Mengembalikan Kredibilitas Pemerintah
Enny Sri Hartati ; Direktur
Eksekutif Indef
|
MEDIA INDONESIA, 15 Juni 2015
EKSPEKTASI publik segera adanya perbaikan
ekonomi terhadap pemerintahan Jokowi-JK sangat tinggi. Masyarakat sudah
terlalu lama menunggu adanya perbaikan kesejahteraan yang tak kunjung datang
walau sudah hampir 70 tahun merdeka. Alih-alih berbicara peningkatan
kesejahteraan, pemerintah pun belum mampu sepenuhnya mewujudkan hak
masyarakat yang paling mendasar untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan
yang layak. Angka pengangguran terbuka dan jumlah penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan masih cukup tinggi. Padahal, Pasal 27 ayat 2 UUD 45
jelas-jelas mengamanatkan hal itu. Belum lagi jika harus membandingkan dengan
ketertinggalan pembangunan ekonomi dari negara-negara tetangga sesama anggota
ASEAN. Jadi, wajar jika harapan masyarakat begitu besar terhadap pemerintahan
baru.
Sayangnya, setelah hampir delapan bulan
Kabinet Kerja bekerja, kondisi perekonomian tak kunjung membaik. Baik
masyarakat maupun dunia usaha justru semakin dihadapkan pada tekanan ekonomi
dan kondisi iklim usaha yang penuh ketidakpastian dan semakin rumit. Hasil
evaluasi Indef selama triwulan I dan kecenderungannya pada triwulan II 2015,
beberapa indikator ekonomi utama sudah menunjukkan sinyal lampu kuning. Di
antaranya, pertama, pertumbuhan ekonomi anjlok dan terjadi penurunan kualitas.
Pertumbuhan ekonomi triwulan I 2015 sebesar 4,7% merupakan pertumbuhan
terendah atau terburuk sejak 2009. Padahal, potensi autopilot sumber
pertumbuhan ekonomi domestik, yaitu konsumsi rumah tangga dan investasi,
mestinya masih mampu menopang di kisaran 5%.
Bahkan kualitas pertumbuhan juga menurun,
terlihat dari semakin gagalnya harapan terjadinya transformasi struktur
ekonomi. Pertumbuhan sektor tradable
justru merosot cukup tajam, sedangkan sektor non-tradable masih tetap naik. Sektor jasa masih tumbuh tinggi,
terutama jasa informasi dan komunikasi (10,53%) serta jasa keuangan dan
asuransi (7,57%). Padahal, sektor-sektor tersebut relatif kedap dalam
menyerap tenaga kerja, khususnya tenaga kerja formal. Semen khususnya tenaga
kerja formal. Sementara itu, industri yang mempunyai kontribusi sekitar 23,7%
terhadap GDP, hanya mampu tumbuh 3,87%.
Kedua, penurunan investasi dan indeks tendensi
bisnis. Hasil dari berbagai lawatan Presiden ke luar negeri konon
menghasilkan berbagai komitmen banyak negara untuk berinvestasi ke Indonesia.
Namun, pertumbuhan investasi masih tetap melambat dari 20,22% (yoy) pada
triwulan I 2014 menjadi 10,16% pada triwulan I 2015. Bahkan, porsi investasi
terhadap GDP turun dari 33,46% pada triwulan IV 2014 menjadi 31,94% pada triwulan
I 2015. Untuk dapat merealisasikan komitmen investasi dibutuhkan dukungan
konkret, terutama penyederhanaan birokrasi perizinan, kepastian regulasi, dan
ketersediaan infrastruktur.
Indeks tendensi bisnis (ITB) yang merupakan
refleksi persepsi pelaku usaha terhadap prospek ekonomi pada triwulan I 2015
anjlok menjadi 96,30. Padahal, pada triwulan IV 2014 masih berada pada level
104,07. Turunnya ITB itu disebabkan turunnya indeks pendapatan usaha (95,06),
indeks penggunaan kapasitas produksi (95,13), dan indeks rata-rata jam kerja
(97,83). Namun, sejalan dengan mulainya realisasi dari pengeluaran
pemerintah, BPS memperkirakan ITB triwulan II 2015 akan kembali meningkat
pada level 109,65.
Ketiga, defisit neraca pembayaran. Kinerja
neraca perdagangan selama lima bulan terakhir memang telah mengalami
perbaikan. Sayangnya surplus neraca perdagangan bukan karena ditopang
membaiknya kinerja ekspor, melainkan tertolong oleh turun drastisnya impor.
Januari-April 2015, ekspor turun 11,01% dan impor turun hingga 17,03%. Tentu,
tipisnya surplus perdagangan belum mampu mengompensasi defisit neraca jasa
dan neraca modal. Defisit neraca jasa triwulan I mencapai US$1,8 miliar,
berasal dari jasa transportasi baik penumpang, barang, maupun lainnya,
ditambah dengan defisit biaya penggunaan kekayaan intelektual, jasa asuransi,
serta jasa telekomunikasi, komputer, dan informasi. Demikian juga net neraca
modal pada triwulan I 2015 mengalami defisit US$5,1 miliar, dengan neraca
primer defisit US$6,5 miliar sedangkan neraca sekunder hanya surplus US$1,4
miliar.
Keempat, tekanan depresiasi rupiah. Pada
Oktober 2014, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih berada di 12.032.
Dalam kurun waktu kurang dari delapan bulan, memasuki Mei, rupiah anjlok
hingga di level 13.129. Selama Januari-Mei 2015 rupiah telah terdepresiasi
sekitar 6,32%. Sementara itu, ringgit Malaysia hanya terdepresiasi 3,9%, peso
Filipina 0,21%, baht Thailand 2,17%, won Korea 1,28%, dan bahkan renminbi
Tiongkok hanya 0,02%.
Kelima, melambatnya penyaluran kredit perbankan.
Pembiayaan perbankan merupakan salah satu refleksi riil kondisi perkembangan
bisnis dan ekonomi. Pertumbuhan kredit triwulan I 2015 hanya 11,3% (yoy),
menurun dari triwulan sebelumnya 11,6% (yoy). Perlambatan laju kredit
terutama pada kredit modal kerja (KMK) dari 1,56% (mtm) pada Februari menjadi
0,74% (mtm) pada Maret 2015. Kredit investasi dan kredit konsumsi sampai
dengan Maret sedikit meningkat, masing-masing menjadi 1,31% (mtm) dan 0,81%
(mtm) jika dibandingkan dengan Februari dari 0,09% (mtm) dan 0,55% (mtm).
Namun, sampai dengan Mei 2015 penyaluran total kredit justru semakin
melambat, hanya tumbuh pada kisaran 10%, jauh di bawah target pemerintah
untuk tumbuh 15%-17%.
Keenam, terlambatnya stimulus fiskal. Terdapat
langkah reformulasi postur APBN-P 2015 yang perlu diapresiasi, seperti
merealokasi anggaran subsidi untuk anggaran infrastruktur dan dana desa. Juga
peningkatan alokasi anggaran untuk sektor strategis, melalui Kementerian
Pertanian (107,08%), Kementerian PU dan Perumahan Rakyat (40%), Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) (60%), Kementerian ESDM (48%), dan Kementerian
Perindustrian (60%).
Sayangnya, sampai 31 Maret 2015, penyerapan anggaran
hanya sebesar 367,4 triliun atau 18,5%. Penyerapan Kementerian PU dan Pera
baru 2,5%, Kementerian Pertanian 2,25%, dan Kementerian ESDM 5-6%. Penyerapan
anggaran yang relatif on schedule
hanya pada pos belanja pegawai dan pembayaran bunga utang.
Ketujuh, pengangguran dan ketimpangan
meningkat. Gelombang PHK semakin marak dampaknya angka pengangguran justru
meningkat. Pada Februari 2015 angkanya 5,81% berbanding dengan Februari 2014
5,70%. Disparitas kemiskinan antardaerah semakin meningkat. Papua sebagai
salah satu penghasil sumber daya mineral terbesar memiliki persentase
penduduk miskin terbesar, yakni 27,8%, diikuti Papua Barat 26,26%, Nusa
Tenggara Timur 19,06%, dan Maluku 18,44%.
Kedelapan, daya beli masyarakat anjlok. Dua
faktor utama penentu daya beli masyarakat, yaitu stabilitas harga kebutuhan
pokok dan tersedianya sumber pendapatan. Padahal, pengendalian stabilitas
harga di Indonesia cukup sederhana, kuncinya ialah stabilitas harga energi
yang diatur pemerintah dan harga barang bergejolak yang bersumber dari bahan
pangan pokok. Sayangnya, sampai dengan April 2015 inflasi harga yang diatur
pemerintah mencapai 13,26% (yoy) dan inflasi barang bergejolak 6,23% (yoy).
Solusi
Salah satu penyebab semakin menurunnya kinerja
perekonomian tersebut diduga karena ungovern
government. Itu fenomena pemerintah tidak mampu mengatur dan mengelola
kebijakan ekonomi secara optimal. Pemerintah seharusnya tidak boleh
kehilangan fungsi dalam memberikan arah dan panduan terhadap jalannya roda
perekonomian. Kunci keberhasilan pembangunan ekonomi ialah hadirnya
pemerintah yang memiliki fungsi komando, sebagai conductor yang memimpin arah kebijakan ekonomi. Kepemimpinan yang
bijak, profesional, dan berani memberikan terobosan yang konkret dan kredibel
di tengah perekonomian yang bergelombang tinggi. Utamanya kehadiran perannya
dalam meningkatkan programprogram stimulus fiskal.
Transisi pemerintahan dan faktor eksternal
pelemahan ekonomi global mestinya tidak dijadikan kambing hitam perlambatan
ekonomi Indonesia. Nyatanya terdapat beberapa negara yang tetap mampu survive. Thailand, Filipina, dan India
termasuk negara yang sukses menyelesaikan permasalahan ekonominya. India di
tengah transisi pemerintahan, tapi mampu tumbuh 7,5%. Inflasi di India dijaga
cenderung rendah, dimanfaatkan sebagai momentum mendorong daya beli
masyarakat. Sebelumnya, India juga terangkap pada inflasi yang tinggi, tetapi
otoritas moneter di India mendukung dengan kembali memotong suku bunga acuan.
Akibatnya indeks keyakinan konsumen terus meningkat dan mendongkrak indeks
tendensi bisnis. Bahkan ekspor India mampu meningkat di tengah perlambatan
ekonomi obal melalui keberhasilan strategi diversifikasi ekspor.
Fenomena Modi di India sejatinya mirip--jika
tidak bisa dikatakan sama--dengan fenomena Jokowi di Indonesia, yakni
keduanya dianggap sukses memimpin pada level daerah dan dianggap sebagai
figur yang dapat membawa perubahan. Oleh sebab itu, banyak kalangan yang
menyandingkan Modi dengan Jokowi. Beberapa bulan setelah pemilu berlalu, tampaknya
Modi dengan pemerintah barunya mampu menjaga harapan perbaikan ekonomi
melalui adanya kredibilitas kebijakan pemerintah.
Kebijakan yang tepat dengan menjaga dan
mengoptimalkan sumber daya domestik ternyata mampu menjawab tantangan
pelemahan ekonomi global. Pemerintah Indonesia perlu belajar bagaimana
menjaga harapan dan kepercayaan seperti yang sudah ditunjukkan India.
Utamanya mewujudkan stabilisasi harga kebutuhan pokok menjelang Ramadan dan
Idul Fitri. Jika tidak, harapan masyarakat terhadap pemerintah baru akan
hilang seiring dengan hilangnya momentum transisi pemerintah yang pada
awalnya diharapkan mampu membawa perubahan bagi ekonomi Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar