Pilkada
dan Uang Survei Kepala Daerah
Asrinaldi Asril ; Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas,
Padang
|
KOMPAS, 04 Juni 2015
Keinginan banyak pihak
untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah yang bersih sepertinya masih sulit
diwujudkan. Masalahnya, aturan dalam UU yang melarang partai politik untuk
meminta "uang mahar" atau "uang perahu" kepada calon
kepala daerah ternyata masih dilanggar. Permintaan terhadap "uang
perahu" kini menggunakan modus lain, yaitu uang survei. Bahkan,
menjelang pendaftaran calon kepala daerah, praktik permintaan uang survei ini
semakin marak di daerah yang akan melaksanakan pilkada pada Desember 2015.
Setiap kandidat
diwajibkan menyetorkan sejumlah uang yang sudah ditetapkan pengurus partai.
Alasannya, uang tersebut akan digunakan untuk survei internal yang bertujuan
mengetahui elektabilitas dan nominasi kandidat untuk diusulkan kepada
pengurus pusat partai.
Setiap calon kepala
daerah menyetor dengan jumlah yang sama sehingga apabila diakumulasikan
jumlahnya menjadi besar. Apalagi dengan munculnya banyak bakal calon yang
mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah, tentu uang yang diterima
partai di daerah juga semakin banyak.
Modus baru permintaan
sejumlah uang ini merusak norma pilkada yang sudah disusun dengan baik.
Pembiaran terhadap masalah ini jelas semakin menurunkan kepercayaan publik
kepada partai politik. Bahkan, bukan tidak mungkin praktik seperti ini
menjadi sumber sengketa baru antara partai politik dan calon yang sudah
menyetor, tetapi gagal diusung partai tersebut.
Kebijakan pengurus
daerah terkait dengan kewajiban penyetoran sejumlah uang dalam pencalonan
memang mengundang tanya. Apakah memang survei tersebut menjadi keharusan?
Selama ini, kalaupun
ada survei, biasanya pengurus partai politik tidak memungut uang kepada calon
yang mendaftar. Namun, perubahan peraturan yang melarang partai politik
meminta sejumlah uang kepada bakal calon kepala daerah rupanya telah mengubah
modus pungutan.
Fenomena uang survei
ini jelas perlu mendapat perhatian, terutama dari penyelenggara pilkada,
dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu. Selain tidak
sesuai dengan upaya memperbaiki kualitas pilkada, uang survei yang dibebankan
kepada bakal calon juga menyebabkan tidak efisiennya pelaksanaan pilkada.
Pembusukan demokrasi
Jika diperhatikan,
perilaku politisi di daerah memang belum berubah dalam pelaksanaan pilkada.
Berbagai cara mereka lakukan untuk mendapatkan keuntungan dari pilkada
tersebut. Perilaku seperti ini tentu bertentangan dengan semangat masyarakat
yang menginginkan pilkada dapat menghasilkan kepala daerah yang berkualitas
dan berintegritas.
Sebenarnya, tanpa
melaksanakan survei elektabilitas terhadap calon pun, partai politik sudah
bisa menilai kelayakan calon yang mendaftar untuk diusulkan menjadi kepala
daerah. Mengapa demikian?
Setiap partai politik
memiliki pengurus dan anggota hingga ke tingkat RT dan RW yang dapat
dijadikan referensi untuk memberikan penilaian terhadap calon yang mendaftar
kepadanya. Seandainya partai politik telah melaksanakan fungsinya dengan
baik, tentu pemetaan terhadap calon kepala daerah yang akan diusulkan menjadi
gubernur, bupati, atau wali kota menjadi tanggung jawabnya.
Modus setoran dari
calon untuk melaksanakan survei ini menimbulkan pertanyaan banyak pihak
mengapa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan gubernur, bupati,
dan wali kota tersebut tidak mengantisipasi hal ini. Sebab, dari apa yang
terlihat, motivasi mereka tidak lain adalah untuk mengambil keuntungan dari
proses pendaftaran para bakal calon kepala daerah.
Mereka mencari celah
dari aturan yang melarang pungutan dengan selubung kegiatan yang dianggap
legal. Jika dari awal calon kepala daerah ini sudah dibebani dengan pungutan
terselubung dari partai politik, tentunya hal ini akan berdampak pada
motivasinya dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Pada akhirnya, pilkada
yang diharapkan dapat menghasilkan kepala daerah berkualitas dan
berintegritas sulit diwujudkan.
Tanpa mereka sadari,
modus seperti ini jelas berdampak kepada pembusukan terhadap institusi
demokrasi yang sedang dibangun. Bagaimana tidak, pilkada berkorelasi langsung
dengan pembentukan kelembagaan demokrasi, dalam hal ini pemerintah daerah.
Melalui pilkada
diharapkan muncul kepala daerah yang memiliki kompetensi dan berintegritas
dalam membangun tata kelola pemerintahan yang baik. Keinginan yang tersirat
dalam UU pilkada sebenarnya sejalan dengan apa yang dikemukakan Fukuyama
dalam Political Order and Political
Decay (2014), bahwa tata kelola pemerintahan yang baik menjadi salah satu
pilar dalam membangun tertib politik sekaligus memperkuat eksistensi negara.
Namun, sangat disayangkan, aturan hukum yang mengatur tentang pilkada masih
dinodai praktik pungutan dengan modus baru yang bertentangan dengan nilai
demokrasi yang ingin dikembangkan.
Pengaruhi motivasi
Sulit dinafikan,
keadaan ini akan memengaruhi motivasi calon kepala daerah setelah terpilih
nantinya. Mau tidak mau, sejumlah uang yang sudah dikeluarkan saat
pendaftaran menjadi kepala daerah akan dihitung sebagai pengeluaran yang
harus dikembalikan. Dampak ini tidak dipikirkan pengurus partai di daerah
karena ingin mengambil keuntungan sesaat.
Fakta adanya pungutan
kepada calon kepala daerah menegaskan tentang perlunya reformasi di dalam
partai politik, terutama masalah sikap dan mental sebagai pengurus partai di
daerah. Memang bukan hal yang mudah menjadikan partai politik sebagai lembaga
politik modern, namun harus dilakukan.
Kejadian
ini juga menunjukkan tentang kondisi internal partai politik kita yang masih
rendah kualitasnya. Inilah yang harus kita benahi agar ke depan bisa
menghasilkan pilkada yang berkualitas pula. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar