mendaftar untuk diusulkan menjadi kepala daerah. Mengapa demikian?

Setiap partai politik memiliki pengurus dan anggota hingga ke tingkat RT dan RW yang dapat dijadikan referensi untuk memberikan penilaian terhadap calon yang mendaftar kepadanya. Seandainya partai politik telah melaksanakan fungsinya dengan baik, tentu pemetaan terhadap calon kepala daerah yang akan diusulkan menjadi gubernur, bupati, atau wali kota menjadi tanggung jawabnya.

Modus setoran dari calon untuk melaksanakan survei ini menimbulkan pertanyaan banyak pihak mengapa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota tersebut tidak mengantisipasi hal ini. Sebab, dari apa yang terlihat, motivasi mereka tidak lain adalah untuk mengambil keuntungan dari proses pendaftaran para bakal calon kepala daerah.

Mereka mencari celah dari aturan yang melarang pungutan dengan selubung kegiatan yang dianggap legal. Jika dari awal calon kepala daerah ini sudah dibebani dengan pungutan terselubung dari partai politik, tentunya hal ini akan berdampak pada motivasinya dalam menyelenggarakan pemerintahan.

Pada akhirnya, pilkada yang diharapkan dapat menghasilkan kepala daerah berkualitas dan berintegritas sulit diwujudkan.

Tanpa mereka sadari, modus seperti ini jelas berdampak kepada pembusukan terhadap institusi demokrasi yang sedang dibangun. Bagaimana tidak, pilkada berkorelasi langsung dengan pembentukan kelembagaan demokrasi, dalam hal ini pemerintah daerah.

Melalui pilkada diharapkan muncul kepala daerah yang memiliki kompetensi dan berintegritas dalam membangun tata kelola pemerintahan yang baik. Keinginan yang tersirat dalam UU pilkada sebenarnya sejalan dengan apa yang dikemukakan Fukuyama dalam Political Order and Political Decay (2014), bahwa tata kelola pemerintahan yang baik menjadi salah satu pilar dalam membangun tertib politik sekaligus memperkuat eksistensi negara. Namun, sangat disayangkan, aturan hukum yang mengatur tentang pilkada masih dinodai praktik pungutan dengan modus baru yang bertentangan dengan nilai demokrasi yang ingin dikembangkan.

Pengaruhi motivasi

Sulit dinafikan, keadaan ini akan memengaruhi motivasi calon kepala daerah setelah terpilih nantinya. Mau tidak mau, sejumlah uang yang sudah dikeluarkan saat pendaftaran menjadi kepala daerah akan dihitung sebagai pengeluaran yang harus dikembalikan. Dampak ini tidak dipikirkan pengurus partai di daerah karena ingin mengambil keuntungan sesaat.

Fakta adanya pungutan kepada calon kepala daerah menegaskan tentang perlunya reformasi di dalam partai politik, terutama masalah sikap dan mental sebagai pengurus partai di daerah. Memang bukan hal yang mudah menjadikan partai politik sebagai lembaga politik modern, namun harus dilakukan.

Kejadian ini juga menunjukkan tentang kondisi internal partai politik kita yang masih rendah kualitasnya. Inilah yang harus kita benahi agar ke depan bisa menghasilkan pilkada yang berkualitas pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar