Kisruh
Hukum Praperadilan
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN SINDO, 30 Mei 2015
Tak terbantahkan,
beberapa vonis praperadilan atas penetapan tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) belakangan ini telah menimbulkan kekisruhan atau
komplikasi hukum. Hakim Sarpin dan Hakim Haswandi misalnya telah mengabulkan
permohonan praperadilan yang diajukan oleh Budi Gunawan dan Hadi Poernomo.
Pro dan kontra atas
sebuah vonis sebenarnya biasa terjadi sehingga boleh saja orang setuju atau
tak setuju pada pembatalan atas penersangkaan Budi Gunawan, Hadi Poernomo,
atau Ilham Arief Sirajuddin.
Namun, mereka telah
melakukan upaya hukum dengan praperadilan dan hakim telah mengabulkannya. Itu
harus dihormati.
Tetapi, vonis-vonis
atas perkara ini menimbulkan kisruh karena yang terjadi bukan hanya
pro-kontra atas kasus konkretnya, melainkan munculnya komplikasi konseptual
atas peraturan abstraknya.
Dua hakim itu bukan
hanya memutus kasus konkret, melainkan juga secara tidak langsung melakukan
pengujian (judicial review) atas
isi UU dengan tidak memberlakukan Pasal 77 KUHAP. Pasal 77 KUHAP menyatakan
bahwa penetapan status tersangka bukan termasuk objek praperadilan, tetapi
oleh dua hakim tersebut, demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa,
tidak diberlakukan.
Artinya, secara
substantif dua hakim tersebut telah mereviu UU karena isi UU yang abstrak
tidak bisa diberlakukan terhadap kasus konkret yang ditanganinya. Padahal,
mereviu UU merupakan kewenangan eksklusif Mahkamah Konstitusi (MK). Timbullah
dilema: pada satu sisi vonis itu melampaui kewenangan hakim karena telah
”merampas” wewenang MK dalam melakukan pengujian, tetapi pada sisi lain vonis
yang sudah inkracht tersebut
mengikat, tidak bisa dibatalkan atau dinyatakan batal demi hukum.
Khusus untuk
penidakberlakuan Pasal 77 KUHAP komplikasinya memang telah ”terpaksa” selesai
karena pada 28 April 2015 MK telah memutus perkara No 21/PUU-XII/2014 yang
menegaskan bahwa penetapan tersangka bisa diuji dalam praperadilan. Vonis MK
ini pun final dan berlaku seperti UU sehingga sekarang ini penetapan
tersangka bisa dilawan dengan upaya hukum melalui praperadilan.
Problemnya hanya
menjadi lebih teknis yakni Polri, kejaksaan, KPK, dan pengadilan akan
dibanjiri oleh ribuan permohonan praperadilan, bukan hanya dalam kasus
korupsi, melainkan dalam semua kasus pidana. Bukan hanya di Jakarta, tetapi
juga di daerah-daerah seluruh Indonesia.
Tetapi, komplikasi
konseptual hukum ini muncul lagi setelah awal pekan ini Hakim Haswandi
memutus permohonan praperadilan Hadi Poernomo yang secara substantif juga
menguji UU karena tidak memberlakukan pasal-pasal tertentu di dalam UU.
Mendasarkan pada ketentuan Pasal 8 ayat (1) KUHAP Hakim Haswandi memutus
bahwa penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh pegawai yang bukan
pejabat Polri dan bukan dari kejaksaan sebagai pegawai negeri tertentu,
tepatnya yang dilakukan oleh penyelidik dan penyidik yang diangkat oleh KPK
dari luar Polri dan kejaksaan, adalah tidak sah.
Padahal, selama ini,
berdasar ketentuan Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) KPK bisa
mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri sebagai lex specialis.
Putusan praperadilan
terbaru ini telah menimbulkan komplikasi baru secara konseptual hukum karena
dianggap mengacaukan hubungan keberlakuan antara hukum yang umum (lex generalis) dan hukum yang khusus (lex specialis).
Lebih dari itu, vonis Hakim Haswandi ini, karena erga omnes, telah menyentuh bukan hanya penyelidik dan penyidik
KPK, melainkan penyelidik dan penyidik yang diberi kewenangan oleh UU untuk
menyelidiki dan menyidik perkara-perkara tertentu seperti perkara
keimigrasian, pelanggaran HAM berat, kehutanan, pasar modal, otoritas jasa
keuangan, perpajakan, lingkungan, perikanan, bea cukai, bahkan penyelidik dan
penyidik peradilan militer yang juga diatur dengan hukum khusus.
Berdasar vonis Hakim
Haswandi itu bisa ada puluhan ribu kasus yang menjadi bermasalah dan tidak
sah karena penyelidik dan penyidiknya bukan polisi atau jaksa.
Untuk mengatasi itu,
ke depan lembaga legislatif harus mengaturnya melalui proses legislasi baru,
tetapi untuk tahap awal bisa didahului dengan segera dikeluarkannya Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA).
Meski begitu, di dalam
kusut masai yang timbul akibat vonis praperadilan tersebut, saya perlu
mengemukakan dua catatan lain. Pertama, meski seorang tersangka dinyatakan
menang dalam praperadilan, bukan berarti tersangka tersebut langsung lepas
dari kasusnya. Menurut putusan MK No 21/PUUXII/ 2014, kasus yang bersangkutan
bisa dilanjutkan asalkan diperbaiki dengan penyelidikan dan/atau penyidikan
baru yang sesuai dengan UU. Untuk KPK, hal ini tidak terlalu jadi masalah
karena di KPK, selain yang bukan jaksa dan polisi, sudah banyak juga
penyelidik dan penyidik yang memang berasal dari Polri dan kejaksaan.
Kedua, jangan bermimpi bahwa vonis praperadilan Hakim Haswandi
ini bisa dijadikan novum untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK)
oleh mereka yang sudah divonis dan sudah dihukum. Vonis Hakim Haswandi ini
tidak bisa dijadikan novum (bukti baru) sebab menurut hukum novum itu adalah bukti yang
sudah ada ketika yang bersangkutan diadili di pengadilan, tetapi pada saat
itu tidak diketemukan atau tidak diketahui.
Novum tidak bisa
diambil dari keadaan atau peristiwa baru yang muncul sesudah vonis dijatuhkan
dan sudah inkracht.
Vonis Hakim Haswandi
ini adalah baru yang, kalau terpaksa diberlakukan, hanya berlaku untuk
kasus-kasus sesudah palu vonis diketokkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar