Pendidikan
dan Pasar Tenaga Kerja
Dinna Wisnu ; Pengamat
Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate
School of Diplomacy
|
KORAN
SINDO, 10 Juni 2015
Akhir tahun 2015 ini adalah batas persiapan untuk
menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Ada harapan, baik tersirat maupun
tersurat, dari negara-negara ASEAN yang memiliki cita-cita bahwa MEA ini akan
mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi seperti yang terjadi di Masyarakat
Uni Eropa.
Namun demikian, dibalik harapan tersebut ada segaris
kecemasan terjadinya kompetisi di antara sumber daya manusia (SDM)
negara-negara ASEAN. Mereka yang memiliki kualitas pendidikan terbelakang
akan terjungkal dan menjadi jajahan.
Kira-kira demikian ketakutan yang disimpulkan dari berbagai
tulisan tentang pendidikan dan MEA.
Ketakutan itu adalah wajar karena dunia pendidikan kita
selalu menghebohkan setiap kali terjadi pergantian menteri yang biasanya
diikuti pergantian kurikulum.
Banyak sekolah dasar yang tidak layak dan hampir roboh,
namun terus digunakan karena manajemen sekolah yang korup.
Belum lagi dengan tenaga pengajar yang tidak dapat
meningkatkan kualitas diri mereka karena penghargaan gaji yang sangat rendah.
Jangankan memikirkan untuk meningkatkan kapasitas anak didik, meningkatkan
kapasitas diri mereka sendiri saja sudah sangat berat.
Apa yang menarik adalah bahwa perasaan ini sebetulnya
tidak eksklusif dirasakan oleh Indonesia saja, tetapi juga negara-negara
ASEAN lain. Alih-alih menyambut gembira terbukanya peluang bekerja di luar
negeri, sebagian besar justru ketakutan bahwa periuk nasi di dalam negeri
akan diambil oleh warga dari negara anggota ASEAN yang lain.
Hal ini relatif agak berbeda dengan pemerintah dan warga
masyarakat Uni Eropa yang cenderung bersikap positif terhadap liberalisasi
tenaga kerja mereka. Mereka menyebutnya sebagai kebebasan bergerak bagi
pekerja (free movement of workers).
Kebebasan bergerak ini dijamin dalam Treaty
on the Functioning of the European Union pasal 45. Tidak boleh ada
anggota yang melarang warga dari anggota negara lain untuk bekerja.
Larangan hanya boleh dikaitkan sepanjang menyangkut
keamanan, prosedur administrasi, atau seandainya memang mengganggu pasar
tenaga kerja di dalam negeri. Itu pun perlu disertai dengan bukti-bukti.
Larangan yang berlaku di saat ini oleh beberapa negara anggota Uni Eropa dan
diterima alasannya oleh Komisi Eropa adalah soal pembatasan akses kerja
terhadap warga Kroasia yang baru bergabung pada 1 Juli 2013 lalu.
Sejumlah keluhan atas prinsip kebebasan bergerak tersebut
tidak berarti hilang.
Keluhan yang paling lantang mengkritisi kebijakan tersebut
terutama berasal dari Inggris. Inggris menuduh bahwa kebijakan tersebut telah
membuat angka pengangguran meningkat, membebani pelayanan dan fasilitas infrastruktur,
dan terutama menuduh bahwa pencari kerja itu hanya mengincar tunjangan yang
baik di Inggris.
Keluhan ini dibantah oleh Komite Penasihat Migrasi yang
menyatakan bahwa ekonomi Inggris sebetulnya diuntungkan dengan adanya pekerja
dari luar Inggris. Tahun ini angka pengangguran di Inggris justru turun
paling rendah selama tujuh tahun terakhir. Dengan kata lain, kebebasan
pekerja untuk bergerak menguntungkan secara ekonomi walaupun tingkat
pengangguran tetap ada.
Perbedaan tanggapan atas MEA tidak lain disebabkan sejak
awal ASEAN memang tidak diarahkan untuk bergerak seperti kesatuan Uni Eropa,
sehingga tidak realistis sebenarnya untuk mengharapkan capaian keadaan yang
sama.
MEA dipersepsikan lebih sebagai sarana kompetisi bukan
konsolidasi pasar. Apakah negara-negara anggota EU (European Union) juga berkompetisi? Ya, mereka berkompetisi dan di
sini perbedaannya.
Kompetisi di antara warga negara EU adalah kompetisi yang
adil dan terbuka, karena sistem demokrasi dan hukum di setiap negara relatif
sama. EU memiliki konvensi yang wajib diratifikasi oleh setiap negara di
dalam sistem hukum nasional mereka. Misalnya larangan diskriminasi dalam
dunia kerja, penetapan standar upah minimum, penjaminan kebebasan berserikat
dan berunding, pemberian tunjangan, sistem asuransi, pesangon. Kemana pun
mereka pergi, para pekerja akan mendapatkan perlindungan yang relatif sama.
Di ASEAN hal itu tidak terjadi. Akibatnya, persaingan yang
timbul adalah persaingan yang tidak demokratis dan tidak fair. Malaysia dan Singapura hingga saat ini tidak memiliki
serikat buruh yang bebas. Serikat buruh di sana sama seperti SPSI di zaman
Orde Baru. Sederhananya, apabila ada warga kita yang bekerja di sana dan
mengalami masalah, mereka akan mengalami ”penyelesaian” yang mirip dengan apa
yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru.
Bagi Indonesia, keadaan itu bisa menguntungkan dan juga
merugikan. Keuntungannya bahwa MEA bisa memacu investasi lebih besar karena
kita memiliki tenaga kerja tidak terampil yang besar. Apabila seluruh sarana
infrastruktur yang dibayangkan oleh pemerintah Joko Widodo menjadi kenyataan,
perkembangan itu akan lebih mempercepat arus modal yang masuk.
Kerugiannya, kualitas hidup sebagian besar para pekerja
kita tidak akan lebih baik dari sekadar upah minimum, apalagi karena jumlah
tenaga kerja kurang terampil yang besar, sementara pekerjaan yang bernilai
upah tinggi akan tetap dikuasai oleh warga pemilik modal. Sektor industri
padat karya memang sektor produksi yang dapat menciptakan lapangan kerja dengan
cepat dan mengatasi pengangguran namun rapuh secara politik, karena tuntutan
perbaikan nasib setiap tahun dalam bentuk peningkatan upah minimum selalu
terjadi dan menimbulkan gejolak ekonomi dan politik.
Di sisi lain, MEA juga menjadi peluang bagi warga kita
yang memiliki keterampilan untuk pergi ke negara ASEAN lain untuk bekerja
dengan kondisi politik seperti yang telah dijelaskan di atas. Sebetulnya, di
sektor minyak dan gas, pekerja kita yang berketerampilan sudah banyak yang
bekerja di luar negeri.
Beberapa teman saya mengatakan posisi-posisi penting dan
strategis di perusahaan minyak Malaysia atau Brunei bahkan diisi oleh para
pekerja dan eksekutif dari Indonesia. Syaratnya memang para pekerja kita
tidak menikmati kebebasan politik seperti yang dirasakan di dalam negeri.
Berkaca dari pengalaman di Uni Eropa, kita menyimpulkan
bahwa negara-negara anggota ASEAN lebih merasakan MEA sebagai ancaman
ketimbang peluang. Iklan-iklan layanan publik yang diproduksi oleh
kementerian mengirimkan pesan bahwa MEA seperti sebuah masa kritis di mana
akan ada persaingan untuk merebutkan posisi mendominasi dan mereka yang tidak
didominasi akan sengsara. Mungkin para pembuat keputusan yang merancang
bangun MEA memiliki rasa positif terhadap penyatuan pasar, namun rasa
optimistis itu tidak ditularkan kepada pejabat politik yang berkuasa.
Perbaikan mutu pendidikan mutlak harus dilakukan, namun
jangan lantas membebani anak didik dengan berbagai ”persiapan” yang dianggap
dapat membantu mereka menang dalam kompetisi pasar tenaga kerja di masa
mendatang. Pendidikan yang baik menurut ukuran saya adalah pendidikan yang
dapat mendorong semaksimal mungkin hasrat, potensi, bakat, atau talenta anak
didik Indonesia dan bukan pendidikan yang membuat anak Indonesia seperti robot
yang dimekanisasi dengan segala persiapan materi belajar ”siap pakai”.
Dalam
sistem kapitalisme alias ekonomi pasar, kreativitas memiliki nilai tambah
yang lebih dibandingkan dengan pekerjaan yang manual. Yang harus dilakukan
negara adalah menjamin melalui sistem kesejahteraan bahwa anak didik kita
tidak akan sengsara dan menderita apabila mereka mencoba berkreativitas dan
mengeksplorasi diri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar